Mohon maaf baru bisa update lagi. Doakan agar Mak Author sehat terus, ya .. Makasih karena masih terus mengikuti cerita ini .
"Pelan-pelan, Pak. Ayo saya bantu!" Dengan telaten Arnold membantu Hartawan untuk duduk di kursi roda. Tubuh ayah mertuanya itu semakin kurus. Namun wajahnya terlihat sumringah, karena akan kembali pulang ke rumah setelah cukup lama dirawat di rumah sakit. Pria itu sempat putus asa karena cukup.lama berada di ruang ICU. Siapa yang menduga ternyata kesehatannya membaik, bahkan sangat baik menurut dokter. "Arnold, orang tuamu ada di mana?" tanya Hartawan yang sudah duduk di kursi roda dengan nyaman. Elena sedang merapikan peralatan milik Hartawan yang akan dibawa pulang oleh supirnya. Walau ia berada beberapa meter dari tempat Arnold dan Hartawan sekarang, ia mendengar jelas obrolan dua pria yang berbeda usia itu. "Bapak dan Mamak saya, ada di rumah saya, Pak." "Undang mereka malam ini. Kita buat acara makan malam. Undang saudara dekat dan para relasi kita," pinta Hartawan "Nggak usah undang-undang, Yah! Lagipula Ayah ini undang orang kok mendadak." Elena menyanggah permintaan Hart
"Perempuan cantik? Kayak artis? Apa mungkin artis yang aku lihat di rumah sakit waktu itu?" pikir Elena dalam hati. "Sebentar saya ke depan dulu, Pak, Elena ..." Hartawan mengangguk. Sedangkan Elena hanya diam saja. Dadanya bergemuruh seakan tidak rela melepas Arnold menemui wanita cantik itu sendirian. Langkah Arnold terhenti di depan teras ketika wanita cantik itu menyebut namanya dan mendekat. "Arnold!" "Niki. Kamu tau aku di sini?" "Iyaa, aku diundang nyanyi di acara ini. Ternyata benar, Arnold Siregar itu beneran kamu." Wanita bernama Niki itu memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Arnold. "Ayo masuk! Aku kenalin sama istri dan mertuaku," ajak Arnold sembari kembali melangkah ke taman belakang diikuti Niki. "Bapak, Elena, kenalkan ini Niki teman saya. Ternyata dari team WO, Niki diundang untuk tampil nyanyi di acara kita." "Wah, wah, rumah saya kedatangan artis. Silakan, silakan!" Niki tersenyum lebar menyalami Hartawan dan Elena. Sambutan Hartawan cukup hangat, namun
"Arnold, sebelum terlambat, ceraikan saya!" "A-apaa?" Arnold spontan berdiri dan memandang Elena dengan tatapan tak percaya. "Tidak, Elena, Aku mencintaimu. Aku tidak akan menceraikan kamu." Tangan kekar milik Arnold langsung meraih tangan Elena dan menggenggamnya. Dewi dan Fredy nampak terkejut. Mereka yang sejak kemarin memperlihatkan rasa keberatannya memiliki menantu Elena, saat ini hanya bisa diam saja. "Maaf, Aku capek dengan semua drama ini. Aku ingin konsentrasi dengan perusahaan." Suara Elena terdengar parau. Apa yang baru saja ia ungkapkan sebenarnya bertolak belakang dengan hatinya. Tapi mungkin ini adalah yang terbaik untuk dirinya. Ia juga tidak terbebani dengan permintaan sang ayah tentang cucu. Ia juga akan lebih konsentrasi dengan bisnisnya yang ada di luar negeri. Mungkin dengan banyak hal yang ia kerjakan, bisa membuatnya melupakan semua beban yang ada dalam hidupnya. Itu yang ada dalam pikiran Elena saat ini. "Elena ... Aku mohon ...!" Arnold membawa jemari El
"Selamat pagi, Bu Elena!"Elena menoleh mendengar sapaan dari sekretarisnya. "Pagi. Ada siapa di dalam?" tanya Elena sebelum membuka pintu ruangannya. "Ada Pak Arnold saja, Bu. Tamunya baru saja pulang." "Tamu? Siapa pagi-pagi begini sudah datang bertamu?" tanya Elena penasaran. "Itu, Bu. Artis cantik yang namanya Niki Anjani itu loh, Bu." Elena mendengkus kesal." Untuk apa artis genit itu datang pagi-pagi menemui suamiku?" gumam Elena kesal. Namun, beberapa detik kemudian ia tersadar dengan ucapannya sendiri. "Apa? Suamiku?" Tenggorokannya tercekat mendengar ucapannya sendiri. Lalu menggelengkan kepalanya. Elena menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruangannya. Mencoba menenangkan dirinya yang mulai tersulut emosi.Arnold tidak boleh tau kalau ia tidak suka jika suaminya itu dekat dengan sang artis. Perlahan ia mengetuk pintu. Terdengar sahutan suara Arnold dari dalam. Suara bariton khas pemuda batak itu membuat hati Elena bergetar. Suara yang sebenarnya ia rindukan sem
"Tirtaaa ...! Apa kabar, tampan?" Seorang wanita berpenampilan glamour menghampiri Pras, Ia memeluk, lalu menempelkan kedua pipinya ke wajah Pras. Pras yang tidak siap dengan kedatangan Julia, seketika tergagap. Netranya langsung melirik pada Serani yang duduk diantara para kru dengan jarak hanya tiga meter dari tempat ia berdiri sekarang. Julia dan artis wanita lainnya memang punya kebiasaan yang sama setiap mereka saling berjumpa. Tidak peduli itu pria atau wanita, tradisi peluk cium sudah biasa diantara mereka. "Lama nggak ketemu, kamu makin tampan," ungkap Julia. "Dan ... menggairahkan," bisik wanita itu lagi. Pras geleng-geleng kepala mendengar pujian dari Julia yang justru membuatnya resah. Artis cantik yang akan menjadi pasangannya nanti di iklan ini, terus mengajaknya berbincang. Pras berusaha untuk mendengarkan, meski matanya tak lepas memandang serani dari jauh. Istrinya itu memang melihat ke arahnya. Namun wajah Sera nampak datar-datar saja. Hal ini justru membuatnya sem
"Dari mana saja, kamu?" "Tirta! Jangan kasar dengan perempuan!" Indra yang tidak terima melihat sikap Pras yang dia anggap kasar, spontan menghardik pria itu. Pras pun menoleh. Ia semakin meradang melihat Indra membela Sera. Dengan emosi yang memuncak, Pras menunjuk-nunjuk Indra. "Apa maksud Pak Indra? Saya tidak pernah kasar dengan istri saya. Yang perlu di pertanyakan, kenapa Anda bisa bersama istri saya?" "Praaas, kamu apa-apaan, sih? Aku bisa jelasin pelan-pelan. Nggak usah teriak-teriak begini. Malu banyak yang nonton, tuuu!" Serani memandang orang-orang sekitarnya yang memperhatikan mereka. Ada pula yang merekam kejadian itu dengan ponselnya. "Sayaang, aku nggak marah sama kamu. Aku cuma panik nyariin kamu dari tadi. Ponselku juga kehabisan daya dan mati, jadi nggak bisa menghubungi kamu." Pras menangkup wajah Sera. Ia menatap lekat wajah istrinya. Pras tidak peduli dengan celotehan para teman-teman dan kru yang berada di sana. Wajah Sera yang tadi tegang, perlahan mulai t
" Untuk apa berkali-kalli bilang terima kasih pada Pak Indra?" tanya Pras masih dengan perasaan kesal. "Ini loh, Pras. Biaya bengkel tadi ternyata sudah dibayar sama dia. Aku mau gantiin tapi dia nggak mau." Pras menghempas napas kasar mendengar penjelasan Serani. "Cari perkara sama Aku rupanya!" geram Pras sembari mencengkeram setir mobil. "Kamu apa, sih? Dia itu berbuat baik, bukan cari perkara!" Sera memandang Pras heran. "Tapi aku nggak suka dia sok perhatian sama kamu, Sayaaang!" Sera terdiam. Walau ia kesal dengan sikap Pras, tapi mendengar alasan suaminya itu barusan, hatinya menghangat. Diam-diam ia tersenyum sambil menoleh ke luar jendela. Kemudian Serani kembali menatap Pras yang sedang fokus menyetir. Wajahnya masih menegang. "Oke, aku minta maaf, Pras!" satu usapan lembut pada punggung tegap itu membuat Pras akhirnya tersenyum. Saat hendak menarik tangannya kembali, Pras justru menangkapnya lalu mencium jemari lentik itu beberapa kali. "Aku nggak suka liat kamu dek
"Bagaimana? Sudah kau pikirkan syarat yang mamak bicarakan kemarin?" Dewi langsung menodong pertanyaan pada Arnold yang baru saja turun dari kamarnya. Pria tampan itu sudah rapi dengan stelan jasnya untuk berangkat ke kantor. Arnold tidak langsung menjawab. Ia melihat dulu ada siapa saja di ruang makan itu. Setelah memastikan bahwa hanya ada Bapak dan Mamaknya saja, Arnold duduk di salah satu kursi. Sebelum bicara, ia menghela napas panjang terlebih dahulu. "Mak, Pak, bagaimana jika aku menolak syarat itu?" "Apa kau bilang? Menolak? Mamak sudah jelaskan padamu kemarin, Mamak dan Bapakmu ini sudah janji dengan kedua orang tua Ida bahwa akan menikahkan kalian. Bapaknya Ida itu banyak jasanya pada keluarga kita. Kamu harus ingat itu!" Dewi mulai lagi bicara dengan nada keras.Arnold menoleh ke sekeliling. Ia tidak enak jika sampai Ida mendengar pembicaraan mereka. "Ssstt, Mak, pelan-pelanlah sedikit! Nanti terdengar oleh Ida, kasian dia." Fredy mencoba untuk memperingati istrinya. "E