Ruang tengah itu masih sunyi, walaupun semua penghuninya berada di tempat itu. Farida duduk bersisihan dengan suaminya. Vina berdampingan dengan Alif dan Ambar. Sementara Iyan duduk di kursi yang berbeda.Farida menatap takjub pada sang putra, hari yang dinantikan telah tiba, sang jagoan kecil telah menemukan tambatan hatinya. Sementara Rahayu yang dihubungi lewat ponsel juga tak bisa menahan haru. Wanita itu terlihat berkali-kali mengusap matanya. "Bundanya Alif, maukah kamu menikah denganku?" tanya Iyan tanpa basa-basi. Lelaki itu terlihat tenang dengan tatapan yang tepat menghujam manik cokelat Ambar.Vina melotot pada kakaknya, walaupun Iyan tak melihat kearahnya. Gadis itu meremas bantal yang ada di sofa, saking gemesnya pada kakaknya yang gak ada romantis-romantisnya itu. "Bundanya Alif, maukah kamu menikah denganku?" ucap Vina mengulang kalimat Kakaknya yang menurutnya kurang greget. Membuat Handoko dan Farida melotot ke arahnya.Setelah itu semuanya kembali tegang menunggu ja
"Aku tak menyangka kalau Iyan dan Ambar berjodoh," ucap Rahayu ketika mereka berada dalam kendaraan. Wanita senja itu terlihat bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Rahayu mengalihkan pendanaannya keluar jendela mobil."Ada apa?" tanya Farida setelah dia menyadari perubahan di wajah sahabatnya."Anakku, Da. Dia ... mungkin dia sekarang sudah berada di penjara. Kemarin dia datang dan menceritakan semuanya. Sekarang dia hancur, Da. Hancur, sehancur-hancurnya."Farida mengelus punggung tangan Rahayu, wanita yang memakai kecamatan itu mencoba memberi kekuatan dan dukungan pada Rahayu."Setelah dia memberikan segalanya, kini dia dibuang. Istrinya menggugat cerai ketika dia hendak mengakui kesalahannya dan ingin menebus kesalahannya tersebut." Rahayu tak tahan lagi menahan beban di hatinya, selama ini dia menyimpan dukanya sendiri. Kini setelah dia menemukan orang yang tepat, dia bisa mencurahkan semuanya."Bagaimana keadaannya di tempat itu, Da?" Rahayu menangis tersedu."
Selepas kepergian teman-temannya, Santi masih bergeming di tempatnya. Wanita yang selalu terlihat sempurna itu masih shock, dia sama sekali tidak menyangka kalau akan dipermainkan oleh beberapa orang yang katanya teman baik tersebut. Santi mulai mengotak-atik ponselnya, pikirannya saat ini tak bisa diajak kompromi, dia seperti wanita tua yang sudah pikun, akibat kejadian yang bahkan tak pernah dibayangkan olehnya.Sementara tak jauh darinya, sang pelayan masih setia menunggunya dengan membawa bon yang harus dibayar olehnya. Gadis yang rambutnya digelung itu terus menatap ke arah Santi.Sesekali Santi memijit keningnya sambil memejamkan matanya, nampak jelas kalau saat ini wanita itu sedang bingung. Beberapa bulan menikah dengan Rudi, membuatnya terlena hingga lupa untuk menyisihkan sedikit uang di tabungannya. "Apa yang terjadi, Win?" tanya seseorang yang terdengar sampai di gendang telinga Santi. Namun, wanita itu sama sekali tak tertarik untuk sekedar menengok. Dia sudah bisa meneb
"Kamu di mana? Dari tadi tak bisa dihubungi?! Buat apa punya ponsel hah?!" tanyanya langsung setelah panggilannya diangkat oleh adik bungsunya."Aku lagi di jalan, Mbak. Ada apa?" balas Sumi."Kamu ke ATM, cek saldo dan ambil sebisanya, setelah itu langsung pulang," titahnya pada sang adik."Buat apa, Mbak?" tanya Sumi malas-malasan. Gadis itu hanya ingin menikmati harinya, setelah beberapa waktu mengurus ibunya di rumah sakit hingga wanita yang melahirkannya itu tiada."Nggak usah banyak tanya. Lakukanlah saja apa yang kukatakan tadi!" sentak Santi."Baiklah, ada lagi?" tanya Sumi, gadis itu merasa jengah dengan sikap kakaknya yang selalu memerintahkan dirinya."Udah itu saja, ambil sebisanya." Santi kembali mengingatkan. Seperti biasa, tanpa menunggu jawaban dari Sumi, Santi langsung menutup telponnya.Walaupun kesal Sumi tetap melakukan perintah Kakaknya, bagaimanapun juga Santi adalah saudara yang mengentaskan keluarganya dari kesusahan. Kartu ATM yang dibawa Sumi adalah milik Sa
Rumah sederhana yang biasanya sepi itu kini terlihat sibuk. Ambar dan Vina tengah berbincang sambil memasak, sedangkan Rahayu dan Farida, kedua sahabat itu tengah asyik mengobrol di ruang tengah, sementara Iyan dan Handoko sedang berbincang di teras samping."Bagaimana kabar menejermu? Apa sudah ada jadwal sidangnya?""Minggu depan persidangan pertama dilakukan, Pak."Handoko menatap putranya penuh dengan tanda tanya, sorot matanya menanyakan kenapa bisa secepat itu. Iyan seolah mengerti, lelaki jangkung itu melanjutkan ceritanya. "Selama penyidikan dia bersikap kooperatif, sehingga mempercepat proses persidangan. Kata Soni Rudi terlihat sangat menyesali perbuatannya, selama di tahanan Rudi tak pernah mengeluh, hanya saja dia selalu terlihat murung, dan jika malam suka berlama-lama bersujud di pojok sel, sambil menangis." Iyan mengatakan apa yang ditahu dari pengacaranya. "Rudi beruntung, mungkin ada doa tulus dari seseorang hingga Allah berkehendak membuka pintu hidayah untuknya ...
Untuk sesaat suasana menjadi hening, Ambar menunduk sementara Iyan merasa canggung. Namun, itu tak berlangsung lama, lelaki jangkung itu duduk dan meminta Ambar untuk melakukan hal yang sama."Em ... urusan di kantor agama sudah selesai, tinggal menunggu harinya. Kurang semingguan lah, jadi masih mau keluar dari rumah ini?""Iya, Abangnya Vina, menurutku itu yang terbaik," sahut Ambar. Untuk sekilas pandangan mereka bertemu. Namun, Ambar segera mengalihkan pandangannya."Baiklah. Em ... sesuai keinginanmu, kita gak akan mengadakan pesta resepsi, tapi bolehkan kalau aku mengundang beberapa teman?" tanya Iyan sambil menatap lekat wajah calon istrinya. Tak bisa disembunyikan kalau saat ini detak jantungnya sangat tak beraturan. "Aku ingin mereka ikut merasakan kebahagiaanku," imbuhnya dengan suara tenang.Ambar melihatnya sekilas, lagi dan lagi pandangan mereka bertaut. Sebenarnya Ambar juga merasakan hal yang sama gugup luar biasa. "Silakan, Abangnya Vina. Maaf, jika keinginanku agak a
"Kenapa kita pergi dari sini, Bunda? Om Baik marah sama kita?" tanya Alif ketika mereka berdua tengah berada di kamar untuk mengemas beberapa pakaian miliknya."Ndak, Kak. Kita perginya hanya sebentar kok. Setelah itu akan kembali ke sini lagi," sahut Ambar tanpa menoleh, wanita yang suka dengan warna gelap itu tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam rangsel."Bunda, Alif sedih ...." Bocah lelaki itu tiba-tiba berkata dengan suara parau. Ambar yang mendengarnya pun menghentikan kegiatannya, wanita pemilik tinggi 159 cm itu menoleh, dia menautkan kedua alisnya ketika mendapati sang putra bermuram durja."Ada apa, Kak? Coba cerita sama Bunda, Kakak Alif sedih kenapa?" tanya Ambar setelah dia sudah duduk di sisi Alif."Alif sedih kalau berpisah dengan semuanya yang ada di sini, Bunda. Alif takut mereka semua pergi seperti Ayah." Alif menjeda kalimatnya, bocah yang badannya mulai tinggi itu menghela napas. "Bunda ... Alif janji gak nakal lagi, biar ndak ditinggal lagi," imbuhnya sambil m
Sampai malam menjelang, ponsel Santi tak bisa dihubungi oleh Sumi. Sebenarnya Sumi tak begitu khawatir karena kakaknya itu sudah terbiasa pergi dalam beberapa hari. Yang membuatnya resah adalah kedatangan beberapa lelaki sore tadi. Mereka adalah penagih hutang almarhum bapaknya. Dalam kebingungan, Sumi menghubungi Siti dan Suji. Namun, dia harus menelan kekecewaan setelah nomor yang dituju sedang tidak aktif.Dalam kepanikan, Sumi teringat dengan ATM yang dibawanya. Gadis itu pun meminta izin pada penagih hutang untuk menunggunya sebentar. Sumi meminta Mina dan seorang satpam untuk menemani 'tamunya' tersebut. Sumi bergegas turun dari ojek online yang dipesannya, tanpa basa-basi, gadis itu menyerahkan sejumlah uang pada sang penagih. "Ini masih kurang ya, Neng. Ini hanya untuk membayar bunganya. Kemarin hutang Pak Marno beserta bunganya ada 75 juta, sehari tidak bayar sudah menjadi 80 juta. Nengnya paham?" tanyanya dengan lembut pada Sumi."Hah? Sehari bunganya lima juta?!" Tanpa sad