"M-mamak?" Elena menoleh pada Dewi yang saat ini sedang memandangnya dengan sinis. "Mak, Kak Elena sedang bantu aku siapkan makan siang. Bukan cari muka," jelas Ida sembari melirik Elena dengan tatapan iba. "Bisa apa dia? Paling-paling dia takut tangannya rusak kalau kerja di dapur." Lagi-lagi Dewi menggerutu. "Maaf, saya bertahun-tahun tinggal di luar negeri dan hidup sendiri di apartemen, tanpa ada asisten rumah tangga. Semuanya saya lakukan sendiri. Jadi tolong, Mamak jangan selalu meremehkan saya!" Elena bicara dengan nada dan ekspresi datar. Ia berusaha agar tetap terlihat tenang. Hampir saja terpancing emosinya."Di luar negeri dan di sini, ya beda, dong!" sanggah Dewi tak mau kalah. Selanjutnya Elena memilih untuk diam setelah Ida memberi kode agar Elena tak usah menjawab lagi ucapan Dewi. "Mamak dan Bapak mau makan sekalian?" Ida menawarkan sembari meletakkan lauk terakhir yang ia masak hari itu. "iyalaah. Sekalian Mamak dan Bapak mau bicara penting." Dewi kemudian melan
"Sudah berkali-kali kami jelaskan bahwa menikahi Ida, selain untuk balas budi, mamak juga ingin agar kamu ada yang mengurus. Elena kan sibuk kerja. Mana sempat dia mengurusmu!" "Maak, tolong jangan selalu pojokkan Elena!" Arnold bicara pelan namun tetap dengan penekanan. Melihat suasana mulai panas dan tegang, Elena bangkit berdiri. "Sudah, Arnold. Katakan saja kalau kamu memang benar ingin menikahi Ida. Mamak, Bapak, saya menerima jika memang Arnold menikahi Ida. Karena sejak awal saya menikah dengan Arnold karena permintaan Ayah saya. Jadi, tidak ada salahnya jika kali ini Arnold memenuhi permintaana Mamak dan Bapak. Saya harap setelah ini keluarga kita tidak ada lagi pertengkaran." Arnold tercengang mendengar semua yang dikatakan Elena. Wanita itu bicara tanpa ada beban. Bahkan kedua orang tua Arnold pun tak lagi membantah semua yang diucapkan Elena barusan. "Ya sudah! Kalau begitu, segera saja kalian menikah. Jangan ditunda-tunda sebelum ada yang berubah pikiran," ujar Dewi m
"Pras, sudah pulang?" Sera melirik jam di dinding. "Ya, hari ini syuting terakhir. Aku sengaja pulang lebih awal." Pras masih berdiri di tempatnya karena Giska belum mau melepaskan pelukan pada pinggang papa sambungnya itu. Satu tangan Pras memeluk Giska, satu tangan lainnya meraih dan merengkuh bahu Sera, lalu mencium kening istrinya itu. "Papa ... apa kabar bahagianyaaaa? Aku udah nggak sabar." "Ehm ... kabar bahagianya ... besok papa mau ajak kita semua liburan." Mendengar itu sontak Giska melompat kegirangan. "Yeey! Kita liburan. Asiik! Aku mau kasih tau pangeran dulu." Giska berlari ke dalam menghampiri adiknya. "Memangnya mau ajak anak-anak kemana?" Sera menggandeng suaminya untuk duduk di salah satu sofa. "Maaf ..., aku hanya bisa ajak anak-anak ke villa di puncak. Karena senin aku sudah mulai syuting lagi." Pras bicara sambil mengusap lembut pipi Sera. Ia memandang istrinya itu dengan rasa bersalah. "Nggak apa-apa, Sayang. Aku dan anak-anak tidak masalah liburan di man
"Sayang ... bangun. Sudah pagi!" Pras mengusap pelan pipi istrinya berkali-kali, hingga akhirnya Serani terjaga. Serani mengerjap, lalu sedikit menggeliat. tubuhnya serasa remuk. Entah kenapa kegiatannya semalam bersama Pras begitu melelahkan. Padahal Pras melakukannya dengan sangat hati-hati dan perlahan. Sera pun tidak banyak bergerak semalam. Mungkin ini pengaruh dari kehamilannya yang sudah semakin besar. Tapi memang kehamilannya kali ini jauh berbeda dari dua kehamilan sebelumnya. "Kenapa? Masih capek, ya?" Tangan kekar dan lebar milik Pras mengusap kepala Sera denggan lembut. Apa kita tunda dulu liburannya?" "Jangan, Pras. Aku nggak apa-apa, kok. Udah yuk, kita mandi dan siap-siap!" Sera bangkit dan kemudian turun dari ranjang. "Beneran kamu nggak apa-apa, Sayang?" Pras merasa Sera terlihat kelelahan. Tapi ia berharap ini karena efek kehamilannya. "Maafin aku, ya! Harusnya semalam aku bisa menahan diri." Pras mengikuti istrinya ke kamar mandi. Ia seakan tak ingin jauh-jauh
"Pak Tirta?" Pras dan Sera spontan menoleh ke arah suara yang menyapa mereka. Sepasang suami istri yang mereka sangat kenali telah berdiri di depan pagar villa. "Arnold, Elena! Kalian juga di sini?" Arnold tersenyum dan mengangguk. Sedangkan pandangan Elena terus tertuju pada perut Sera yang semakin besar. "Apa kabar Elena?" Sera bergerak hendak menghampiri Elena yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri. "Sudah, sudah Sera, biar aku saja yang ke situ!" Elena memandang Sera tak tega, lalu ia buru-buru mendatangi wanita hamil itu. "Bagaimana kehamilanmu? Apa kamu baik-baik saja? Maaf, aku memang kurang paham. Tapi nampaknya kamu lelah sekali." Elena memandang Sera dengan tatapan iba. Sera berusaha tersenyum. Keringat di keningnya kembali mengalir. "Ya, mungkin karena usia kehamilanku sudah masuk bulan ke delapan. Kalian ada acara atau ..." Netra Sera memandang Elena dan Arnold bergantian. "Kami ... hanya ingin berlibur saja," jawab Arnold yang baru saja bersa
"Aguuung, cepat!" Agung yang sedang mencuci mobil di halaman. Seketika melepaskan selang air begitu saja. Lalu ia tergopoh-gopoh menghampiri kamar Pras dan Sera yang berada tak jauh dari teras. "A-ada, apa? Astaga, Seraaa ...!" Agung terhenyak melihat darah yang mengalir pada kaki Serani. Jantungnya berdetak sangat cepat hingga ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Wajahnya memucat melihat Sera terbaring tak sadar."Agung, ngapain kamu! Cepat siapin mobil! Sekarang!" Pras berteriak karena panik. Agung terlonjak dan langsung berbalik arah, lalu berlari keluar. Tanpa aba-aba lagi, ia membuka pintu mobil saat Pras menggendong Serani dan membawanya ke dalam mobil. Agung langsung duduk di belakang kemudi dan bergegas membawa Serani ke rumah sakit terdekat yang kemarin mereka bicarakan. "M-maaf, ada apa dengan Sera? Kenapa dia?" Agung nampak sangat cemas. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat Serani. "Agung! Fokus nyetir saja! Jangan menoleh ke belakang!" sentak Pras mulai em
Mata Elena mengerjap. Tubuhnya hendak bangkit, tetapi sebuah tangan kekar masih melingkar di perutnya. Hembusan hangat napas Arnold masih menyapu tengkuknya. Elena kembali memejam, menikmati setiap detak jantungnya yang berdebar. Elena tersenyum mengingat apa yang terjadi semalam. Arnold membawanya pada puncak kenikmatan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Meski awalnya ia merasakan sakit, tetapi Arnold mampu menggantikan semua rasa sakit itu menjadi sebuah kebahagiaan. Elena kembali bergerak sedikiilt gaduh karena ingin bangkit. Hal itu justru kembali membangkitkan sesuatu dari diri Arnold. Ia justru mempererat pelukannya pada Elena. "Mau kemana, Sayang?" Elena kembali melambung tinggi mendengar panggilan yang diucapkan Arnold padanya. Entah berapa kali semalam Arnold menyebutnya dengan kata sayang. Suaminya itu juga beberapa kali mengucapkan kata cinta saat mereka melakukan penyatuan. Rasa cinta Elena makin bertambah berkali-kali lipat. "Aku mau mandi," lirih Elena man
"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dokter! Tolong, tolong selamatkan istri saya, Dok!" Tubuh tinggi besar milik Pras mendadak lemas. Ia menopang tubuhnya dengan berpegangan pada dinding. "Baik, Pak. Jika sudah ada persetujuan dari keluarga, kami akan segera lakukan tindakan. Bapak baik-baik saja?" Sang dokter memandang khawatir pada Pras. "Tidak apa-apa, Dok. Mungkin saya hanya terkejut dan ... takut terjadi sesuatu pada istri saya, Dok." Suara Pras terdengar parau. Ia sungguh cemas. Belahan jiwanya, separuh nyawanya kini sedang berjuang untuk hidup. Setelah dokter kembali masuk ke ruang operasi, Pras berjalan gontai ke ruang tunggu dan terduduk lemas. "Bagaimana Pak? Apa ada yang serius dengan Bu Sera?" Agung kebingungan melihat raut wajah Pras yang tiba-tiba berubah setelah keluar dari ruang OK. Pras tidak langsung menjawab. Ia hanya diam beberapa detik. Tetapi ia merasa membutuhkan teman untuk bicara saat ini. "Sera harus mendapatkan tindakan operasi pengangkatan rahim.