"Pak Tirta?" Pras dan Sera spontan menoleh ke arah suara yang menyapa mereka. Sepasang suami istri yang mereka sangat kenali telah berdiri di depan pagar villa. "Arnold, Elena! Kalian juga di sini?" Arnold tersenyum dan mengangguk. Sedangkan pandangan Elena terus tertuju pada perut Sera yang semakin besar. "Apa kabar Elena?" Sera bergerak hendak menghampiri Elena yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri. "Sudah, sudah Sera, biar aku saja yang ke situ!" Elena memandang Sera tak tega, lalu ia buru-buru mendatangi wanita hamil itu. "Bagaimana kehamilanmu? Apa kamu baik-baik saja? Maaf, aku memang kurang paham. Tapi nampaknya kamu lelah sekali." Elena memandang Sera dengan tatapan iba. Sera berusaha tersenyum. Keringat di keningnya kembali mengalir. "Ya, mungkin karena usia kehamilanku sudah masuk bulan ke delapan. Kalian ada acara atau ..." Netra Sera memandang Elena dan Arnold bergantian. "Kami ... hanya ingin berlibur saja," jawab Arnold yang baru saja bersa
"Aguuung, cepat!" Agung yang sedang mencuci mobil di halaman. Seketika melepaskan selang air begitu saja. Lalu ia tergopoh-gopoh menghampiri kamar Pras dan Sera yang berada tak jauh dari teras. "A-ada, apa? Astaga, Seraaa ...!" Agung terhenyak melihat darah yang mengalir pada kaki Serani. Jantungnya berdetak sangat cepat hingga ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Wajahnya memucat melihat Sera terbaring tak sadar."Agung, ngapain kamu! Cepat siapin mobil! Sekarang!" Pras berteriak karena panik. Agung terlonjak dan langsung berbalik arah, lalu berlari keluar. Tanpa aba-aba lagi, ia membuka pintu mobil saat Pras menggendong Serani dan membawanya ke dalam mobil. Agung langsung duduk di belakang kemudi dan bergegas membawa Serani ke rumah sakit terdekat yang kemarin mereka bicarakan. "M-maaf, ada apa dengan Sera? Kenapa dia?" Agung nampak sangat cemas. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat Serani. "Agung! Fokus nyetir saja! Jangan menoleh ke belakang!" sentak Pras mulai em
Mata Elena mengerjap. Tubuhnya hendak bangkit, tetapi sebuah tangan kekar masih melingkar di perutnya. Hembusan hangat napas Arnold masih menyapu tengkuknya. Elena kembali memejam, menikmati setiap detak jantungnya yang berdebar. Elena tersenyum mengingat apa yang terjadi semalam. Arnold membawanya pada puncak kenikmatan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Meski awalnya ia merasakan sakit, tetapi Arnold mampu menggantikan semua rasa sakit itu menjadi sebuah kebahagiaan. Elena kembali bergerak sedikiilt gaduh karena ingin bangkit. Hal itu justru kembali membangkitkan sesuatu dari diri Arnold. Ia justru mempererat pelukannya pada Elena. "Mau kemana, Sayang?" Elena kembali melambung tinggi mendengar panggilan yang diucapkan Arnold padanya. Entah berapa kali semalam Arnold menyebutnya dengan kata sayang. Suaminya itu juga beberapa kali mengucapkan kata cinta saat mereka melakukan penyatuan. Rasa cinta Elena makin bertambah berkali-kali lipat. "Aku mau mandi," lirih Elena man
"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dokter! Tolong, tolong selamatkan istri saya, Dok!" Tubuh tinggi besar milik Pras mendadak lemas. Ia menopang tubuhnya dengan berpegangan pada dinding. "Baik, Pak. Jika sudah ada persetujuan dari keluarga, kami akan segera lakukan tindakan. Bapak baik-baik saja?" Sang dokter memandang khawatir pada Pras. "Tidak apa-apa, Dok. Mungkin saya hanya terkejut dan ... takut terjadi sesuatu pada istri saya, Dok." Suara Pras terdengar parau. Ia sungguh cemas. Belahan jiwanya, separuh nyawanya kini sedang berjuang untuk hidup. Setelah dokter kembali masuk ke ruang operasi, Pras berjalan gontai ke ruang tunggu dan terduduk lemas. "Bagaimana Pak? Apa ada yang serius dengan Bu Sera?" Agung kebingungan melihat raut wajah Pras yang tiba-tiba berubah setelah keluar dari ruang OK. Pras tidak langsung menjawab. Ia hanya diam beberapa detik. Tetapi ia merasa membutuhkan teman untuk bicara saat ini. "Sera harus mendapatkan tindakan operasi pengangkatan rahim.
"Mas Agung, siapa pria ini?" "Haah?" Mata Pras membulat tak percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat saat ini. Serani memanggil Agung dengan sebutan Mas. Istrinya itu juga mengabaikannya dan memandangnya seolah-olah dia adalah orang asing. Tatapan Sera padanya sungguh jauh berbeda. "Sayang, aku Pras, aku suamimu, akulah suamimu!" Pras seketika panik hingga tanpa sadar kembali mencengkeram lengan Serani, hingga wanita itu meringis kesakitan "Aduh sakit. Mas Agung, tolong aku, Mas. Suruh pergi laki-laki ini. Aku takut, Mas!" Sera terus memandang Agung dengan tatapan memohon. Agung yang masih berdiri tak jauh di belakang Pras hanya bisa ternganga. Ia tidak menyangka Sera kembali memanggilnya seperti dulu. "Mas Agung ...!" Sera terus memanggil Agung dengan raut wajah ketakutan. Sedangkan Agung masih berdiri terpaku menatap Serani dan Pras secara bergantian. Ia tidak tau apa yang harus dilakukan saat ini. "Agung, panggil dokter, cepat!" Mendengar sentakan dari Pras, Agung berge
"Agung, bagaimana istriku?" Pras baru saja terjaga dan langsung menghubungi Agung. Ia sempat tertidur beberapa jam di villa siang itu. Tubuhnya sangat lelah dan letih. Ia juga perlu menjernihkan pikirannya. Apalagi saat ini Sera belum bisa mengingat siapa dirinya. Satu hal yang cukup berat untuknya "Pak Tirta, ternyata yang diingat Sera adalah masa ketika kami belum menikah," jelas Agung. "Ah, syukurlah." Pras menghela napas panjang. Ada kelegaan dalam hatinya. Setidaknya, Sera tidak akan menganggap Agung sebagai suaminya. "Oh ya, Pak, sebentar lagi Sera sudah akan dipindahkan ke ruang perawatan. Jika hari ini kondisinya masih stabil, bisa dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta." jelas Agung lagi. "Baiklah. Tunggu Aku. Sebentar lagi aku ke sana." Pras menutup ponselnya, lalu bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit. Ia sedikit lebih tenang karena semua kontrak kerjanya dengan beberapa perusahaan iklan sudah ia bereskan. Pras memang sedikit kerepotan karena tidak punya asisten. D
"Agung, mulai hari ini, kamu aku angkat jadi asisten pribadiku." Pras bicara cukup serius. Belakangan ini ia kerepotan mengurus beberapa kontrak kerja dari perusahaan iklan. Ia juga perlu seseorang untuk mengurus semua keperluannya. Saat ini hanya Agung yang bisa ia percaya. "Baik, Pak Tirta. Apa yang harus saya lakukan?" Wajah Agung tampak berseri-seri. Dengan pekerjaannya yang baru ini pasti gaji yang ia dapat akan lebih besar. "Saya akan email beberapa kontrak yang harus kamu urus. Saya mau fokus menjaga Sera hingga sembuh. Pastikan dalam dua bulan ini tidak terima job dulu." Agung mengangguk. Ia baru saja tiba sepuluh menit yang lalu di rumah sakit dan langsung menemui Pras di ruang VIP."Mas Agung ... !" Dua pria yang sedang duduk di sofa itu seketika menoleh mendengar suara Serani memanggil. Agung memandang Pras takut-takut. Dia ingin sekali menghampiri Serani, tapi ia khawatir Pras tidak memberi izin. "Kamu hampiri Sera, katakan yang sebenarnya pada dia. Tapi, jangan mem
"Sayang, tadi dokter bilang kamu harus kasih bayi kita ASI. Memangnya kamu nggak kasian dengan baby Raja?" Suara Pras kini lebih memiliki penekanan. Pria itu terkejut saat mendengar kata tidak dari Serani. "Tapi ... bagaimana caranya?" Sera tampak bingung. Sementara bayinya sudah mulai menggeliat di pangkuannya. "Maaf, Sayang. Aku sering lihat kamu waktu menyusui Pangeran. Bagaimana kalau aku bantu?" Pras lebih mendekat, kedua tangannya mulai mengarah pada bayi mereka. "Jangan ...!" Sontak Sera berteriak hingga bayi mereka terkejut dan menangis. Pras tersentak. Kenapa ia lupa kalau Sera sedang lupa ingatan. Ia segjƙkpuiera melangkah mundur, lalu menekan bel untuk memanggil perawat. "Aduh, bagaimana ini? Dia nangis ..." Sera tampak panik, sekilas ia memandang Pras dengan tatapan memohon. "Sabar, Sayang. Sebentar lagi perawat datang. Sini biar aku gendong!" Pras meraih bayi Raja dari pangkuan Sera. Tubuh mereka sesaat berada dalam jarak dekat. Aroma maskulin dari tubuh Pras sempat