Romlah yang sedari awal sudah gembar gembor punya mantu yang kaya dan royal merasa tersaingi saat melihat gelang indah melingkar di tangan Maemunah, sang rival. Sedari dulu memang dua orang ini selalu bersaing, tak mau kalah satu sama lain. Plus keduanya suka pamer agar jadi pusat perhatian.
Karena tak bisa membujuk sang mantu untuk membelikannya, mau tak mau Romlah harus membobol celengan untuk membeli gelang yang lebih bagus dan gramnya lebih gede daripada tetangganya itu.
Gelang sudah melingkar manis di tangan. Tinggal tancap aksi bertemu tetangga sekaligus pamer agar Maemunah tahu jika ia selalu unggul darinya.
“Mpok Siti, gula pasir seperempat dong!” pesannya saat ibu-ibu sedang berkumpul termasuk Maemunah.
“Ini, Nyak.” Siti menyodorkan gula yang dibungkus kantong plastik transparan.
“Berapa?”
“Empat ribu.”
Dengan sengaja Romlah menarik mengangkat dompetnya agak tinggi
Romlah terus uring-uringan setiap menatap mantunya. Perhiasan yang bergelayut manja di badan Munaroh benar-benar membuatnya panas tak karuan. Belum lagi Ali yang tak mampu membelikan perhiasan sebanyak yang dipunya istrinya.“Loe gimana sih, Al? Punya istri kaya tapi ga bisa ikut nikmatin duitnya?” hardik Romlah menyalahkan anaknya.“Pan, Enyak tahu sendiri kalau Munaroh itu ternyata pelit,” kilah Ali.“Makanya kamu harus pinter-pinter nyuri hati istri loe!” saran Romlah. “Kalau perlu curi aja tuh duitnya.”“Astagfirulloh Nyak!” pekik Ali sambil mengurut dada. “Istigfar, Nyak!” lanjutnya. “Nyuri itu dosa.”“Tahu Enyak,” sahut Romlah sewot. “Tapi hati ini panas Al, lihat perhiasan Munaroh yang gede-gede entu,” curhat Romlah dengan nada berapi-api.”“Mintain gih, tiga atau empat gelang Munaroh yang gede-ge
Romlah berkali-kali menghitung uang kontrakan dan jatah bulanan yang diberi oleh Ali. Jumlahnya tetap sama, tak berkurang dan tak berkembang biak.“Yaelah, jumlahnya cuam lima juta lima ratus ribu,” umpatnya kesal. “Gimana mau beli emas segede punya Munaroh.”Ibu Ali memujit-mijit keningnya. Mencoba mencari solusi agar cepat dapet duit banyak. Makin dicari, solusi itu malah bikin kepalanya nyut-nyutan tak karuan. Belum lagi mulut rasanya pingin ngunyah meski perut masih kenyang.“Ngopi enak kali ya!”Romlah ke luar kamar dan menuju dapur. Rumah tampak sepi hanya tinggal ia seorang. Ali pergi kerja sedang Munaroh pergi ke toko. Ibu Ali itu menggeledah setiap laci dan lemari makan untuk mencari kopi dan cemilan. Hasilnya nihil, tak ada stok.“Miskin banget sih rumah ini?” gerutunya kesal. “Kopi atau kue aja kagak punya. Romlah cemberut.&l
Ali sedang asyik merapikan sepatu-sepatu yang baru saja diambil dari gudang. Namun kedatangan leader yang langsung marah-marah tak jelas membuatnya terhenyak.“Kamu tuh gimana sih, Al!” bentak Pak Karno, sang leader. “Ditelpon ga diangkat, dikirim pesan ga dibalas.”“Memang Bapak telpon saya?” tanya Ali tanpa dosa.“Iya!” bentaknya kasar. “Ngapain saya kesini marah-marah kalau bukan karena hal itu?”“Ga ada dering hape Pak,” sahut Ali masih membela diri.“Coba cek dulu hapemu!”Ali merogoh kantong seragannya. Tampak ponsel yang sudah pecah layarnya dan diikat dengan karet. Ali menyalakan ponsel kesayangan. Tampak beberapa panggilan tak terjawab dari Pak Karno dan juga pesan yang baru saja masuk.“Baru masuk Pak, pesannya,” ucapnya santai.Pak Karno menepuk jidatnya. Geleng-geleng kepala, kesal dengan bawahannya tapi pingi
Selepas magrib, rumah Romlah disambangi oleh anak kedua dan mantunya. Tampak perut Atun sudah besar. Berjalanpun terasa berat dan melelahkan.“Wah, sudah gede aja perut loe, Tun?” seloroh Romlah.“Sudah berapa bulan, emangnya Mpok?” tanya Ali.“Bulan depan lahiran, Al,” sahut Atun membenarkan posisi duduknya.Munaroh keluar dengan membawa empat gelas minuman hangat dan sepiring gorengan.“Anak yang kedua ya, Mpok?” Munaroh ikut obrolan.“Iya,” sahut Atun ramah. “Nabila sebentar sudah kelas lima SD, jadi kangen suara bayi lagi.”“Munaroh kapan?”Tiba-tiba Karyo ikut mengakrabkan diri.“Aye sih dikasihnya sama Allah,” sahut Munaroh dengan tersenyum.“Dia mah sibuk ngurusin toko, jadi we ga hamil-hamil,” tukas Romlah dengan wajah judes.“Kurangi atuh ke tokonya!” nasihat Karyo. “L
“Kepala Enyak, sakit banget, Al,” rintih Romlah yang segera digiring untuk duduk.“Pasti darah tinggi Enyak kambuh ini,” sahut Ali langsung memberikan segelas air putih.“Bawa Enyak ke dokter, Al!” titahnya yang segera dilaksanakan. Munaroh membawa mertuanya berobat ke rumah sakit.******************Dokter memeriksa dengan seksama tubuh Romlah. Setelah beberapa saat ia menulis resep yang harus ditebus.“Darah tinggi ibu tinggi sekali,” jelas Dokter. “Ibu harus banyak istirahat, pikiran dan emosinya harus dijaga. Terus jangan makan yang asin-asin dulu ya, Bu!” pesan Dokter.“Banyak konsumsi buah dan sayur serta banyakin minum air putih.”“Gimana aye ga darah tinggi, Dok. Tiap hari diajakin berantem mlulu sama mantu saya!” curhat Romlah tanpa malu.Munaroh menunduk ketika merasa dipersalahkan karena kasus ini. Sang Dokter hanya ters
Akhirnya Munaroh mengalah. Dengan uangnya ia membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya. Membelikan sarapan sesuai permintaan suami dan mertuanya.“Yang, aku mau sarapan ketoprak dong!” suruh Ali.“Masaknya jangan cuma tahu tempe doang! Sering-seringlah masak ikan , daging atau ayam!” suruh Romlah.“Bosen nih, Yang, masakan rumah kalau sore! Beli kwetiaw atau nasi padang gih!” request Ali.“Kayaknya hujan-hujan gini enaknya ngopi sambil makan martabak Bangka!” usul Romlah.Semua permintaan mertua dan suaminya, Munaroh turutin. Dengan harapan bulan depan mertuanya mengembalikan jatah bulanannya lagi. Atau setidaknya sang suami membagi uang bensin gopek, gopek.Tapi nyatanya dua bulan ditunggu, mertua dan suaminya anteng saja. Setiap gajian, uangnya diambil semua oleh sang mertua setelah dipotong uang bensin Ali satu juta dan cicilan matrial dua juta.***********
Munaroh mampir ke warung Siti setelah membeli sarapan. Tampak ada beberapa ibu-ibu yang sudah berkerumun padahal hari masih pagi.“Mpok, Energen satu!” pesannya.“Kopinya ga sekalian, Roh?” tanya Siti.“Enggak, Mpok. Energen saja,” tolak Munaroh.“Jadi bener ya, yang dikatakan sama mertua loe kalau loe itu pelit,” ucap Siti membuat mata Munaroh membulat. “Beli sarapan satu doang.” Siti melirik kantong kresek yang ditenteng Munaroh.“Udah gaji suami diminta semua. Mertua dan suami ga dikasih makan,” imbuh Siti. “Ga takut kualat kamu, Roh?” ceramah Siti.“Berapa Mpok Energennya?” tanya Munaroh tak memperdulikan perkataan pemilik warung. Biarlah ia difitnah. Tak perlu mencari pembenaran.“Seribu maratus,” sahut Siti jutek merasa dicuekin.Munaroh membayar dengan uang pas lalu beranjak. Dia tak memperdulikan &nb
“Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld