"Apa ada hubungannya dengan Lolita, Roy?" tebak Jones setelah menyesap minumannya."Kau tahu dari mana?" tanya Roy terkejut. "Eumm …. Bagaimana ya aku menceritakannya padamu? Intinya aku pernah berada di antara hubungan mereka berdua. Awalnya aku juga merasa aneh saat melihat Edgar dan Lolita. Hubungan mereka tidak sekedar anak sahabat dengan sahabat ayahnya. Lebih dari itu," jawab Jones mengedikkan bahunya. Tapi, memberikan efek yang luar biasa pada Roy, sampai Roy enggan makan kuenya dan lebih tertarik pada cerita Jones."Bisakah kau menceritakannya lebih detail? Sejak kapan mereka jadi sangat dekat?" tanya Roy penasaran.Jones mengusap dagunya, mencoba mengingat-ingat. "Sepertinya sebelum aku bertemu dengan Lolita satu bulan yang lalu di Central Park, mereka sudah terlihat sangat dekat."Jones tidak akan menceritakan pada Roy kalau dia pernah tertarik pada Lolita. Karena dia sudah melupakan perasaannya itu. Dan tidak ingin hal itu diungkit-ungkit kembali."Berarti sudah lama ya,"
Satu hari berlalu. Lolita tidak seceria biasanya. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar, melamun sendirian. Tidak ada yang benar-benar ingin dia lakukan. Ponselnya masih disimpan oleh Roy, dan ayahnya itu juga melarangnya keluar rumah dengan alasan apapun untuk sementara.Roy melirik ke arah pintu kamar Lolita. Dia hanya akan menyiapkan sarapan untuk anaknya itu sebelum berangkat bekerja. Kemarin dia memikirkan tawaran dari Jones dengan lebih matang. Lalu, pada akhirnya dia memilih menerima tawaran Jones, dan melepaskan pekerjaannya sebelumnya yang menjadi karyawan di perusahaan kecil.Hari ini dia akan pergi ke perusahaan Jones untuk membicarakan pekerjaan barunya lebih lanjut.Roy naik taksi untuk pergi ke perusahaan Jones. Meski, lumayan menguras uangnya ketika dia bepergian dengan taksi. Tapi, dia tidak memiliki kendaraan. Mobil satu-satunya milik Roy sudah dia jual untuk mencukupi kebutuhannya dengan Lolita.Sesampainya Roy di perusahaan Jones. Dia segera menuju ruangan
Nola menggiring langkahnya keluar kamar sambil membawa koper. Dia sudah meminta izin pada agensinya untuk hengkang sementara dari dunia model, dengan alasan kalau dia mengalami masalah dengan kesehatannya. Padahal, nyatanya dia akan pergi ke luar negeri selama dia hamil dan membesarkan anaknya. Menghindar dari media massa dan orang-orang yang mengenalnya.Nola baru saja menelepon Jones untuk menemaninya sebentar sebelum dia berangkat besok pagi. Jones mengiyakan permintaannya, dan mungkin pria itu sedang dalam perjalanan menuju rumahnya."Nola," panggil Jones mengetuk pintu utama setibanya di depan rumah Nola. Dia lalu mendorong pintu tersebut setelah mendengar sahutan dari Nola yang menyuruhnya untuk langsung masuk."Kau serius akan pergi besok?" tanya Jones memastikan sambil berderap menghampiri Nola yang sekarang duduk di sofa."Iya. Keputusanku sudah bulat," balas Nola mengangguk membenarkan pertanyaan Jones."Kau tidak ingin bertemu sekali lagi dengan pria yang bernama Robert itu
"Ya. Aku sanggup," jawab Robert penuh dengan keyakinan. "Karena sejak awal aku memang sudah menyukainya."Jones mengangguk puas. "Baiklah. Tapi, kalau kau membuatnya menangis. Kau akan berurusan denganku, Robert."Robert balas mengangguk. "Anda tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membuatnya menangis. Mungkin hanya menangis bahagia."Jones lalu mengajak Robert kembali kepada Nola."Apa yang sudah kalian bicarakan, huh? Kalian baru saja membicarakanku ya?" tuduh Nola kesal dengan kedua tangan terlipat di depan tubuhnya.Jones mengulas senyum. "Ini pembicaraan antar pria. Kau tidak perlu tahu."Jones lalu melirik Robert sekilas. Lalu, menatap Nola. "Apa kau akan tetap pergi ke luar negeri, Nola?""Tentu saja!" jawab Nola lantang, tak peduli jika Robert tersinggung saat mendengarnya. Padahal tujuan pria itu ke sini adalah agar Nola tidak jadi ke luar negeri.Robert mendekati Nola. "Jangan pergi, Nola. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu."Nola bergeleng cepat. "Aku sudah meno
Seperti pagi sebelumnya. Sekarang pun Lolita menolak sarapan bersama Roy. Dia lebih memilih tiduran di kamarnya."Baiklah. Kalau kau lapar, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu di lemari pendingin. Kau tinggal menghangatkannya saja," tukas Roy setelah mendapati penolakan Lolita saat dia mengajaknya sarapan.Roy hanya menyambar satu roti tawar gandum untuk mengganjal perutnya. Dan dia segera bergegas pergi ke perusahaan. Dia tidak mau sampai terlambat. Meski, atasannya adalah sahabatnya sendiri, dia harus tetap bersikap profesional.Ketika suara Roy lenyap setelah suara pintu yang tertutup terdengar. Lolita mendongak dari kamarnya. Dia kehilangan nafsu makannya, bahkan air pun sepertinya enggan untuk dia telan.Wajah Lolita menjadi lebih tirus, dan lingkaran hitam tercetak samar di sekitar matanya karena tidak bisa tidur, dan selalu memikirkan Edgar.Sedang apa dia sekarang? Sedang bersama siapa? Dan apakah dia juga merasakan rindu yang sama dengan yang Lolita rasakan ini?Pundak Lolit
Roy bangkit dari kursinya dengan menahan amarah. Lolita sudah sadar, tapi keadaannya masih lemah. Lolita terus memanggil nama Edgar, dan meminta pada ayahnya untuk memperbolehkannya bertemu dengan Edgar lagi. Setidaknya satu kali saja."Daddy tidak akan mengizinkannya. Kau lupakan saja dia, dan fokus pada penyembuhanmu, Lolita," tukas Roy berderap pergi meninggalkan Lolita sendirian di kamar pasien yang sunyi, dan dipenuhi bau obat yang Lolita benci.Mata Lolita berkaca-kaca saat melihat kepergian Roy dari kamar pasien yang dia tempati. Satu tetes air mata berhasil jatuh tanpa bisa dia bendung.***Paginya. Roy membawakan bubur untuk Lolita. Dia duduk di kursi di samping ranjang, dia lalu menyodorkan sesendok bubur ke arah Lolita.Lolita bergeleng menolak. "Aku tidak mau makan, Dad.""Kau harus makan, Lolita. Supaya kau cepat sembuh," tukas Roy masih mempertahankan tangannya di depan Lolita yang membawa sendok berisi bubur.Lolita bergeleng lagi. "Aku tidak mau makan, kalau Daddy masi
"Tuan, Anda akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk si gadis kecil sekarang? Bolehkah saya juga ikut menjenguknya?" tanya Franklin saat Edgar bersiap akan pergi."No, Franklin. Kau tetap saja di sini. Kau masih ada pekerjaan yang harus kau selesaikan," jawab Edgar tak memperbolehkan Franklin ikut dengannya. Franklin mengangguk kecewa. "Baik, Tuan."Edgar lalu berderap keluar dari ruangan dan segera meluncur menuju rumah sakit. Tapi, sebelumnya dia mampir ke supermarket untuk membelikan buah dan coklat yang akan dia berikan kepada Lolita nanti.Edgar melanjutkan perjalanannya setelah meletakkan buah dan coklat yang baru saja dia beli di bangku belakang mobilnya.Karena ucapan Jones tadi, dia jadi lebih bersemangat. Seakan Jones sudah menyuntikkan semangat pria itu lewat kata-katanya.Edgar menarik napas dalam dan menaikkan kecepatan laju mobilnya. Dia sudah tak sabar untuk melihat Lolita lagi.Saat sudah sampai di rumah sakit, Edgar melangkah tegas dan cepat sambil membawa buah dan
Hari ini adalah hari yang sangat Lolita tunggu-tunggu. Hari ini dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Tapi, setelah Edgar mengunjunginya kemarin, pria itu tak muncul lagi."Dad ….""Iya?" Roy menatap Lolita yang berjalan di sampingnya menuju area parkir rumah sakit. Lolita tadi sudah diperiksa, dan biaya rumah sakit sudah Roy bayar lunas. Roy merasa lega. Dia tak perlu lagi pergi ke rumah sakit, dan bisa fokus pada pekerjaannya saat keadaan Lolita sudah benar-benar pulih."Bolehkah aku meminta ponselku kembali, Dad? Aku merasa bosan saat Daddy bekerja," ucap Lolita dengan wajah memelas.Roy hanya mendesah berat. Dia membukakan pintu mobil untuk Lolita, dan dia menyusul masuk."Nanti akan Daddy berikan saat sudah sampai di rumah," balas Roy saat dia mendudukkan dirinya di bangku kemudi.Lolita tersenyum senang. "Terima kasih, Daddy. Aku cinta Daddy."Lolita mencium pipi Roy singkat. Dia lalu memakai sabuk pengaman, dan terus mengulas senyumnya.Di sebuah cafe. Edgar dan Jones bertemu