Share

7. Seperti Dulu Lagi

Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang.

"Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"

Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya.

"Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.

Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga.

"Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas sebelum kembali bersuara. "Tapi, semirip apapun yang kita lakuin ke dia, tujuan lo beda," imbuhnya.

Hanya saja, tepat setelahnya Dirga membalas pukulan yang ia terima. Karena terkejut, Dimas kehilangan keseimbangannya, tersungkur ke tanah.

"Gue selalu bales apa yang gue terima," tandas Dirga yang langsung meninggalkan tempat.

Dirga melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Genggamannya pada setang motor juga terlihat lebih kuat, membuat urat-urat tangannya muncul pada permukaan kulit. Bohong jika dia tidak kesal dengan apa yang baru saja dialaminya.

Sampai akhirnya dia tiba di rumah. Laki-laki itu turun setelah menghela nafas panjang. Tinggal beberapa langkah di ambang pintu, langkahnya terhenti usai mendengar seseorang memanggil namanya.

"Dirga,"

Tanpa perlu menoleh, Dirga sangat mengenali suara tetangganya itu.

"Gue pengen ngomong bentar. Lo dengerin aja dari situ," kata Chika yang bersiap untuk mengatakan sesuatu. "Soal yang lo bilang suka sama gue, lo—" ucapannya langsung terhenti saat melihat Dirga menoleh. "Darah!" ucapnya yang terkejut seraya menunjuk.

Ini adalah pertama kalinya untuk Chika melihat tetangganya itu terluka.

Gadis itu membawa kotak obat menuju belakang rumahnya. Di sana sudah ada Dirga yang duduk diam, seraya memandangi halaman belakang rumah mereka. Chika duduk tepat di sebelah Dirga, mengobati luka yang ada di pelipis laki-laki itu.

"Untung aja darahnya nggak masuk mata," ucap gadis itu saat menghilangkan darah yang tampak sudah kering.

Dirga bergeming, membiarkan Chika melakukan apa yang tengah dilakukannya. Namun, maniknya mengamati raut wajah Chika. Tak ada alasan, dia hanya melakukannya karena posisinya yang tidak dapat bergerak banyak. Dan saat pandangan mereka saling bertemu, Dirga dengan cepat memalingkannya hanya dengan satu kedipan mata.

Selepas sebuah plester menempel di pelipis, Dirga menjauhkan tubuhnya dengan bersandar. Sedangkan Chika membuang semua kotoran yang telah terpakai. Saat akan kembali, gadis itu terdiam ketika Dirga bersuara.

"Mau ngomong apa tadi?" tanya laki-laki itu.

Dengan senyuman singkatnya, gadis itu menyatukan kedua tangannya di depan tubuh sebelum memberikan jawabannya. "Soal waktu itu, gue nggak masalah. Terserah lo mau suka sama gue atau nggak,"

"Kenapa gitu?"

"Karena gue nggak mau ngerasa terbebani pikiran kayak gitu. Rasanya, susah buat gue bernafas, apalagi bergerak, karena kita tetanggaan. Lagipula, gue juga nggak bisa nyuruh lo buat hilangin perasaan itu," jelas Chika.

Dengan wajah datarnya, Dirga menganggukkan kepalanya tiga kali. Dia sama sekali tak berniat menimpali seluruh penjelasan gadis itu. Cukup baginya setelah mendengar.

"Gitu doang reaksinya?"

"Ya suruh gimana lagi?"

"Maksudnya, kan, gue itu cuma pengen balik ke sikap semula, yang nggak perlu menghindar karena—"

"Tunggu bentar," Dirga menyela ucapan Chika.

Laki-laki itu berdiri setelah pandangannya tertuju pada tempat sampah di belakang rumahnya. Dia berjalan menghampiri tempat sampah tersebut, dengan menyipitkan kedua manik yang menangkap barangnya yang telah dibuang tanpa sepengetahuan dia.

Diangkatnya sebuah pakaian yang merupakan pakaian khusus untuk balapan miliknya terlihat kotor lantaran bercampur dengan sampah-sampah lainnya. Tangan yang mengangkat pakaian itu terkepal kuat, namun dia tak bisa melupakannya saat ini.

"Itu baju apa?" tanya Chika yang tiba-tiba ada di belakang tubuh Dirga.

"Bukan. Bukan baju apa-apa,"

Tetap saja netranya memaksa untuk melihat. "Baju balapan?" detik setelahnya, Chika langsung menutup mulutnya karena terkejut dan kagum diwaktu bersamaan. "Ha? Lo pembalap?"

"Makasih, udah ngobatin,"

Tepat setelah Dirga mengatakannya, laki-laki itu berjalan masuk ke rumahnya melalui pintu belakang, meninggalkan Chika yang masih memandang Dirga sampai menghilang.

Chika hanya bisa mengerjapkan maniknya beberapa kali. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, hanya satu hal yang bisa dia pastikan saat melihat raut wajah Dirga, yaitu emosi yang tertahan. Diambilnya kembali baju balapan itu mendukung dugaannya.

* * *

Sebuah amplop cokelat telah masuk ke dalam tasnya. Chika keluar dari rumahnya dan pergi menuju rumah Dimas. Amplop tersebut harus dia berikan pada laki-laki itu. Tentu saja, itu adalah bayaran Dimas setelah membantunya melancarkan aksinya itu.

"Dim," panggil Chika.

Sebuah kebetulan dia melihat Dimas yang ada di depan rumah. Namun, semakin mendekat padanya, Chika langsung menautkan kedua alisnya.

"Kenapa sama muka lo?" tanyanya.

Hanya gelengan singkat, lantas dia membawa Chika masuk ke dalam rumahnya. "Ada perlu apa? Target berikutnya?"

Kali ini Chika yang menggeleng, dia membuka tasnya guna mengambil amplop yang telah dia siapkan. Gadis itu menyerahkan amplop tersebut ke atas meja.

"Kayak biasanya. Bayaran karena lo udah bantuin gue. Lo juga berhak dapet bagiannya," ucap Chika dengan senyuman.

Diambilnya amplop tersebut, tanpa mengeluarkan semua uangnya, Dimas menyadari tebalnya total bayaran yang dia terima. Akan tetapi, beberapa detik berikutnya, tubuhnya membeku, dan ingatannya kembali pada kejadian ia bertengkar dengan Dirga.

"Gue ngelakuin semua ini karena gue suka sama Chika. Tapi, uang ini.." ucapnya yang tak terselesaikan di dalam batin.

"Kenapa? Kurang?" tanya Chika.

"Nggak, kok," jawab Dimas yang langsung menutup rapat amplop tersebut. Lantas dia memperhatikan raut wajah Chika. "Wajah lo udah balik ceria," katanya.

Senyuman Chika semakin lebar, hingga menampilkan seluruh jajaran giginya. Serta menyembunyikan kedua bola matanya. Pun Chika mengangguk menyetujui perkataan temannya itu.

"Gue udah bilang ke Dirga, kalau dia boleh suka sama gue. Dan dia sempet tanya alasannya,"

"Jawaban lo?"

"Gue jawab, kalau gue nggak mau ngerasa terbebani sama perasaannya dia. Justru ada bagusnya kalau dia suka gue, pastinya identitas gue sebagai penipu nggak akan tersebar. Bisa aja dia bakal lindungin gue," jelasnya disertai dengan senyuman.

Dimas terdiam cukup lama setelah mendengar hal tersebut. Entah kenapa, Dimas merasa semuanya tumpang tindih, membuat dia kesulitan untuk menyimpulkannya.

"Lo nggak mikirin perasaan gue?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status