Pintu dibuka dengan suara derak keras. Atensi para tamu seketika berpaling ke arah Damian dan Bella. Wajah mereka dipenuhi rasa penasaran, dan mereka mulai berbisik-bisik satu sama lain. “Tarik napas, Sayangku,” bisik Damian di puncak kepalanya. Bella mengangguk, dan berjalan perlahan di sisi Damian, berusaha agar kakinya tidak mempermalukannya. Ruangan itu disinari cahaya hangat dari kandelar besar yang menggantung. Sekeliling ruangan dilapisi oleh kertas dinding hitam bermotif batu-bata, sangat kontras dengan meja putih tempat hidangan disediakan. Ada panggung kecil di sudut ruangan, sepertinya tempat penyambutan berlangsung. Para tamu saling membaur sambil membawa gelas minuman yang ditawarkan oleh pelayan. Kebanyakan yang hadir adalah laki-laki. Mereka semua mengenakan pakaian glamor dari desainer ternama. Bella tanpa sadar mengerutkan hidung mencium bau familier yang menyapa penciuman. Campuran aroma alkohol, tembakau, dan juga cologne yang digunakan oleh para tamu. Samar
Bukankah dia... gadis yang ikut dilelang di tempat Nyonya Poppy?Helena Collen, jika Bella tidak salah ingat. Dia dibawa pergi bersama gadis bernama Pearl Bridget yang berasal dari Tigris.Wanita itu menekan tangannya ke paha, bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tetapi tatapan matanya... dia terlihat ingin melarikan diri. Sementara pria yang merangkul pinggangnya sibuk membalik kartu, tidak memperhatikan—atau mungkin tidak peduli dengan—ketidaknyamanan wanita itu.Bella hanya ingat kalau dia dibawa pergi setelah harga disepakati. Ia tidak pernah menyangka bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat seperti ini.Tidak ada bekas luka di tubuh wanita itu, tetapi wajahnya sangat pucat dan lelah, dia sepertinya kurang tidur. Dia mungkin tidak disiksa secara fisik, tetapi hanya dengan melihat ekspresinya, sudah jelas mentalnya-lah yang tersiksa.Bella tanpa sadar terus memperhatikan wanita itu sampai dia mengangkat kepala. Tatapan mereka bertemu dan dia mengernyit. Bella yakin dia sama sekal
“Yah, aku tahu, organisasimu yang menyedihkan itu hampir hancur, bukan?”“Tidak, Bung. Organisasimu yang hampir hancur.”“Tidak, tapi organisasimu, dasar banci.”“Organisasimu, demi Tuhan!”Bella menghela napas dan menyandarkan kepalanya di pundak Damian. Pesta Evren telah hampir berada di penghujung acara, dan penghuni ruangan ini diisi oleh orang-orang yang saling memaki karena mabuk.Mereka tidak sempoyongan dan masih bisa bergerak ke sana ke mari tanpa tersandung, tetapi obrolan mereka sungguh kacau. Musik bahkan telah diganti dengan senandung tidur untuk anak-anak.Tidak ada yang beres di sini, begitu kata Damian sebelum larut dalam pekerjaannya.Bella mengangkat kepala dari pundak Damian dan melirik jam, sudah lewat pukul 11 malam. Di sudut ruangan, televisi layar lebar memutar acara yang menampilkan permainan ski dan kereta luncur di pegunungan Norfolk.Bella beralih menatap Damian yang sibuk membaca berkas-berkas di hadapannya. Dia telah memilah-milah dokumen dari satu map ke
"Seharusnya aku lebih berhati-hati." Keringat dingin membasahi sekujur tubuh perempuan bergaun lusuh yang duduk bersimpuh di lantai. Pandangannya terus tertuju pada kaca jendela yang memantulkan ekspresi ketakutan di wajahnya. Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya, bersama lecutan cambuk yang mengerikan. Bella memejamkan mata rapat-rapat, jantungnya berderu tidak terkendali. Kilasan ketika Daisy—budak yang seumuran dengannya—dihukum, melintas begitu saja. 'Tolong! Saya mohon, Tuan! Jangan bunuh saya! Saya mohon!' 'Diam kau pencuri!' Tuan Hugo langsung membunuh gadis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun. Darah yang menggenang ... daging yang berceceran ... teriakan penuh kesakitan ... Bella tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu. Sejujurnya, ia tidak ingin mengalami hal yang sama. Tetapi, kesalahannya memecahkan salah satu piring tidak bisa dimaafkan. Tuan Hugo dan istrinya—Nyonya Deborah—sangat benci dengan budak yang ceroboh. Padahal B
"Bella, cepat bersiap, Tuan Hugo akan menyelenggarakan sebuah pesta." Pukul lima pagi dan Melinda membangungkan Bella dengan terburu-buru. Mereka perlu membersihkan keseluruhan rumah lebih cepat dari biasanya, tanpa ada sedikit pun debu. Walaupun rumah ini sebenarnya tidak pernah disinggahi debu. Setiap hari mereka selalu membersihkan semua ruangan. Menyedot debu, mengepel lantai, dan mengelap jendela hingga mengkilap. Nyonya Deborah dengan senang hati akan menyita jatah makan mereka jika salah satu ruangan tidak dibersihkan dengan baik. "Punggungmu masih sakit?" Tanya Melinda khawatir. Ia membantu Bella untuk bangun dari kasur. "Sedikit, tidak apa-apa." Bella mendesis pelan. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menahan rasa perih yang masih sangat menyengat di punggung. Kendati begitu, ia harus tetap bekerja. "Aku bisa mengatasinya. Tidak apa-apa," kata Bella, tidak ingin membuat Melinda menunggunya. Dia akan mendapat hukuman jika tidak segera memasak di dapur. "Pergilah." Meli
"Apa kali ini tamu yang diundang sama seperti tahun lalu?" Melinda menoleh mendengar pertanyaan Bella. Ia berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya. "Dan itu berarti pekerjaan kita akan bertambah." Bella meringis. Ia masih ingat benar bagaimana kacaunya pesta tahun lalu. Di penghujung acara, teman-teman bisnis Tuan Hugo menumpahkan banyak tinta dilantai sebagai perayaan untuk kesuksesan perusahaan mereka. Bella tidak mengerti dari mana ide itu dicetuskan. Jadi, Tuan Hugo menjalankan bisnis kertas dan tinta. Itu sebabnya mereka melakukannya. Tetapi walaupun begitu, mereka bisa saja melakukan hal lain pada tinta itu sebagai perayaan. Untung saja mereka tidak ikut merobek-robek kertas dan menjadikannya hiasan di atas tinta. Bella dan budak lainnya harus menyikat lantai selama berjam-jam karena cairan hitam itu begitu lengket, kemudian mengepelnya hingga mengkilap seperti semula. Sebagian dari tamu itu tentu saja tahu kalau Tuan Hugo memiliki beberapa orang budak, meski mereka selalu dise
"Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung. "Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?" "Banyak sekali, aulanya penuh." "Wah." Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai. Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah. Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit. Jadi, pesta diselengg
"Hei budak! Berhenti!" "Berhenti di sana!" Tubuh Bella gemetar hebat. Keringat dingin menjalari tubuhnya dengan cepat seolah ia baru saja dicelupkan ke dalam tangki air es. Bella merasa sangat ketakutan hingga ia pikir ia akan pingsan di tempat. Kepalanya yang sakit dipaksa untuk berpikir keras, mencari jalan keluar.Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu terlihat semakin dekat dan lampu depan yang menyilaukan tidak sengaja menyoroti tubuhnya. Mata Bella melebar panik, ia berputar secepat kilat dan memaksa kakinya untuk berlari kencang. Suara teriakan marah pengawal terdengar di belakangnya. "Aku bilang berhenti! Kau akan mendapat masalah!" "Budak sialan!" Bella menggigil. Ia tidak boleh tertangkap. Tuan Hugo akan langsung membunuhnya. Bella terus berlari, memaksakan diri, tidak peduli kepalanya seperti akan copot dari tubuhnya karena rasa pusing yang mendera.Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menerobos semak mawar yang tinggi dan melompat ke dalam kegelapan. Ia meri