"Agung, bagaimana istriku?" Pras baru saja terjaga dan langsung menghubungi Agung. Ia sempat tertidur beberapa jam di villa siang itu. Tubuhnya sangat lelah dan letih. Ia juga perlu menjernihkan pikirannya. Apalagi saat ini Sera belum bisa mengingat siapa dirinya. Satu hal yang cukup berat untuknya "Pak Tirta, ternyata yang diingat Sera adalah masa ketika kami belum menikah," jelas Agung. "Ah, syukurlah." Pras menghela napas panjang. Ada kelegaan dalam hatinya. Setidaknya, Sera tidak akan menganggap Agung sebagai suaminya. "Oh ya, Pak, sebentar lagi Sera sudah akan dipindahkan ke ruang perawatan. Jika hari ini kondisinya masih stabil, bisa dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta." jelas Agung lagi. "Baiklah. Tunggu Aku. Sebentar lagi aku ke sana." Pras menutup ponselnya, lalu bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit. Ia sedikit lebih tenang karena semua kontrak kerjanya dengan beberapa perusahaan iklan sudah ia bereskan. Pras memang sedikit kerepotan karena tidak punya asisten. D
"Agung, mulai hari ini, kamu aku angkat jadi asisten pribadiku." Pras bicara cukup serius. Belakangan ini ia kerepotan mengurus beberapa kontrak kerja dari perusahaan iklan. Ia juga perlu seseorang untuk mengurus semua keperluannya. Saat ini hanya Agung yang bisa ia percaya. "Baik, Pak Tirta. Apa yang harus saya lakukan?" Wajah Agung tampak berseri-seri. Dengan pekerjaannya yang baru ini pasti gaji yang ia dapat akan lebih besar. "Saya akan email beberapa kontrak yang harus kamu urus. Saya mau fokus menjaga Sera hingga sembuh. Pastikan dalam dua bulan ini tidak terima job dulu." Agung mengangguk. Ia baru saja tiba sepuluh menit yang lalu di rumah sakit dan langsung menemui Pras di ruang VIP."Mas Agung ... !" Dua pria yang sedang duduk di sofa itu seketika menoleh mendengar suara Serani memanggil. Agung memandang Pras takut-takut. Dia ingin sekali menghampiri Serani, tapi ia khawatir Pras tidak memberi izin. "Kamu hampiri Sera, katakan yang sebenarnya pada dia. Tapi, jangan mem
"Sayang, tadi dokter bilang kamu harus kasih bayi kita ASI. Memangnya kamu nggak kasian dengan baby Raja?" Suara Pras kini lebih memiliki penekanan. Pria itu terkejut saat mendengar kata tidak dari Serani. "Tapi ... bagaimana caranya?" Sera tampak bingung. Sementara bayinya sudah mulai menggeliat di pangkuannya. "Maaf, Sayang. Aku sering lihat kamu waktu menyusui Pangeran. Bagaimana kalau aku bantu?" Pras lebih mendekat, kedua tangannya mulai mengarah pada bayi mereka. "Jangan ...!" Sontak Sera berteriak hingga bayi mereka terkejut dan menangis. Pras tersentak. Kenapa ia lupa kalau Sera sedang lupa ingatan. Ia segjƙkpuiera melangkah mundur, lalu menekan bel untuk memanggil perawat. "Aduh, bagaimana ini? Dia nangis ..." Sera tampak panik, sekilas ia memandang Pras dengan tatapan memohon. "Sabar, Sayang. Sebentar lagi perawat datang. Sini biar aku gendong!" Pras meraih bayi Raja dari pangkuan Sera. Tubuh mereka sesaat berada dalam jarak dekat. Aroma maskulin dari tubuh Pras sempat
"Halo, Kak Elena. Apa Bang Arnold masih di sana?" Ternyata yang menghubungi Elena adalah Ida. "Oh, ternyata kamu, Ida. Iya, dia masih di sini. Sebentar, kamu bicara langsung aja sama dia!" jawab Elena sambil mengerling pada suaminya. "Nih, Ida nyari kamu." Elena langsung menyodorkan ponselnya pada Arnold hingga pria itu gelagapan dan langsung meletakkan ponsel itu di telinganya "Halo, Ada apa, Da?" "Abang gimana sih, kenapa masih di sana? Ini Mamak dan Bapak dari tadi mondar-mandir terus nungguin Abang. Tapi ternyata Abang malah belum jalan. Jadi gimana, Bang? Apa mau ditunda saja?" Terdengar nada kecewa Ida dari seberang sana. "Eh. Tidak, jangan! Sebentar lagi aku pulang. Tunggu saja!" Arnold bergegas menutup panggilan dari Ida dan mengembalikan ponsel istrinya itu. Ia melihat Elena yang sedang bersiap-siap akan pergi ke rumah Pras. Sebenarnya ia sangat berat melepas Elena pergi. Tetapi tentunya tidak adil jika ia melarang Elena yang hanya sekedar menemani anak-anaknya Pras. Sem
"Astaga ... Seraaa ...!" Pras langsung menghampiri Sera yang tertidur pulas dalam keadaan miring, saat sedang menyusui bayi mereka. Perlahan ia meraih Baby Raja yang juga sudah tertidur pulas. Namun, pandangan mata Pras tertuju pada sesuatu yang sudah lama ia rindukan. Dengan sangat perlahan Pras memindahkan Raja ke dalam box bayi, agar bayi lucu itu tidak terbangun. Setelahnya, netra Pras kembali melirik pada bagian tubuh Sera yang paling favorite baginya. Ia menatap pemandangan indah itu cukup lama. Ingin rasanya menyentuh, namun ia khawatir Sera akan terjaga dan marah padanya. "Sayang, aku kangen. Kangen banget," desis Pras pelan. Akhirnya ia memilih menutup seluruh tubuh Sera dengan selimut. Dadanya berdegup cukup kencang saat begitu dekat dengan istrinya itu. Lagi-lagi pandangan netranya jatuh pada pemandangan itu dalam waktu beberapa detik. "Mau apa kamu?" Pras nyaris terlonjak. Ternyata Sera tiba-tiba membuka matanya bersamaan dengan gerakan tangan Pras hendak meraih selimu
"Kita sudah sampai. Hari ini Giska libur. Berarti semuanya ada di rumah," bisik Pras yang duduk tepat di samping Serani. "Ini ... rumah kita?" Sera tercengang melihat rumah yang begitu besar dan mewah, ketika mobil baru saja memasuki pintu gerbang. "Prasss ... aku gugup!" desis Sera. Tanpa sadar satu tangannya meremas kuat lengan Pras yang ada di dekatnya. "Tenanglah, Sayang. Semua pasti akan baik-baik saja." Pras mencoba untuk menghibur. Seorang baby sitter tergopoh-gopoh menghampiri dan membuka pintu mobil, lalu meraih baby Raja dari pangkuan Sera. Namun, Sera tampak ragu untuk menyerahkan bayinya pada sang baby sitter. "Bu Sera, bayinya biar sama saya," pinta sang baby sitter yang sudah lama bekerja dengan Serani sebelumnya. Melihat itu Pras buru-buru menghampiri dan menjelaskan perlahan. "Sayang, ini baby sitter yang biasa mengurus pangeran sejak bayi. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Dia akan membantu kamu untuk merawat Baby Raja." Sera mengangguk, lalu tanpa bicara lagi
"S-siapa wanita itu, Pras? Serani memandang wanita itu dengan tatapan bingung. Namun entah kenapa tiba-tiba saja timbul rasa sedih yang menyusup di hatinya, ketika melihat anak-anaknya sangat akrab dengan wanita cantik yang begitu nampak anggun dan lembut. " Elena ... sejak kapan di sini?" gumam Pras sangat pelan. Pria bule itu tertegun melihat kedua anaknya begitu dekat dengan Elena. " Siapa wanita itu Pras?" tanya Sera lagi. Hati wanita itu bertambah nyeri melihat kedekatan kedua anaknya dengan wanita cantik itu. Bahkan mereka sampai tidak menyadari kehadiran Serani dan Pras. "Dia ... dia ... temanku, eh maksudku ... teman kita. Kamu juga mengenalnya sebelum ini. Namanya ... Elena," jawab Pras pelan sambil menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Sera. "Oh ...," lirih Serani singkat. Sekian detik kemudian, Elena menoleh pada Serani dan Pras yang ada di dekat pintu. "Seraaa ... Praas!" Seketika Elena berdiri, sementara Giska dan Pangeran masih bergelayut pada kedua tangan Ele
"Astagaa ...! Kenapa ada wanita di ranjang ini?" Netra Arnold membelalak melihat seorang wanita dengan rambut panjang tergerai memakai dress berwarna marun sedang tertidur pulas. Perlahan Arnold memperhatikan wajah tertutup rambut itu. Lalu ia mendekat. Tangannya terulur menepis helaian rambut yang menutupi sebagian wajah putih itu. "Idaa ...." desis Arnold, lalu melangkah mundur. Ia memutuskan untuk memutar tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. "Abaang ...." Langkah Arnold terhenti ketika suara Ida memanggilnya. "Abang mau kemana? Di luar masih banyak sanak saudara. Kalau Abang tidur di kamar lain, Apa kata mereka nanti?" Ida yang ternyata belum nyenyak langsung duduk di tepi ranjang. Arnold berpikir sejenak. Benar apa yang dikatakan Ida. Bapak dan Mamaknya akan digunjingkan orang sekampung nantinya. Arnold kembali memutar tubuhnya. "Ya, aku akan tidur di sini." Ida mengangguk lalu bangkit dari ranjang. "Hei, kamu mau kemana?" tanya Arnold heran. Ia melihat Ida turun memba