Maafin, yaaa ...! Akhir-akhir ini emak jarang update. Soalnya kondisi kesehatan emak sedang menurun. InsyaAllah mulai kamis depan sudah rutin update lagi. Nantikan kejutan kisah dari Elena dan Arnold yang bikin gemeeesss. Untuk Sementara menunggu, kakak bisa mampir ke cerita emak yang sudah tamat : ISTRI DEKILKU ANAK SULTAN, KAYA SETELAH DIUSIR MERTUA, AIR MATA MADUKU. Semua ini nggak kalah seru dan juga termasuk best seller. Bisa baca sampai tamat tanpa jeda. Makasiiih ....
"Maksud kamu, punya dua istri?" tanya Elena dengan suara mulai meninggi. "iiy-iyyaa, Mamak dan Bapak punya alasan dengah permintaan mereka itu.' Elena diam. Wajahnya jelas terlihat menyimpan emosi. Tapi sebenarnya ia sedang menunggu Arnold mengatakan alasan apa kedua orang tuanya menginginkan ide gila itu. "Jadi ... tanpa sepengetahuan aku, Bapak dan Mamak sudah berjanji pada almarhum kedua orang tua Ida bahwa mereka akan menikahkan kami. Kata mamak, bapak si Ida itu banyak jasanya pada kedua orang tuaku. Mamak bilang ini sebagai balas budi." Arnold menjelaskannya dengan sangat hati-hati. Ia merasa sedikit tenang karena Elena tidak langsung marah-marah dan mau mendengarkan penjelasannya. "Enak banget dong kamu!" ketus ELena. Walau hatinya sangat sakit, tapi ia berusaha untuk lebih tenang. Ia tidak mau Arnold tau kalau belakangan ini cintanya pada pria itu mulai tumbuh. Ia tidak ingin memuja atau pun mengemis cinta pada Arnold. Pembicaraan mereka terjeda karena datangnya pelayan m
"Kenapa malam sekali pulangnya, Bang?" Arnold terkejut saat mengetahui Ida yang membukakan pintu untuknya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Setelah mengantar Elena pulang, Arnold kembali ke kantor. Entah kenapa ia malas untuk pulang ke rumah, hingga ia baru keluar dari kantor sekitar pukul sepuluh malam. Namun ia tidak langsung pulang. Setelah beberapa jam singgah di sebuah cafe yang tak jauh dari kantornya, Arnold baru pulang dan tiba di rumahnya pukul dua malam. "Banyak pekerjaan kantor. Kamu kenapa belum tidur?" Arnold mengerutkan keningnya. "Mana bisa aku tidur kalau Abang belum pulang. Abang juga tiidak mengabari aku kalau mau lembur." Ida menjawab sembari menuangkan segelas air hangat dari dispenser untuk Arnold. Arnold meminumnya hingga tandas. "Ida, bisa temani aku ngobrol sebentar?" Arnold yang awalnya ragu, akhirnya memutuskan untuk mengajak Ida bicara. "Ng ... ngobrol? Tentang apa, Bang?" Ida tampak gelisah. "Duduklah!" Arnold menjatuhkan tubuhnya di s
"Karena itu, aku memutuskan untuk menerima syarat dari Bapak dan Mamak untuk menikahi Ida sebagai istri keduaku." Elena yang sejak tadi menahan napas demi ingin mendengarkan keputusan Arnold, kini merasa dirinya justru kesulitan untuk bernapas. Ia tidak menyangka Arnold akan membuat keputusan seperti itu. Marah? Jelas, ia sangat ingin marah. Tapi, egoiskah dia jika ia pun tidak akan bisa membahagiakan Arnold,? Ia bukan seorang wanita yang sempurna lagi. Lalu, sekarang ia harus bagaimana? Ia tidak mungkin berontak. Selama ini Arnold tidak pernah tau perasaannya. "Elena, sekali lagi aku minta maaf!' Melihat Elena diam tanpa ekspresi, Arnold merasa bersalah lalu meraih jemari istrinya itu dan menciumnya berkali-kali. "Ya, sejak awal sudah aku serahkan keputusan ini padamu. Toh, pernikahan kita ini juga karena Ayah. It's oke. Nggak apa-apa kok kalau kamu memang mau menikahi Ida. Lagipula sejak awal aku melakukan ini untuk Ayah." Sebisa mungkin Elena menjaga agar intonasi suaranya te
"M-mamak?" Elena menoleh pada Dewi yang saat ini sedang memandangnya dengan sinis. "Mak, Kak Elena sedang bantu aku siapkan makan siang. Bukan cari muka," jelas Ida sembari melirik Elena dengan tatapan iba. "Bisa apa dia? Paling-paling dia takut tangannya rusak kalau kerja di dapur." Lagi-lagi Dewi menggerutu. "Maaf, saya bertahun-tahun tinggal di luar negeri dan hidup sendiri di apartemen, tanpa ada asisten rumah tangga. Semuanya saya lakukan sendiri. Jadi tolong, Mamak jangan selalu meremehkan saya!" Elena bicara dengan nada dan ekspresi datar. Ia berusaha agar tetap terlihat tenang. Hampir saja terpancing emosinya."Di luar negeri dan di sini, ya beda, dong!" sanggah Dewi tak mau kalah. Selanjutnya Elena memilih untuk diam setelah Ida memberi kode agar Elena tak usah menjawab lagi ucapan Dewi. "Mamak dan Bapak mau makan sekalian?" Ida menawarkan sembari meletakkan lauk terakhir yang ia masak hari itu. "iyalaah. Sekalian Mamak dan Bapak mau bicara penting." Dewi kemudian melan
"Sudah berkali-kali kami jelaskan bahwa menikahi Ida, selain untuk balas budi, mamak juga ingin agar kamu ada yang mengurus. Elena kan sibuk kerja. Mana sempat dia mengurusmu!" "Maak, tolong jangan selalu pojokkan Elena!" Arnold bicara pelan namun tetap dengan penekanan. Melihat suasana mulai panas dan tegang, Elena bangkit berdiri. "Sudah, Arnold. Katakan saja kalau kamu memang benar ingin menikahi Ida. Mamak, Bapak, saya menerima jika memang Arnold menikahi Ida. Karena sejak awal saya menikah dengan Arnold karena permintaan Ayah saya. Jadi, tidak ada salahnya jika kali ini Arnold memenuhi permintaana Mamak dan Bapak. Saya harap setelah ini keluarga kita tidak ada lagi pertengkaran." Arnold tercengang mendengar semua yang dikatakan Elena. Wanita itu bicara tanpa ada beban. Bahkan kedua orang tua Arnold pun tak lagi membantah semua yang diucapkan Elena barusan. "Ya sudah! Kalau begitu, segera saja kalian menikah. Jangan ditunda-tunda sebelum ada yang berubah pikiran," ujar Dewi m
"Pras, sudah pulang?" Sera melirik jam di dinding. "Ya, hari ini syuting terakhir. Aku sengaja pulang lebih awal." Pras masih berdiri di tempatnya karena Giska belum mau melepaskan pelukan pada pinggang papa sambungnya itu. Satu tangan Pras memeluk Giska, satu tangan lainnya meraih dan merengkuh bahu Sera, lalu mencium kening istrinya itu. "Papa ... apa kabar bahagianyaaaa? Aku udah nggak sabar." "Ehm ... kabar bahagianya ... besok papa mau ajak kita semua liburan." Mendengar itu sontak Giska melompat kegirangan. "Yeey! Kita liburan. Asiik! Aku mau kasih tau pangeran dulu." Giska berlari ke dalam menghampiri adiknya. "Memangnya mau ajak anak-anak kemana?" Sera menggandeng suaminya untuk duduk di salah satu sofa. "Maaf ..., aku hanya bisa ajak anak-anak ke villa di puncak. Karena senin aku sudah mulai syuting lagi." Pras bicara sambil mengusap lembut pipi Sera. Ia memandang istrinya itu dengan rasa bersalah. "Nggak apa-apa, Sayang. Aku dan anak-anak tidak masalah liburan di man
"Sayang ... bangun. Sudah pagi!" Pras mengusap pelan pipi istrinya berkali-kali, hingga akhirnya Serani terjaga. Serani mengerjap, lalu sedikit menggeliat. tubuhnya serasa remuk. Entah kenapa kegiatannya semalam bersama Pras begitu melelahkan. Padahal Pras melakukannya dengan sangat hati-hati dan perlahan. Sera pun tidak banyak bergerak semalam. Mungkin ini pengaruh dari kehamilannya yang sudah semakin besar. Tapi memang kehamilannya kali ini jauh berbeda dari dua kehamilan sebelumnya. "Kenapa? Masih capek, ya?" Tangan kekar dan lebar milik Pras mengusap kepala Sera denggan lembut. Apa kita tunda dulu liburannya?" "Jangan, Pras. Aku nggak apa-apa, kok. Udah yuk, kita mandi dan siap-siap!" Sera bangkit dan kemudian turun dari ranjang. "Beneran kamu nggak apa-apa, Sayang?" Pras merasa Sera terlihat kelelahan. Tapi ia berharap ini karena efek kehamilannya. "Maafin aku, ya! Harusnya semalam aku bisa menahan diri." Pras mengikuti istrinya ke kamar mandi. Ia seakan tak ingin jauh-jauh
"Pak Tirta?" Pras dan Sera spontan menoleh ke arah suara yang menyapa mereka. Sepasang suami istri yang mereka sangat kenali telah berdiri di depan pagar villa. "Arnold, Elena! Kalian juga di sini?" Arnold tersenyum dan mengangguk. Sedangkan pandangan Elena terus tertuju pada perut Sera yang semakin besar. "Apa kabar Elena?" Sera bergerak hendak menghampiri Elena yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri. "Sudah, sudah Sera, biar aku saja yang ke situ!" Elena memandang Sera tak tega, lalu ia buru-buru mendatangi wanita hamil itu. "Bagaimana kehamilanmu? Apa kamu baik-baik saja? Maaf, aku memang kurang paham. Tapi nampaknya kamu lelah sekali." Elena memandang Sera dengan tatapan iba. Sera berusaha tersenyum. Keringat di keningnya kembali mengalir. "Ya, mungkin karena usia kehamilanku sudah masuk bulan ke delapan. Kalian ada acara atau ..." Netra Sera memandang Elena dan Arnold bergantian. "Kami ... hanya ingin berlibur saja," jawab Arnold yang baru saja bersa