Daniel mengajakku makan siang di rumahnya. Dan ini benar-benar membuatku sangat kaget. Kupikir tadi kami hanya akan makan siang di restoran seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Aku dan Adam juga sering makan bareng. Tapi dia lebih suka mengajakku ke restoran, bukan di rumahnya seperti ini. Sedikit kikuk saat Tasya, putri Daniel itu memperlakukanku dengan sangat akrab. Setelah berkenalan, dia bahkan tidak segan menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah. Dan seorang perempuan paruh baya bernama Bi' Marni menyambut kami di ruang tamu dengan ramah. Ternyata wanita itu pun telah menyiapkan makan siang untuk kami. Menu yang menurutku terlalu special untuk ukuran makan di rumah. "Maaf ya Bi', saya jadi merepotkan," kataku dengan nada tak enak pada perempuan paruh baya yang kulihat begitu menyayangi putri Daniel itu. "Tidak merepotkan, Bu. Saya justru senang Pak Daniel mengajak ibu kesini." Cara bicara perempuan itu sangat sopan, mengingatkanku pada Mbok Jum.
Seminggu setelah itu, aku sudah pindah menempati kontrakan yang akan kujadikan tempat bisnis dan tempat tinggal itu. Ibu sebenarnya berat melepaskanku tinggal berpisah darinya, tapi aku tak ingin selamanya bergantung pada orang tuaku. Aku pindah bersama Keenan dan Mbok Jum. Dua hari berikutnya setelah kami pindah, sudah ada dua orang karyawan yang berhasil direkrut Adam sebelumnya sebagai admin untuk bisnis kami. Mereka gadis-gadis muda fresh graduate bernama Santi dan Hera. Adam ternyata memang memiliki selera yang bagus. Gadis-gadis ini cantik seperti rata-rata karyawan wanita yang bekerja di kantornya. Aku menggoda Adam saat dia sedang sibuk mengajarkan job description pada dua gadis cantik itu. Kulihat keduanya memang seperti punya ketertarikan dengan Adam. "Apa senyum-senyum gitu?" tanya Adam berbisik saat kembali ke kursi kerjanya disampingku. "Apa? Nggak papa kok. Memangnya senyum dilarang?" kataku sewot. "Nggak, tapi senyummu aneh dan menyebalkan,"
Beberapa hari setelah pertemuan kami, Daniel tak pernah lagi mengirimiku pesan seperti biasanya. Mungkin dia memang benar-benar marah padaku. Bahkan dia melupakan janjinya sendiri waktu itu yang katanya akan menjemputku dan Keenan untuk liburan bersama Tasya, putrinya. Dan anehnya, aku justru merasa kehilangan perhatiannya yang walau terkesan sangat kaku itu. "Kamu lihat kan tadi, San? Nggak mungkin deh aku salah lihat. Dia melihat terus kesini." "Masa' sih? Tapi aku belum yakin, Her." Aku tersadar dari lamunanku tentang Daniel saat mendengar bisik-bisik dari kedua karyawanku yang sedang duduk di meja kerja mereka masing-masing. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Keduanya nampak saling pandang sebelum akhirnya Santi berbicara. "Ini Mbak, masa' kata Hera dia melihat ada orang yang mengawasi rumah ini. Katanya melihat orang itu terus disekitaran sini beberapa hari ini." Dahiku berkerut. Ada yang mengawasi rumah ini? Apa itu Irwan? "Bagaimana ciri-ciri orang
P.O.V Adam Saat menerima telepon dari Hani hari itu dan dia tidak merespon candaanku, aku sudah tahu ada yang telah terjadi padanya. Apalagi saat dia berkata sedang membutuhkan uang dengan nominal yang cukup besar. Aku semakin yakin sesuatu sedang terjadi pada belahan jiwa yang belum sempat kumiliki itu. Segera kututup sambungan telpon darinya untuk segera menghubungi sahabatku. Daniel, pasti bisa membantu. Karena dia memang orang yang selalu bisa dalam hal seperti ini. Namun ada hal yang membuatku sangat kaget saat kuceritakan kecurigaanku tentang Hani pada Daniel. Daniel justru berkata dia sudah tahu semuanya. Hani sudah pernah menghubunginya beberapa hari yang lalu dan menceritakan bahwa dirinya mendapat ancaman dari seseorang. Hani? Menghubungi Daniel? Kenapa dia tidak menghubungiku jika memang ada masalah? Apa yang terjadi pada Haniku? Apa ada sesuatu yang tidak aku tahu diantara mereka berdua? Yang membuatku juga terkejut adalah bahwa Daniel juga sudah t
P.O.V Daniel Sepulang dari rumah Hani, aku melajukan mobilku bagai kesetanan menuju arena tembak tempatku sering melakukan latihan. Kuparkir mobilku asal asalan di pelataran dan bergegas menuju ruang ganti. Entah sudah berapa banyak sasaran yang berhasil kuhancurkan kali ini, tapi rasanya aku belum juga puas. Debaran jantungku sudah semakin menggila, mataku pun sepertinya semakin berkabut. Entah apa ini, tapi aku tidak mungkin menangis karena aku tidak pernah diajarkan untuk menangis selama ini. Saat rasa kesalku sudah tidak bisa lagi kuredam, kubanting senapan yang sudah tanpa isi itu ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telinga. Senior yang juga instrukturku menghampiri dengan wajah dinginnya seperti biasa. Dan saat sampai di depanku, dia mengulurkan sebotol air mineral tanggung yang tadi diambilnya dari lemari pendingin. "Ada apa? Soal wanita lagi?" tanyanya sambil memungut senapan yang baru saja kubuang itu. Tidak, dia bukan seda
Aku menyadari perasaanku pada Daniel bukan perasaan yang biasa adalah saat pertama kali aku datang ke kantornya meminta bantuannya untuk meminjam ponsel Mas Reyfan waktu itu. Lalu berlanjut ketika dia tiba-tiba mengajakku ke rumahnya pada suatu hari usai persidanganku. Aku pun semakin menyadari bahwa Daniel juga menyukaiku. Saat hari dimana Keenan diculik adalah hari dimana aku semakin sadar bahwa Daniel adalah pasangan yang tepat untukku. Dalam bayanganku, Daniel akan menjadi pelindung yang sempurna untukku dan Keenan. Tapi karena sidang perceraianku belum selesai, aku mencoba untuk menahan diri. Berharap tidak akan menimbulkan masalah baru dalam proses perceraianku dengan Mas Reyfan. Aku bukannya tak menyadari apa yang dirasakan Adam padaku. Aku tahu dia juga sepertinya menginginkanku. Tapi aku sangat menyayangi Adam sebagai seorang sahabat. Disamping itu, aku ingin Adam memiliki pasangan hidup yang jauh lebih baik daripada aku yang sekarang berstatus seorang
Aku dan Daniel berjalan pelan menuju ke arah rumah. Tasya sengaja kami biarkan berada di mobil dengan mesin masih menyala karena dia masih tertidur lelap. Rencananya, Daniel akan langsung pulang setelah menidurkan Keenan yang saat ini sedang dia bopong dalam tangan kokohnya. Mbok Jum menyambut kami di teras rumah. Namun, kami tak melihat ada Adam bersamanya. "Sudah pulang, Bu?" tanyanya. "Itu ada Mas Adam di dalam. Ketiduran di sofa," kata Mbok Jum memberitahu sambil tangannya menunjuk ke dalam rumah. Astaga Adam! Aku dan Daniel saling berpandangan. Wajah Daniel tampak tenang tak bereaksi. Sementara aku yakin wajahku pasti pucat saat ini, karena kemudian dia bertanya. "Ada apa?" "Tidak." Aku menggeleng pelan. Lalu aku segera mengajaknya melangkah lagi ke dalam. Dan benar saja, di sofa, kulihat Adam sedang tertidur pulas masih dengan pakaian yang dia kenakan tadi pagi saat berpamitan padaku mau ke luar kota. Sudah berapa lama dia menungguku disini sampai ketidur
Daniel menelponku pagi harinya. Dia menghujaniku dengan perhatian-perhatian yang justru membuatku semakin merasa bersalah pada Adam. Masih belum hilang dari ingatanku bagaimana kemarahan di wajah Adam semalam. Lalu sebuah pertanyaan segera terlintas di pikiranku. Apa hari ini Adam akan tetap datang kesini seperti biasa? Atau dia justru tidak akan muncul di hadapanku lagi? Aku belum sanggup ditinggal Adam dengan kondisi bisnis yang sedang mulai berjalan seperti ini. Mendadak aku merasa sangat kotor. Seperti inikah aku sekarang? Memikirkan Adam hanya karena membutuhkan bantuannya saja? Aku merasa sepertinya aku telah menjadi orang yang sangat jahat. Sampai hari menjelang siang, Adam belum juga muncul disini. Entah sudah berapa ratus kali aku melirik ponsel yang tergeletak di atas meja kerjaku. Berharap tiba-tiba dia mengirimiku pesan candaan seperti biasanya, lalu tiba-tiba muncul membawakan makan siang untuk kami bertiga. Aku sudah mulai putus asa menunggu kemunculan Ada