Aku tidak pasti bangun jam berapa, tapi perutku meraung minta makan.
Aku berusaha bangun, dan merasa-rasa apakah perutku masih terasa sakit. Syukurnya tidak.
Untung saja, aku bukan orang yang pendendam. Jika tidak, sudah kupastikan akan menjambak rambut biola saiko sampai botak. Apalagi terjadi apa-apa terhadap anakku. Aku akan menjadi seperti induk ayam yang galak, ketika menjaga anak-anaknya. Aku akan menyerunduknya menggunakan apapun yang aku bisa.
Aku menurunkan kakiku dari ranjang dan berusaha berdiri, bokongku luar biasa sakit. Bokongku tidak bengkak bukan? Aku belum pernah mendengar kasus bokong bengkak. Rasanya bokongku luar biasa sakit. Jangan-jangan aku tidak bisa jalan?
Aku berdiri dan menutup mataku, menimbang harus jalan atau kembali berbaring. Perutku makin berbunyi.
Tahun baru.. malamnya.Begitu antusiasme orang Jerman mau menyambut tahun baru. Meski, di Indonesia juga sama. Tapi, tidak seheboh dan semeriah di sini.Terlalu banyak tradisi warga Jerman menyambut tahun baru. Tapi, aku malas untuk mengikuti tradisinya. Aku hanya ingin, melihat kembang api, setelah itu membuat daftar yang akan kujalani di tahun berikutnya. Karena, tahun berikutnya, aku akan mengemban, tanggung jawab yang sangat besar menjadi seorang ibu. Semoga, aku bisa menjadi ibu yang bertanggung jawab terhadap anakku dan tidak lupa melimpahkan kasih sayang terhadap anakku. Aku akan memastikan anakku tidak kekurangan satu apapun, apalagi menyangkut kasih sayang.Sakit di bokongku, masih sedikit kurasakan. Walau pada saat digarap sakit itu hilang sekejap, setelah selesai sakit itu kembali.
Memasuki bulan ke 7 kehamilan. Dua bulan lagi, dan aku benar-benar akan menjadi seorang ibu. Perutku makin membesar. Karena badanku mungil, tubuhku tidak terlalu seperti domba bulat. Walau perutku membesar dan membulat. Aku juga bisa melihat, ada urat-urat kecil menjalar di sepanjang perutku. Setelah melahirkan, perutku akan mengkerut dan bervarises. Semoga, Gerald tidak ilfeel lagi dengan tubuhku. Lagian, ini sudah menjadi kodrat setiap wanita yang melahirkan. Aku berencana melahirkan normal. Berharap saja lancar. Aku sudah menantikan detik-detik melahirkan. Hari ini jadwal pemeriksaan, sekalian mengetahui posisi bayi. Semoga, sudah pada posisi yang semestinya. Aku takut, banyak drama seperti pengelaman ibu-ibu yang lain. Apalagi ini pengelaman pertamaku, yang bisa membuat aku tak bisa berbuat banyak kecuali pasrah dengan keadaan.
"Ok, Rara yang mutusin duluan. Ayo kita pisah!"Detik selanjutnya, aku menyadari kebodohanku."Aku nggak mau pisah!" Aku dan Gerald,bicara bersama. Menit berikutnya, kami sama-sama menyadari dan ngakak bersama. Bisa dibilang, kami pasangan sinting. Aku memang menyadari, jika aku dan Gerald adalah pasangan tak beres, seperti yang sering Aldo sebutkan. Awalnya kukira, Aldo iri, tapi melihat kelakuan absurd kami, ternyata Aldo benar. Hm... aku merindukan cecungut satu itu.Tup!Gerald menepuk mulutku."Nih mulut, memang luar biasa. ucapan itu doa, mau nangis kejer? Mau jadi janda? Mau anak kita tak punya ayah?" tanya Gerald, bertubi-tubi. Aku hanya mengerucutkan bibirku. "Rara bercanda doang ngomongnya. Kita itu pasangan abadi, takkan berpisah selamanya.""Romeo dan Juliet?""Mau bangat, jadi pasangan itu? Hidup mereka
Aku menangis setelah kepergian Gerald. Menyesal pasti ada, tapi yang lebih membuatku merana adalah, aku tidak punya uang untuk kembali.Mau jalan kaki, aku tidak tahu persis ini dimana dan membutuhkan waktu berapa lama agar sampai di apartemen. Aku sudah tidak mempunyai handphone semenjak insiden ponselku dihempaskan Gerald di mobil. Selama mengenal Gerald, sudah tiga handphone-ku tewas. Aku menyeka air mataku, dan memutar otak bagaimana caranya, agar sampai di apartemen.Aku tak mungkin jalan kaki. Bagaimana, kalau aku melahirkan disini? Karena, jika ibu hamil sering berjalan, maka proses kelahirannya lebih cepat.Gerald sialan! Ok, aku yang salah. Apa aku naik taksi baru bayar di rumah? Aku tidak tahu persis budaya disini bagaimana caranya. Sambil berjalan, aku merapatkan jaketku. Gerald tega, seharusnya dia
"Maafkan aku." kalimat itu meluncur begitu saja, dari mulut Gerald. Dia menatapku serius, dengan tatapan penuh penyesalan. Mungkin dia menyesal meninggalkanku sendirian, dan sekarang ia sadar."Kamu nggak perlu minta maaf, yang salah disini aku. Maaf, aku terlalu kasar. Mulut aku memang harus diberi bon cabe atau dijahit biar gak bicara kasar dan menyakiti Gerald.""Aku tahu, aku juga terkadang menyebalkan." aku Gerald."Tuh kamu nyadar." niatnya untuk bercanda. Karena terkadang Gerald serius rasanya sangat aneh."Kamu sayang sama aku 'kan?" tanya Gerald serius. Tanda tanya besar, merasuk dalam pikiranku. Aku mengangkat alisku. "kau nggak kerasukan 'kan?""Jangan merusak suasana." jawab Gerald dengan jengkel. Aku menarik napas panjang.
Sejak hari itu, hubunganku tidak lagi baik-baik saja. Hubunganku gersang, dan kering. Aku dan Gerald tidak lagi bertegur sapa. Walau seatap. Dia tidak menegurku, dan banyak menghabiskan waktunya di luar. Dia hanya pulang untuk membelikan stok makanan, setelah itu pergi lagi tanpa sepatah kata. Terkadang aku ingin menangis, dan menahan dirinya untuk tinggal, tapi kami mempertahankan sifat egois kami masing-masing. Sampai aku sudah pada tahap jenuh dan bodo amat.Aku tidak mempedulikan Gerald, terserah dia mau ingin berbuat apa. Yang penting, aku bisa makan, dan ada tempat menginap menurutku semuanya sudah lebih dari cukup. Walau menahan sesak di dada, yang setiap saat bisa meledak. Tapi aku bertahan demi anakku.Usia kandunganku sudah memasuki 8 bulan. Perutku semakin membengkak, kakiku juga ikut membengkak. Tendangan di perutku semakin saja kurasakan. Hanya aku yang bis
Berjuang sendirian itu, rasanya tidak bisa digambarkan. Sedih, kecewa, ingin mengamuk, ingin marah, benci, emosi, frustasi. Tapi pada siapa?Yang membuatku risau, sudah tiga minggu lebih dari perkiraan dokter. Dan aku tak kunjung melahirkan. Walau aku sering mengalami, konstraksi. Tapi, air ketuban tak kunjung pecah sampai sekarang. Dan lebih naasnya, aku punya suami yang selalu kelayapan. Aku benar-benar tidak dianggap lagi. Hubungan yang dulunya hambar, sekarang ibarat pasang-surut bahkan surutnya sampai keterusan sampai tak tak tahu kemana arah jalan pulang. Gerald tidak pernah lagi makan di rumah. Walau, makanannya sudah kusediakan. Ujung-ujungnya, aku yang menghabiskan makanan itu. Dia pulang membelikan makan, setelah itu buru-buru pergi. Walau kadang, ia mendapatiku sedang kesakitan menahan rasa mules di perut. Di mata Gerald, aku tak ada lagi.Aku menangis, menghadapi nasib sialku. Harusnya, aku ke dokter a
Kelsea Ballerini Willson.Bayi sehat, lahir dengan persalinan normal dengan berat 3,20 Kg dan panjang 47 cm. Pada tanggal 20 Maret, pukul 12.14 di Jerman.Aku tidak menyangka, sudah menjadi ibu sesungguhnya. Perjalanan dan penantian panjang, semuanya terbayar. Anakku, lahir dengan selamat. Walau, persalinannya benar-benar menguras diriku. Sampai, aku berjanji aku tidak akan melahirkan lagi. Sakit itu, benar-benar mengoyak tubuhku.Walau sekarang, aku masih merasakan kesakitan. Milikku, bagian bawah dijahit dan membuatku tidak bebas bergerak. Tapi, sepertinya lebih baik melahirkan normal. Karena, jika caesar akan sangat susah. Sekedar minum air saja susah, apalagi buang air. Walau telah melahirkan, aku masih sering merasakan konstraksi. Rasa kram di bawah perutku, masih saja kurasakan. Aku juga, sering buang air dan keringatan p