Tiga jam telah berlalu sejak Damian dibawa pergi.Baik Dhruv maupun Nyonya Mirabesy belum kembali dari rumah sakit. Bella merasa sangat khawatir memikirkan keadaan Damian.Bagaimana kondisi pria itu sekarang?Bella berdiri di beranda dan terus menatap ke arah gerbang yang tertutup rapat.Hujan deras mengguyur beberapa menit yang lalu dan menyisakan angin kencang yang datang bersama aroma petrikor. Dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi Bella enggan beranjak dari tempatnya. Ia ingin menunggu kabar dari Damian.Rasa gelisah dan takut seakan menelannya. Ia tidak bisa berhenti mengigit bibir bawahnya yang sudah hampir berdarah, ketika pikiran-pikiran buruk terus berseliweran dalam kepalanya.Bagaimana kalau sesuatu yang parah terjadi pada Damian? Bagaimana kalau racunnya sudah terlanjur menyebar? Bagaimana kalau pil yang ia berikan tidak bereaksi dan ia malah membahayakan kondisi Damian?Bella sangat takut. Bagaimana kalau Damian tidak bisa ...Tidak, tidak.Bella menggeleng-geleng. Ia ti
Damian sudah bisa pulang hari ini.Setelah dirawat intensif selama tiga hari, kondisi Damian akhirnya mulai pulih.Bella mendudukkan diri di tepi ranjang Damian dan melirik jam dinding. Sudah hampir makan siang. Sejam lagi, ia ingin pergi ke dapur untuk membantu Erina dan Verona menyiapkan makanan demi menyambut kepulangan Damian."Kau bisa minum obatmu sekarang sebelum beristirahat," ucap Bella, menyodorkan beberapa butir obat dan segelas air pada Damian yang duduk bersandar."Obat lagi?" Damian menghela napas dan spontan mengerucutkan bibirnya.Dari semua hal yang tidak ia sukai, minum obat menempati urutan pertama. Ia hanya tidak suka rasa pahit tidak mengenakkan yang tertinggal di mulutnya. Ia sudah minum obat selama tiga hari berturut-turut dan rasanya ia tidak sanggup lagi."Bisakah yang terakhir ini dilewatkan?" Damian bertanya dengan wajah pura-pura memelas. Berharap Bella akan menurutinya, tetapi gadis itu rupanya tahu taktiknya.Bella menggeleng. "Ini yang terakhir dan setela
"Coba lihat itu, mereka pasti akan pergi bersama lagi," bisik Verona, mencolek lengan Bella. Pandangan wanita itu fokus tertuju ke gerbang depan, di mana Erina dan Dhruv tampak sedang membicarakan sesuatu sambil tertawa-tawa. Jadi, Bella dan Verona sedang mengintip Erina. Mereka bersembunyi dibalik semak mawar yang tinggi, berjarak sepuluh kaki dari tempat Erina dan Dhruv. Mereka baru selesai membuat kue ketika Erina meminta izin untuk keluar. Verona merasa curiga dan segera menarik Bella untuk mengikuti wanita itu. Sesuai dugaan Verona, rupanya Erina memang pergi untuk menemui Dhruv. Bella memberitahu Verona kalau Erina mungkin saja membutuhkan sesuatu, atau mungkin ingin pergi berbelanja. Erina memang sering keluar untuk membeli beberapa keperluan dapur yang tidak ada di supermarket. Namun, Verona bersikeras mengatakan bahwa Erina sebenarnya sedang berkencan dengan Dhruv. Yah, jika diperhatikan, mereka memang terlihat dekat. Tetapi Bella tidak ingin berasumsi lebih jauh. Ia hany
"Mansionnya kosong, tidak ada siapa pun di sana. Velvet bilang ibunya akan pergi ke Montgomery, tapi tidak, dia berbohong. Mereka pergi ke luar negeri, ke suatu tempat terpencil di Tigris. Kota kecil di mana Nyonya Beatrix berasal. Anak buahku masih mencari tahu detail lokasinya," jelas Dhruv seraya meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja. Damian mengangguk dan menghela napas. Ia sudah tahu bahwa Velvet akan pergi ke tempat yang jauh setelah apa yang dia lakukan, tetapi siapa sangka dia dan ibunya malah kembali ke Tigris. "Velvet mungkin mengira aku tidak akan bertindak lebih jauh, hanya karena pamannya telah datang untuk meminta maaf secara langsung," ucap Damian, mendengus. "Tentu saja aku tidak akan mengganggu organisasi keluarga mereka, tapi Velvet tidak akan lolos begitu saja." "Apa saya harus ikut terjun, Tuan?" "Tidak perlu. Saat kondisiku pulih, aku sendiri yang akan mencari tahu dan menemui wanita itu." Dhruv mengangguk mengerti. "Seharusnya aku tidak lengah, tapi
Setelah piring-piring dibereskan dan semua orang tampak bersantai, Mirabesy kembali menaruh piringan hitam lain di atas gramofon. Musik jazz klasik mengalun di penjuru halaman. Meskipun bulan tertutupi awan hitam, tetapi bintang-bintang bertaburan memenuhi langit Hinton.Damian duduk di samping Bella, lalu memperbaiki jaket yang gadis itu kenakan. Udara cukup dingin malam ini dan ia tidak ingin Bella masuk angin. Mereka sudah berada di halaman selama tiga jam."Terima kasih," ucap Bella, tersenyum kecil.Damian mengangguk dan tanpa diduga mendaratkan satu kecupan di pipi Bella. Damian menatap tanpa rasa bersalah, sementara Bella dengan cepat mengedarkan pandang sekeliling.Dan benar saja, beberapa pelayan tampak memperhatikan mereka. Atau mungkin sejak tadi.Mereka jarang menghabiskan waktu berdua di luar mansion setelah Damian mengumumkan hubungan mereka. Para pelayan terlihat selalu penasaran jika melihat kebersamaan mereka. Damian sendiri selalu bersikap acuh tak acuh jika diperhat
Suara musik terdengar sayup-sayup di telinga keduanya. Angin berembus dengan kencang, membelai wajah Damian dan Bella yang berdiri berhadapan. Bella mendongak menatap kekasihnya yang menunduk dengan senyum kecil menenangkan. Wajah Bella masih dipenuhi keterkejutan. Apakah yang dilontarkan Damian sebelumnya ... Apakah ia hanya salah dengar? Aku ingin kita menikah, Arabella Charlotte. "Kau ..." "Itu terlalu tiba-tiba, ya?" Bella menggeleng pelan, lidahnya terasa kelu untuk bicara. "Tidak, hanya ... hanya saja—aku hanya terkejut. Bukan berarti aku tidak ingin ..." "Aku tahu. Aku tahu, Sayang," kata Damian dengan suara lembut. Ia menangkup pipi Bella dan mendongakkan wajah gadis itu. "Aku mengatakannya karena melihat kebersamaan ibu dan ayah. Aku ingin merasakan hal yang sama. Sebuah ikatan bersama gadis yang kucintai." "Aku sudah menjadi milikmu," ucap Bella. Jantungnya berdebar begitu kencang sampai ia kira Damian bisa mendengarnya. Mata kelam Damian menatap dengan teduh dan Be
Bella dan Damian kembali ke mansion lewat pintu belakang.Pakaian mereka terasa lembab karena terlalu lama berada di bawah guyuran salju yang turun semakin banyak. Bella memeluk tubuhnya yang menggigil dan mengikuti Damian menyusuri lorong yang sepi.Sebagian besar lampu belum dinyalakan di bagian yang mengarah ke sayap timur. Sebagian besar orang masih berada di luar, tengah menikmati salju pertama yang turun di bulan Desember ini."Aku yang akan datang ke sini," ucap Damian sebelum bergegas menapaki tangga menuju kamarnya.Bella menatapnya dan tidak bisa menahan tawa melihat bagaimana Damian beberapa kali bergidik saat melangkahi tangga dengan langkah lebar.Bella sudah menyuruh Damian untuk masuk lebih awal, tetapi dia bersikeras untuk menemani Bella. Alhasil, ia jadi kedinginan dan tidak bisa berhenti menggigil ketika melintasi lorong. Setelah mandi, Bella akan ke dapur dan membuatkan teh jahe.Bella masuk ke kamarnya dan langsung pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan keran air hang
Perjalanan menuju tempat latihan menembak terbilang lancar. Mereka hanya melewati kemacetan kecil sebelum tiba di sebuah padang rumput yang sangat luas. Bella selalu memperhatikan jalanan, tetapi tidak ada lagi kejadian yang sama seperti sebelumnya. Ia menghela napas panjang dan berusaha mengubur harapan itu. Mobil Damian berhenti di depan sebuah bangunan kecil dan dia memberikan semacam kode pada pria kekar yang tengah berjaga. Pintu gerbang dibuka, lalu sebuah lapangan luas yang mengarah ke hutan terlihat dalam pandangan. Bella turun dari mobil dan memperhatikan beberapa papan target di sepanjang lapangan. Ia meremas tangannya, mendadak merasa gugup memikirkan apa yang akan ia lakukan. Ia akan belajar menembak. Damian telah menjelaskan dan mempratekkan bagaimana cara memegang pistol ketika mereka masih berada di mansion. Jenis pistol yang mereka gunakan adalah pistol semi otomatis yang merupakan favorit Damian. Katanya, pistol revolver cukup sulit untuk pemula, jadi Bella menur