Share

5. Kunjungan

Terdengar suara ujung pena yang bergesekan dengan permukaan kertas, membuat goresan tak beraturan. Semua itu karena seorang gadis yang tak mampu meletakkan fokusnya saat ini. Pandangannya kabur dan pikirannya berada di tempat lain. Helaan nafasnya terbuang cukup panjang, dia kembali menegakkan tubuh setelahnya.

"Ya ampun! Ngapain sih, gue?!" kejutnya saat melihat buku catatannya yang dia coret-coret.

Dia hanya menatap meja belajarnya beberapa detik sebelum sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan segera gadis itu mengganti pakaiannya dan pergi membawa tas selempangnya. "Ma, keluar dulu. Mau beli perlengkapan sekolah," ucapnya tanpa menemui ibunya.

Menggunakan transportasi umum, gadis itu menutup kedua telinganya dengan musik sebagai hiburannya selama dalam perjalanan. Melihat keluar jendela, membuat Chika merasa sedikit tenang. Pasalnya, ini pertama kalinya dia lakukan sendirian saat akan pergi menjenguk ayahnya. Iya, dia akan datang ke lapas.

Memang sengaja menggunakan alasan lain, lantaran dia enggan ibunya tahu kemana tujuannya sekarang. Bisa-bisa, kejadian kemarin terulang lagi.

Sampai akhirnya dia tiba di depan gerbang lapas, gadis itu memandang dengan lekat. Dengan raut wajah yang sedikit gusar, Chika juga memikirkan hal lainnya.

"Apa ini juga tempat gue nantinya?"

Dirinya melihat kedua tungkainya sebelum mengambil langkah pertama. Menghela nafas singkat dan meyakinkan diri untuk masuk ke tempat itu. Cukup mengerikan saat menginjakkan kaki di sana. Namun, Chika hanya perlu keberaniannya untuk bertemu dengan sang ayah.

Usai mendapatkan izin, gadis itu akhirnya melihat perawakan ayahnya. Bisa Chika lihat juga senyuman cerah sang ayah saat dirinya berada di sini.

"Renchika," panggil sang ayah.

Hanya ayahnya yang memanggilnya dengan nama itu. Sepertinya, apa yang dikatakan Dimas memang pilihan terbaik untuknya menjenguk ayahnya.

"Papa nggak nyangka bisa ketemu kamu sekarang. Kamu tau, Papa itu kangen banget sama kamu. Setiap hari denger cerita mereka yang punya anak perempuan bikin Papa inget kamu," ayahnya menjeda ucapannya. Senyuman itu tak menghilang sejak melihat putri satu-satunya ada di depan mata. "Dan hari ini, jadi hari paling membahagiakan buat Papa. Bahkan, Papa juga bisa makan dua porsi, saking bahagianya," imbuhnya yang masih menumpahkan kebahagiaan.

Dan sejak kedatangannya, Chika sama sekali tak mengucapkan kalimat apapun. Hanya melihat dan mendengar ayahnya bercerita. "Papa apa kabar?" tanya Chika disela-sela sang ayah bercerita.

Sang ayah sampai terdiam, lebih tepatnya terkejut karena pertanyaan Chika itu. Pupilnya berbinar, dia merasakan hatinya yang menghangat mendengar suara anak perempuannya. Tak bisa dipungkiri adanya air mata yang mengalir di pipi laki-laki itu. Hingga satu tarikan nafas panjang, serta senyumannya membuat ayahnya siap untuk menjawab.

"Selama ini, Papa nggak baik-baik aja. Tapi, kedatangan kamu ke sini sangat-sangat berpengaruh buat Papa. Sekarang perasaan Papa jauh lebih baik. Tolong, sering-seringlah dateng ke sini. Papa cuma mau lihat wajah kamu," tutur ayahnya.

Demi apapun, Chika sedang mati-matian menahan air matanya. Tenggorokannya terasa begitu sakit saat dia menelan ludahnya sendiri untuk menetralkan perasaannya sekarang. Dia tersenyum tipis mengamati raut wajah ayahnya.

"Orang yang bersalah, pasti dapat karmanya, Pa," kata Chika.

"Kamu percaya sama Papa, kan? Papa beneran nggak salah. Mereka semua ngelimpahin kesalahannya ke Papa," laki-laki itu menggenggam tangan Chika begitu erat. "Nggak ada yang mau dengerin penjelasan Papa. Bahkan, Mama sekalipun. Papa menderita karena semua orang nyalahin Papa. Hati Papa lega banget, walaupun cuma kamu satu-satunya yang percaya sama Papa," jelasnya dengan deraian air mata.

* * *

Secara mendadak, Dirga pergi menuju sebuah tempat yang belum pernah dia datangi sama sekali. Laki-laki itu menghentikan motornya pada pelataran rumah seseorang. Tanpa ragu membawanya untuk segera mengetuk pintu tersebut.

Tak pernah ia duga, jika rumah tersebut adalah menjadi tempat tujuannya saat ini. Pun memang tak pernah terpikirkan—jika karena tidak mendesak. Hingga tak lama, pemilik rumah menampakkan dirinya.

"Gue nggak ngerasa ngundang lo," kata Dimas yang sempat terdiam beberapa saat, menyadari kedatangan Dirga yang tak pernah dia kenal sebelumnya.

"Iya, maaf kalau gue ganggu. Tapi, gue pengen tau sesuatu," balas Dirga.

"Tau dari mana rumah gue?"

"Gue pernah lihat Chika ke sini," jawab Dirga.

Duduk di ruang tamu, membuat Dirga menatap ke sekeliling ruangan di sana. Laki-laki itu agak menekuk kedua alisnya usai melihat ada banyaknya foto yang terhubung dengan benang warna merah. Sulit untuk berpura-pura tidak mengerti.

"Apa yang pengen lo tau?" tanya Dimas tanpa ragu.

"Beberapa hari lalu, Chika bilang ke gue kalau bokapnya ada di penjara. Itu kenapa?" tanya Dirga.

"Dia ngomong begitu tanpa ngasih tau alasannya?"

"Sebenarnya, dia mau jelasin, tapi gue sengaja nggak mau denger. Karena gue pikir dia bakal nyesel nantinya. Juga karena keadaannya yang kacau waktu itu," jelas Dirga.

Dimas belum menimpali kalimat Dirga usai mendengarnya. Bahkan, mendengar cerita itu saja sudah membuatnya cukup tahu kapan hal itu terjadi. Dan dengan satu tarikan nafas panjang, akhirnya Dimas menjelaskan sesuatu yang Dirga ingin tahu.

"Iya, emang bener bokapnya dia di penjara. Bokapnya narapidana atas tuduhan penipuan, penggelapan dana, dan lain-lain,"

Sulit untuk Dirga memberikan reaksi selepas mendengar penuturan Dimas. Pandangannya tampak sayu, membayangkan betapa sulitnya dan menderitanya kehidupan Chika. Bahkan, belum pernah dia tahu ada kehidupan seseorang yang seperti ini.

"Itu sebabnya, Chika juga punya keahlian buat nipu orang," imbuh Dimas.

Dirga kehilangan seluruh kalimatnya usai mengetahui fakta yang tak disangka akan dia dengar seperti ini. Lantas pribadi itu meninggalkan rumah Dimas lantaran merasa cukup dengan penjelasan tersebut. Dia tak bisa melepas seluruh fakta yang diketahuinya, bahkan setelah dia tiba di rumah.

Laki-laki itu terduduk di teras rumah dengan helm yang masih berada pada genggamannya. Dia juga kembali mengingat pertengkaran yang terjadi antara Chika dengan ibunya.

"Pantes ibunya semarah itu," gumamnya sendiri. Sekilas dirinya menatap rumah Chika yang terlihat begitu tenang. "Gimana kalau ibunya tau, kalau dia udah nipu orang?"

Hingga tak lama setelahnya, Chika berjalan dari arah Timur, menenteng kantung plastik berisi perlengkapan sekolahnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Dirga yang menatap ke arahnya di depan rumah. Tatapan yang tak biasanya itu membuat Chika segera memalingkan wajah, lantas kembali melangkah ke dalam rumahnya.

Gadis itu berhenti di ruang tamu, meletakkan semua yang ia beli di atas meja. Akan tetapi, pikirannya melayang-layang, yang mana terbagi menjadi beberapa bagian. Dia juga kembali melangkah ke ambang pintu, melihat ke arah rumah tetangganya, dimana Dirga masih berada di sana.

"Kayak orang habis kalah main judi," ucapnya asal.

Saat dalam langkah menuju kamar, mendadak gadis itu teringat ucapan Dimas sebelumnya. Pun dengan desis panjang, anehnya Chika kembali melangkah keluar dan menghampiri Dirga yang sama sekali belum bergerak. Dia berdiri tepat di depan laki-laki itu.

"Lo suka sama gue?" tanyanya langsung pada Dirga.

Dirga yang ditanya seperti itu hanya diam beberapa saat, sebelum akhirnya dia berdiri. "Iya. Gue suka sama lo," jawabnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status