Terdengar suara ujung pena yang bergesekan dengan permukaan kertas, membuat goresan tak beraturan. Semua itu karena seorang gadis yang tak mampu meletakkan fokusnya saat ini. Pandangannya kabur dan pikirannya berada di tempat lain. Helaan nafasnya terbuang cukup panjang, dia kembali menegakkan tubuh setelahnya.
"Ya ampun! Ngapain sih, gue?!" kejutnya saat melihat buku catatannya yang dia coret-coret.Dia hanya menatap meja belajarnya beberapa detik sebelum sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan segera gadis itu mengganti pakaiannya dan pergi membawa tas selempangnya. "Ma, keluar dulu. Mau beli perlengkapan sekolah," ucapnya tanpa menemui ibunya.Menggunakan transportasi umum, gadis itu menutup kedua telinganya dengan musik sebagai hiburannya selama dalam perjalanan. Melihat keluar jendela, membuat Chika merasa sedikit tenang. Pasalnya, ini pertama kalinya dia lakukan sendirian saat akan pergi menjenguk ayahnya. Iya, dia akan datang ke lapas.Memang sengaja menggunakan alasan lain, lantaran dia enggan ibunya tahu kemana tujuannya sekarang. Bisa-bisa, kejadian kemarin terulang lagi.Sampai akhirnya dia tiba di depan gerbang lapas, gadis itu memandang dengan lekat. Dengan raut wajah yang sedikit gusar, Chika juga memikirkan hal lainnya."Apa ini juga tempat gue nantinya?"Dirinya melihat kedua tungkainya sebelum mengambil langkah pertama. Menghela nafas singkat dan meyakinkan diri untuk masuk ke tempat itu. Cukup mengerikan saat menginjakkan kaki di sana. Namun, Chika hanya perlu keberaniannya untuk bertemu dengan sang ayah.Usai mendapatkan izin, gadis itu akhirnya melihat perawakan ayahnya. Bisa Chika lihat juga senyuman cerah sang ayah saat dirinya berada di sini."Renchika," panggil sang ayah.Hanya ayahnya yang memanggilnya dengan nama itu. Sepertinya, apa yang dikatakan Dimas memang pilihan terbaik untuknya menjenguk ayahnya."Papa nggak nyangka bisa ketemu kamu sekarang. Kamu tau, Papa itu kangen banget sama kamu. Setiap hari denger cerita mereka yang punya anak perempuan bikin Papa inget kamu," ayahnya menjeda ucapannya. Senyuman itu tak menghilang sejak melihat putri satu-satunya ada di depan mata. "Dan hari ini, jadi hari paling membahagiakan buat Papa. Bahkan, Papa juga bisa makan dua porsi, saking bahagianya," imbuhnya yang masih menumpahkan kebahagiaan.Dan sejak kedatangannya, Chika sama sekali tak mengucapkan kalimat apapun. Hanya melihat dan mendengar ayahnya bercerita. "Papa apa kabar?" tanya Chika disela-sela sang ayah bercerita.Sang ayah sampai terdiam, lebih tepatnya terkejut karena pertanyaan Chika itu. Pupilnya berbinar, dia merasakan hatinya yang menghangat mendengar suara anak perempuannya. Tak bisa dipungkiri adanya air mata yang mengalir di pipi laki-laki itu. Hingga satu tarikan nafas panjang, serta senyumannya membuat ayahnya siap untuk menjawab."Selama ini, Papa nggak baik-baik aja. Tapi, kedatangan kamu ke sini sangat-sangat berpengaruh buat Papa. Sekarang perasaan Papa jauh lebih baik. Tolong, sering-seringlah dateng ke sini. Papa cuma mau lihat wajah kamu," tutur ayahnya.Demi apapun, Chika sedang mati-matian menahan air matanya. Tenggorokannya terasa begitu sakit saat dia menelan ludahnya sendiri untuk menetralkan perasaannya sekarang. Dia tersenyum tipis mengamati raut wajah ayahnya."Orang yang bersalah, pasti dapat karmanya, Pa," kata Chika."Kamu percaya sama Papa, kan? Papa beneran nggak salah. Mereka semua ngelimpahin kesalahannya ke Papa," laki-laki itu menggenggam tangan Chika begitu erat. "Nggak ada yang mau dengerin penjelasan Papa. Bahkan, Mama sekalipun. Papa menderita karena semua orang nyalahin Papa. Hati Papa lega banget, walaupun cuma kamu satu-satunya yang percaya sama Papa," jelasnya dengan deraian air mata.* * *Secara mendadak, Dirga pergi menuju sebuah tempat yang belum pernah dia datangi sama sekali. Laki-laki itu menghentikan motornya pada pelataran rumah seseorang. Tanpa ragu membawanya untuk segera mengetuk pintu tersebut.Tak pernah ia duga, jika rumah tersebut adalah menjadi tempat tujuannya saat ini. Pun memang tak pernah terpikirkan—jika karena tidak mendesak. Hingga tak lama, pemilik rumah menampakkan dirinya."Gue nggak ngerasa ngundang lo," kata Dimas yang sempat terdiam beberapa saat, menyadari kedatangan Dirga yang tak pernah dia kenal sebelumnya."Iya, maaf kalau gue ganggu. Tapi, gue pengen tau sesuatu," balas Dirga."Tau dari mana rumah gue?""Gue pernah lihat Chika ke sini," jawab Dirga.Duduk di ruang tamu, membuat Dirga menatap ke sekeliling ruangan di sana. Laki-laki itu agak menekuk kedua alisnya usai melihat ada banyaknya foto yang terhubung dengan benang warna merah. Sulit untuk berpura-pura tidak mengerti."Apa yang pengen lo tau?" tanya Dimas tanpa ragu."Beberapa hari lalu, Chika bilang ke gue kalau bokapnya ada di penjara. Itu kenapa?" tanya Dirga."Dia ngomong begitu tanpa ngasih tau alasannya?""Sebenarnya, dia mau jelasin, tapi gue sengaja nggak mau denger. Karena gue pikir dia bakal nyesel nantinya. Juga karena keadaannya yang kacau waktu itu," jelas Dirga.Dimas belum menimpali kalimat Dirga usai mendengarnya. Bahkan, mendengar cerita itu saja sudah membuatnya cukup tahu kapan hal itu terjadi. Dan dengan satu tarikan nafas panjang, akhirnya Dimas menjelaskan sesuatu yang Dirga ingin tahu."Iya, emang bener bokapnya dia di penjara. Bokapnya narapidana atas tuduhan penipuan, penggelapan dana, dan lain-lain,"Sulit untuk Dirga memberikan reaksi selepas mendengar penuturan Dimas. Pandangannya tampak sayu, membayangkan betapa sulitnya dan menderitanya kehidupan Chika. Bahkan, belum pernah dia tahu ada kehidupan seseorang yang seperti ini."Itu sebabnya, Chika juga punya keahlian buat nipu orang," imbuh Dimas.Dirga kehilangan seluruh kalimatnya usai mengetahui fakta yang tak disangka akan dia dengar seperti ini. Lantas pribadi itu meninggalkan rumah Dimas lantaran merasa cukup dengan penjelasan tersebut. Dia tak bisa melepas seluruh fakta yang diketahuinya, bahkan setelah dia tiba di rumah.Laki-laki itu terduduk di teras rumah dengan helm yang masih berada pada genggamannya. Dia juga kembali mengingat pertengkaran yang terjadi antara Chika dengan ibunya."Pantes ibunya semarah itu," gumamnya sendiri. Sekilas dirinya menatap rumah Chika yang terlihat begitu tenang. "Gimana kalau ibunya tau, kalau dia udah nipu orang?"Hingga tak lama setelahnya, Chika berjalan dari arah Timur, menenteng kantung plastik berisi perlengkapan sekolahnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Dirga yang menatap ke arahnya di depan rumah. Tatapan yang tak biasanya itu membuat Chika segera memalingkan wajah, lantas kembali melangkah ke dalam rumahnya.Gadis itu berhenti di ruang tamu, meletakkan semua yang ia beli di atas meja. Akan tetapi, pikirannya melayang-layang, yang mana terbagi menjadi beberapa bagian. Dia juga kembali melangkah ke ambang pintu, melihat ke arah rumah tetangganya, dimana Dirga masih berada di sana."Kayak orang habis kalah main judi," ucapnya asal.Saat dalam langkah menuju kamar, mendadak gadis itu teringat ucapan Dimas sebelumnya. Pun dengan desis panjang, anehnya Chika kembali melangkah keluar dan menghampiri Dirga yang sama sekali belum bergerak. Dia berdiri tepat di depan laki-laki itu."Lo suka sama gue?" tanyanya langsung pada Dirga.Dirga yang ditanya seperti itu hanya diam beberapa saat, sebelum akhirnya dia berdiri. "Iya. Gue suka sama lo," jawabnya.Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah."Lagi," ucap Dirga.Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan t
Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang."Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya."Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga."Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas s
Chika mengerjap beberapa kali selepas mendengar pertanyaan itu. Guratan tipis di wajah Dimas seakan menjelaskan keseriusannya."Jelas gue mikirin perasaan lo. Gue juga yakin, kalau lo bisa ngehindar dari hukuman," kata gadis itu.Beberapa detik tak ada jawaban, Dimas menganggukkan kepalanya. "Iya, gue emang bisa menghindar," jawab Dimas sekenanya.Bisa dikatakan, jawaban Dimas barusan adalah jawaban sebagai pihak yang mengalah. Enggan untuk memulai perdebatan yang terasa sia-sia—untuk saat ini. Pun dengan senyuman singkatnya, Dimas menerima situasi yang dia dapatkan.* * *Kehidupan Chika saat ini terasa jauh lebih baik. Pasalnya, usai dia mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya, gadis itu kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan, sekalipun berada di rumah, Chika tetaplah gadis yang ceria. Apalagi saat berada di sekolah, bertemu dengan Dirga bukanlah masalah lagi."Hai,"Itu adalah sapaannya pada kakak kelas sekaligus tetangganya untuk pertama kalinya disertai salah satu telapa
Sebuah buku catatan yang tertumpuk banyaknya buku pelajaran baru saja ditarik Chika. Peletakkannya di sana memang dia sengaja untuk menghindari sang ibu menyentuhnya. Kini ia berjalan ke meja belajarnya, membuka buku tersebut pada halaman yang telah dia beri batas. Nafasnya terbuang cukup panjang melihat profil seseorang."Kurang ajar apa nggak, ya? Dia yang paling tua," bimbangnya.Chika menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tatapan ragu. Dia banyak mendesis ketika berusaha menggunakan otaknya. Pun dengan decakan kecil, Chika mengambil selembar kertas kosong untuk membuat skema awal.Tak peduli jika dia telah masuk tahun pelajaran, prioritas Chika terhadap balas dendamnya ini tetap berjalan. Lagipula, siapa yang bisa melihat orang tua yang tidak bersalah tapi dijebak dan dijerumuskan ke dalam penjara? Jika memang hukum lemah terhadap orang-orang kuat, maka Chika sendiri yang akan membuat orang-orang tersebut lemah.Keningnya mulai basah, lantaran dia menumpahkan seluruh fokusnya
Tunggu! Bagaimana Chika harus menafsirkan situasi saat ini? Atau mungkin indera pendengarannya terganggu?"Kencan?"Dirga menganggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya. "Mau, nggak?"Sempat terbata, Chika justru mendorong tubuh Dirga. Dia juga tertawa canggung, seakan perkataan Dirga adalah lelucon belaka."Lo sendiri juga bilang tadi, seharusnya gue ngajak lo kalau mau dateng ke sini. Dan lo udah di sini," tutur Dirga."I-itu.."Chika sungguh gugup dan gagap saat ingin memberikan pembelaan. Bahkan, bisa dikatakan jika Chika tak bisa membela dirinya sendiri, lantaran dia mengakui apa yang dikatakan Dirga. Dia hanya bisa mengerjapkan maniknya, sesekali melirik ke arah Dirga yang masih menunggu jawabannya.Isi kepala gadis itu hanya ada dua jawaban yang harus dia pilih salah satunya. Namun, di sanalah letak masalahnya, Chika tak tahu harus memilih satu diantara keduanya."Itu berarti lo mau," kata Dirga yang langsung menarik pergelangan tangan Chika.Tanpa perlawanan, Chika juga hany
Sebuah lembar kertas yang tergulung tengah dibuka oleh pemiliknya. Di sana menampilkan adanya rencana untuk target mereka berikutnya. Di hadapan Chika, terdapat teman yang selalu ikut ambil bagian dalam setiap rencana.Keduanya tampak begitu sibuk, dengan apa yang Chika jelaskan. Dimas sendiri juga benar-benar meletakkan seluruh fokusnya untuk memahami setiap kata dan kalimat yang Chika ucapkan. Bahkan gerakan tangan gadis itu juga memberikan penjelasan lebihnya."Kemungkinan, yang ini bakal makan waktu lebih lama. Prosesnya nggak bisa cepet. Inipun udah paling cepet," tutur Chika."Kenapa gitu?"Chika melipat kedua tangannya, lantas menyandarkan tubuhnya dengan helaan nafas panjang. "Dia bukan orang yang gampang ditipu," jawabnya. Lantas menekuk alisnya sebelum kembali berbicara. "Penjagaannya juga agak ketat,"Dua penipu itu terdiam, dengan Chika yang masih menggunakan otaknya. Kedua manik gadis itu kembali menatap skemanya, tangannya bermain dengan pulpen yang dia benturkan ke waja
Perlahan keramaian tersebut semakin berkurang, yang mana membuat Chika juga segera meninggalkan tempat supaya tak menampilkan dirinya pada Dirga. Toh, yang terpenting adalah hasil dari balapan tersebut sudah cukup membuatnya kagum dengan kemampuan balapan tetangganya itu.Gadis itu berjalan keluar lokasi sirkuit, hendak mencari taksi. Hanya saja, semua taksi yang dicarinya melalui ponsel menolak pesanannya. Memang Chika akui, jarak antara sirkuit hingga rumahnya cukuplah jauh, ditambah banyak dari penonton balapan yang juga memesan taksi untuk mengantar mereka pulang."Di sini nggak ada taksi biasa yang lewat," ucapnya.Dengan pasrah, Chika berniat untuk berjalan sedikit jauh guna mencari taksi yang bisa dia tumpangi. Dia menghela lesu, tak ada satupun orang yang dia kenal ataupun mengenalnya yang bisa memberikannya tumpangan. Atau minimal sampai dia mendapatkan transportasi umum.Chika berjalan sembari memperhatikan kedua kakinya, sesekali menendang kerikil yang ada di depannya. Saki
Nafasnya tersengal saat berhasil membuat laki-laki yang membawa Chika itu menyerah dan pergi. Dengan seluruh tubuh yang basah akan keringat, Dirga segera berlari pada gadis yang masih terbaring di sebelah motornya.Dengan banyak cara Dirga menyadarkan Chika, sampai berniat untuk segera membawanya ke rumah sakit—apalagi dengan bekas kemerahan pada leher gadis itu. Namun, hanya selang beberapa menit setelahnya Chika membuka kedua matanya."Chika?" panggil Dirga.Pandangan keduanya bertemu, Dirga segera membantu Chika untuk duduk dan membiarkan gadis itu mengumpulkan seluruh kesadarannya. Betapa leganya Dirga ketika gadis itu tersadar. Dirga mengajak Chika untuk ke rumah sakit, namun gadis itu menolaknya dengan segera.Chikq menggelengkan kepalanya agar Dirga tidak membawa dirinya ke rumah sakit. Pasalnya, menurut Chika sendiri, tidak ada luka yang serius, sehingga meminta laki-laki itu untuk mengantarnya pulang."Pulang aja," pinta Chika.Dengan helaan nafasnya yang pasrah, akhirnya lak