Share

6. Hening

Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah.

"Lagi," ucap Dirga.

Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.

Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.

Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.

Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan temannya. "Kelas kita ada murid baru, ya?" tanya Chika.

Temannya yang bernama Rachel itu mengerutkan dahinya, dia menggeleng dengan yakin atas pertanyaan Chika. "Nggak ada," jawabnya. Gadis itu juga mengamati bagaimana air muka Chika saat ini. "Laki-laki tadi? Kayaknya bukan kelas ini," kata Rachel seakan bisa membaca isi pikiran Chika.

Chika sama sekali tak mengetahui kalau Dirga akan bersekolah di sini. Memang, tadi dia melihat tetangganya itu di depan rumah, hanya dari ekor matanya, tapi Chika sama sekali tidak menyadari jika mereka memiliki seragam yang sama. Dirinya menepuk dahi sendiri, merasa jika hal ini bagian dari kebodohannya. Bagaimanapun juga, Chika akan lebih sering bertemu dengannya. Entah itu di rumah, maupun di sekolah.

"Gue harap, nggak sering ketemu dia di sini,"

Itu adalah doa yang dia rapalkan usai melihat Dirga. Pasalnya, sulit bagi Chika untuk terus-terusan bertemu dengan laki-laki itu. Di rumah saja, Chika milih untuk tidak keluar—setidaknya untuk akhir-akhir ini.

Atau mungkin, hal yang dia lakukan di rumah tak bisa dia lakukan di sekolah. Baru saja jam istirahat pertama dimulai, Chika telah dipanggil oleh wali kelasnya untuk mendatangi ruang guru. Tak ada pilihan lain untuknya selain keluar dari kelasnya. Namun, dia tak ingin sendiri, bersama dengan teman sebangkunya dia menuju ruang guru.

Hanya dengan alasan untuk membagi tugas kelas, Chika akhirnya selesai menemui wali kelasnya. Pun tak memakan banyak waktu.

"Kenapa tadi nggak ngomong di kelas aja? Kenapa mesti manggil gue?" tanyanya yang juga didengar Rachel.

"Namanya juga guru, kalau males jalan, panggil aja muridnya," timpal Rachel.

Dengan helaan nafas panjang, akhirnya kedua gadis tersebut melanjutkan langkah mereka. Salah satu pergelangan tangan Chika digenggam oleh Rachel, ditarik menuju kantin. Memang, temannya itu sulit terlepas dengan makanan.

"Gantian, sekarang lo temenin gue," kata Rachel.

"Jangan lama-lama,"

Mengikuti kemauan temannya itu tidak sulit, namun yang membuatnya sulit ketika di persimpangan dia bertemu dengan Dirga. Laki-laki itu tak sendirian, bersama dengan teman yang sering ia lihat—walaupun tak ia kenal.

Tanpa berucap, Chika melepas genggaman tangan Rachel, dia memutar langkahnya menuju kelas sendirian. Gadis itu tak menoleh ke belakang, atau bahkan melihat Rachel yang terdiam di tempat bersama dengan kebingungannya.

"Ternyata dia kakak kelas," gumamnya sembari terus membawa langkahnya.

Selama berjalan, dia terus menggigit jarinya, padahal tak ada penyebab yang membuatnya merasa getir. Chika duduk di bangkunya, bersandar pada dinding kelas masih dengan jari yang digigit.

Jika ia rasakan lebih dalam, gadis itu sama sekali belum pernah berada di posisi seperti ini. Seorang laki-laki yang dengan tegas mengatakan bahwa ia menyukainya. Apalagi Dirga juga mengetahui bagaimana perbuatannya di luar sekolah.

"Gimana ini?"

* * *

Dirga berjalan ke bangkunya, baru saja meletakkan bantalan duduk, ada beberapa siswa yang berlarian melewati depan kelasnya. Pun teman sebangkunya yang baru datang itu langsung berucap.

"Sekolah dapet laporan adanya pelaku kriminal di sekolah ini,"

Detik itu juga Dirga bangkit dari tempat duduknya, berlari keluar kelas mengikuti yang lainnya. Maniknya bergerak ke segala arah, mencari gerombolan yang ia lihat sebelumnya.

Tiba di ruang konseling, banyak murid yang tengah menonton, menjadikan Dirga bergabung bersama mereka. Pikirannya hanya terarah pada Chika yang sangat memungkinkan tertangkap oleh pihak sekolah di hari pertamanya ini. Walau dari luar, kedua matanya bergerak dengan teliti saat mencari gadis itu. Sayangnya, Dirga sama sekali tak menemukannya.

"Ada berapa banyak pelaku kriminal di sekolah ini?" tanya dalam hati.

Dengan decakan ringan, kedua tungkainya membawa laki-laki itu pergi menjauh dari sana. Banyak nafas yang terbuang begitu saja, sampai dia berhenti di tempat yang sepi dan sedikit orang berlalu-lalang. Duduk bersandar pada dinding dengan salah satu kaki yang tertekuk.

"Perkara sikapnya yang berubah, gue jadi kebingungan sendiri," gumamnya. "Padahal, niat gue nggak begitu," katanya lagi sebelum akhirnya dia bangkit.

Tepat setelah dia menyugar rambutnya, ia menoleh dan terdiam saat tatapannya bertemu dengan Chika. Ya, sejak tadi Dirga berada di belakang kelas gadis itu. Dirga baru saja mengetahuinya. Namun, dengan cepat Chika menutup jendelanya dengan korden, membuat pandangan mereka terputus. Dirga hanya mendengus melihatnya.

Selama berhari-hari keduanya tak saling berbicara, bahkan tak akan ada yang percaya jika mereka bertetangga—hanya karena keduanya tak pernah bertegur sapa.

Sampai jam pulang, Chika bergerak cepat untuk mengambil motornya dan meninggalkan sekolah. Tidak mau lagi harus bertemu secara kebetulan. Akan tetapi, arah yang dibawa Chika bukanlah mengarah rumahnya, dia melewati gang rumahnya sendiri. Hanya satu tempat yang dia tahu.

"Ngapain lo ke sini? Tumben,"

Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Dimas ketika melihat temannya duduk di sofa dengan tubuh yang disandarkan, serta kedua tangan terlentang.

"Gue males pulang," jawab Chika.

"Berantem lagi sama nyokap?"

"Nggak. Emang lagi males aja,"

Dimas mendiaminya, namun maniknya tak berhenti menelisik lebih dalam setiap gerak-gerik gadis di depannya itu. Karena memang tak biasanya dia seperti ini—hanya ketika mendapat masalah. Laki-laki itu sampai melipat kedua tangannya di depan dada, masih menatap Chika.

Dia perhatikan, Chika bahkan enggan menatap kedua matanya. Seluruh jari gadis itu mendadak memainkan bantal sofa, serta mata yang mengerjap beberapa kali. Tatapan intimidasi ini sukses membuat Chika gugup.

"Ja-jangan natap gue begitu. Biasa aja," ucap Chika.

"Gue cuma natap biasa. Tapi, kalau sampai lo ngomong begitu, pasti ada sesuatu," timpal Dimas.

Tubuhnya seakan membeku, bola matanya bergerak acak saat dia ketahuan. Sekilas menggigit bibir bawahnya sebelum mengaku dengan helaan nafas panjang. "Bener apa yang lo bilang,"

"Soal?"

"Soal Dirga suka sama gue,"

Tanpa mengubah posisinya, Dimas tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. "Terus, kenapa lo yang begini?"

"Karena gue nggak terbiasa sama situasi ini," jawab Chika dengan suara parau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status