"Selamat pagi, Bu Elena!"Elena menoleh mendengar sapaan dari sekretarisnya. "Pagi. Ada siapa di dalam?" tanya Elena sebelum membuka pintu ruangannya. "Ada Pak Arnold saja, Bu. Tamunya baru saja pulang." "Tamu? Siapa pagi-pagi begini sudah datang bertamu?" tanya Elena penasaran. "Itu, Bu. Artis cantik yang namanya Niki Anjani itu loh, Bu." Elena mendengkus kesal." Untuk apa artis genit itu datang pagi-pagi menemui suamiku?" gumam Elena kesal. Namun, beberapa detik kemudian ia tersadar dengan ucapannya sendiri. "Apa? Suamiku?" Tenggorokannya tercekat mendengar ucapannya sendiri. Lalu menggelengkan kepalanya. Elena menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruangannya. Mencoba menenangkan dirinya yang mulai tersulut emosi.Arnold tidak boleh tau kalau ia tidak suka jika suaminya itu dekat dengan sang artis. Perlahan ia mengetuk pintu. Terdengar sahutan suara Arnold dari dalam. Suara bariton khas pemuda batak itu membuat hati Elena bergetar. Suara yang sebenarnya ia rindukan sem
"Tirtaaa ...! Apa kabar, tampan?" Seorang wanita berpenampilan glamour menghampiri Pras, Ia memeluk, lalu menempelkan kedua pipinya ke wajah Pras. Pras yang tidak siap dengan kedatangan Julia, seketika tergagap. Netranya langsung melirik pada Serani yang duduk diantara para kru dengan jarak hanya tiga meter dari tempat ia berdiri sekarang. Julia dan artis wanita lainnya memang punya kebiasaan yang sama setiap mereka saling berjumpa. Tidak peduli itu pria atau wanita, tradisi peluk cium sudah biasa diantara mereka. "Lama nggak ketemu, kamu makin tampan," ungkap Julia. "Dan ... menggairahkan," bisik wanita itu lagi. Pras geleng-geleng kepala mendengar pujian dari Julia yang justru membuatnya resah. Artis cantik yang akan menjadi pasangannya nanti di iklan ini, terus mengajaknya berbincang. Pras berusaha untuk mendengarkan, meski matanya tak lepas memandang serani dari jauh. Istrinya itu memang melihat ke arahnya. Namun wajah Sera nampak datar-datar saja. Hal ini justru membuatnya sem
"Dari mana saja, kamu?" "Tirta! Jangan kasar dengan perempuan!" Indra yang tidak terima melihat sikap Pras yang dia anggap kasar, spontan menghardik pria itu. Pras pun menoleh. Ia semakin meradang melihat Indra membela Sera. Dengan emosi yang memuncak, Pras menunjuk-nunjuk Indra. "Apa maksud Pak Indra? Saya tidak pernah kasar dengan istri saya. Yang perlu di pertanyakan, kenapa Anda bisa bersama istri saya?" "Praaas, kamu apa-apaan, sih? Aku bisa jelasin pelan-pelan. Nggak usah teriak-teriak begini. Malu banyak yang nonton, tuuu!" Serani memandang orang-orang sekitarnya yang memperhatikan mereka. Ada pula yang merekam kejadian itu dengan ponselnya. "Sayaang, aku nggak marah sama kamu. Aku cuma panik nyariin kamu dari tadi. Ponselku juga kehabisan daya dan mati, jadi nggak bisa menghubungi kamu." Pras menangkup wajah Sera. Ia menatap lekat wajah istrinya. Pras tidak peduli dengan celotehan para teman-teman dan kru yang berada di sana. Wajah Sera yang tadi tegang, perlahan mulai t
" Untuk apa berkali-kalli bilang terima kasih pada Pak Indra?" tanya Pras masih dengan perasaan kesal. "Ini loh, Pras. Biaya bengkel tadi ternyata sudah dibayar sama dia. Aku mau gantiin tapi dia nggak mau." Pras menghempas napas kasar mendengar penjelasan Serani. "Cari perkara sama Aku rupanya!" geram Pras sembari mencengkeram setir mobil. "Kamu apa, sih? Dia itu berbuat baik, bukan cari perkara!" Sera memandang Pras heran. "Tapi aku nggak suka dia sok perhatian sama kamu, Sayaaang!" Sera terdiam. Walau ia kesal dengan sikap Pras, tapi mendengar alasan suaminya itu barusan, hatinya menghangat. Diam-diam ia tersenyum sambil menoleh ke luar jendela. Kemudian Serani kembali menatap Pras yang sedang fokus menyetir. Wajahnya masih menegang. "Oke, aku minta maaf, Pras!" satu usapan lembut pada punggung tegap itu membuat Pras akhirnya tersenyum. Saat hendak menarik tangannya kembali, Pras justru menangkapnya lalu mencium jemari lentik itu beberapa kali. "Aku nggak suka liat kamu dek
"Bagaimana? Sudah kau pikirkan syarat yang mamak bicarakan kemarin?" Dewi langsung menodong pertanyaan pada Arnold yang baru saja turun dari kamarnya. Pria tampan itu sudah rapi dengan stelan jasnya untuk berangkat ke kantor. Arnold tidak langsung menjawab. Ia melihat dulu ada siapa saja di ruang makan itu. Setelah memastikan bahwa hanya ada Bapak dan Mamaknya saja, Arnold duduk di salah satu kursi. Sebelum bicara, ia menghela napas panjang terlebih dahulu. "Mak, Pak, bagaimana jika aku menolak syarat itu?" "Apa kau bilang? Menolak? Mamak sudah jelaskan padamu kemarin, Mamak dan Bapakmu ini sudah janji dengan kedua orang tua Ida bahwa akan menikahkan kalian. Bapaknya Ida itu banyak jasanya pada keluarga kita. Kamu harus ingat itu!" Dewi mulai lagi bicara dengan nada keras.Arnold menoleh ke sekeliling. Ia tidak enak jika sampai Ida mendengar pembicaraan mereka. "Ssstt, Mak, pelan-pelanlah sedikit! Nanti terdengar oleh Ida, kasian dia." Fredy mencoba untuk memperingati istrinya. "E
"Maksud kamu, punya dua istri?" tanya Elena dengan suara mulai meninggi. "iiy-iyyaa, Mamak dan Bapak punya alasan dengah permintaan mereka itu.' Elena diam. Wajahnya jelas terlihat menyimpan emosi. Tapi sebenarnya ia sedang menunggu Arnold mengatakan alasan apa kedua orang tuanya menginginkan ide gila itu. "Jadi ... tanpa sepengetahuan aku, Bapak dan Mamak sudah berjanji pada almarhum kedua orang tua Ida bahwa mereka akan menikahkan kami. Kata mamak, bapak si Ida itu banyak jasanya pada kedua orang tuaku. Mamak bilang ini sebagai balas budi." Arnold menjelaskannya dengan sangat hati-hati. Ia merasa sedikit tenang karena Elena tidak langsung marah-marah dan mau mendengarkan penjelasannya. "Enak banget dong kamu!" ketus ELena. Walau hatinya sangat sakit, tapi ia berusaha untuk lebih tenang. Ia tidak mau Arnold tau kalau belakangan ini cintanya pada pria itu mulai tumbuh. Ia tidak ingin memuja atau pun mengemis cinta pada Arnold. Pembicaraan mereka terjeda karena datangnya pelayan m
"Kenapa malam sekali pulangnya, Bang?" Arnold terkejut saat mengetahui Ida yang membukakan pintu untuknya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Setelah mengantar Elena pulang, Arnold kembali ke kantor. Entah kenapa ia malas untuk pulang ke rumah, hingga ia baru keluar dari kantor sekitar pukul sepuluh malam. Namun ia tidak langsung pulang. Setelah beberapa jam singgah di sebuah cafe yang tak jauh dari kantornya, Arnold baru pulang dan tiba di rumahnya pukul dua malam. "Banyak pekerjaan kantor. Kamu kenapa belum tidur?" Arnold mengerutkan keningnya. "Mana bisa aku tidur kalau Abang belum pulang. Abang juga tiidak mengabari aku kalau mau lembur." Ida menjawab sembari menuangkan segelas air hangat dari dispenser untuk Arnold. Arnold meminumnya hingga tandas. "Ida, bisa temani aku ngobrol sebentar?" Arnold yang awalnya ragu, akhirnya memutuskan untuk mengajak Ida bicara. "Ng ... ngobrol? Tentang apa, Bang?" Ida tampak gelisah. "Duduklah!" Arnold menjatuhkan tubuhnya di s
"Karena itu, aku memutuskan untuk menerima syarat dari Bapak dan Mamak untuk menikahi Ida sebagai istri keduaku." Elena yang sejak tadi menahan napas demi ingin mendengarkan keputusan Arnold, kini merasa dirinya justru kesulitan untuk bernapas. Ia tidak menyangka Arnold akan membuat keputusan seperti itu. Marah? Jelas, ia sangat ingin marah. Tapi, egoiskah dia jika ia pun tidak akan bisa membahagiakan Arnold,? Ia bukan seorang wanita yang sempurna lagi. Lalu, sekarang ia harus bagaimana? Ia tidak mungkin berontak. Selama ini Arnold tidak pernah tau perasaannya. "Elena, sekali lagi aku minta maaf!' Melihat Elena diam tanpa ekspresi, Arnold merasa bersalah lalu meraih jemari istrinya itu dan menciumnya berkali-kali. "Ya, sejak awal sudah aku serahkan keputusan ini padamu. Toh, pernikahan kita ini juga karena Ayah. It's oke. Nggak apa-apa kok kalau kamu memang mau menikahi Ida. Lagipula sejak awal aku melakukan ini untuk Ayah." Sebisa mungkin Elena menjaga agar intonasi suaranya te