Setelah terlepas dari ikatan pernikahan, Nora bergegas untuk pulang ke rumah Bagus, mengambil barang-barang dan mencoba memberanikan diri untuk menemui ibu mertuanya. Kedua netranya melihat jelas seorang pria tengah duduk menunggunya di teras rumah. Temy tidak pernah lelah mengejarnya, entah apalagi tujuannya datang menemui Nora, padahal ia bisa menemui Nora di kantor. Temy tertegun melihat Nora datang menghampirinya. Pria itu segera berjalan ke arah Nora, melihat keanehan dengan pakaian yang dikenakan wanita itu, " Nora? Apa yang sudah terjadi padamu?" Nora terdiam, ia tidak ingin membahas sosok Bagus saat ini. Tanpa bersuara ia segera membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Masuk ke dalam kamar, mencari semua barang miliknya. Tidak ada alasan kembali baginya untuk menetap disini. Bagus bukanlah suaminya. Temy masuk, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu, rumah yang ditempati Nora. Entah mengapa ia merasa tidak asing dengan rumah ini. Temy melihat ke arah di
Pria berdasi merah ini masih menduga-duga, gejolak hatinya terus mengusik jika wanita tua itu berbohong. Nora melirik sekilas ke arah Temy yang tengah berusaha untuk fokus menyetir, namun pikirannya sibuk melayang entah kemana. Dibalik kesunyian Nora bertanya, "Kamu baik-baik saja Temy?" Temy bersikap aneh saat Nora bersuara, ia mulai fokus pada pekerjaan mengemudinya ini. "Bisa katakan apa hubunganmu bersama Bu Rusi?" tanya Nora, sempat ia tidak percaya jika Temy memiliki hubungan keluarga dengan Bu Rusi. "Dia adik dari almarhum ibu kandungku, saat keluargaku kecelakaan Bibi Rusi yang mencoba menolong adikku, setelah itu aku tidak tahu bagaimana kabarnya!" ucapnya mengingat masa lalu. Nora mengangguk, ia menoleh ke arah jendela kaca mobil, pohon yang tinggi seperti sedang berlari mengejarnya. Namun, ia menoleh kembali ke arah Temy. "Siapa nama adikmu?!" "Gasa Atama Atmajaya" ucapnya. "Gasa, nama yang unik! Lalu apakah kau sudah berusaha mencarinya?" tanyanya lagi. "Tentu, say
"Asal apa?" seru Nora lagi. Temy menahan senyumnya, jemarinya bermain membenarkan rambut Nora yang menutupi matanya. "Asal kita menikah!" jawab Temy, membuat Nora membisu dan tidak dapat bereaksi mendengar itu. Wanita itu melepaskan pelukannya, "Maaf, aku tidak sengaja!" ucapnya membuang pandangan. Temy mengusap lembut puncak rambut Nora. Melihat tingkah Nora membuatnya semakin merasa gemas untuk memilikinya. 'Kau harus sabar Temy, Nora masih mencintai Bagus! Aku yakin waktu akan membuat Nora jatuh cinta padaku!'"Jangan diam saja Nora, mari aku tunjukkan bagaimana kamarmu!" ajak Temy. Nora mengangguk saja, sejenak ia ingin melupakan kesedihannya bersama Bagus. Ia ingin kembali menata hatinya yang masih remuk redam. Penghianatan memang tidak akan membuat hubungan akan menjadi indah, sekali saja salah satu menggores luka, semua itu tidak akan kembali sama. ***"Bang, buka pintunya Bang! Apa Abang masih marah sama aku?" Atun mengetuk daun pintu kamar Bagus. Pintu kamar terbuka, A
Zainatun memiliki perasaan yang sangat dalam untuk Bagus. Impiannya adalah menjadi istri satu-satunya seorang Bagus. Namun, tak dapat ia sangka Bagus mampu menduakan dan menodai ketulusan cintanya. Pengorbanan yang sudah ia lakukan seakan sia-sia saja, bukan kebahagiaan melainkan kesalahan yang mungkin harus berulang kali ia memikirkan jawaban atas permintaan maaf yang diutarakan Bagus. Kedua matanya masih berkaca-kaca, suaminya terus menepuk kedua pipinya dan mengguncangkan tubuh Atun, agar ia tersadar dari tatapannya yang kosong. Bukan tatapannya yang sudah kosong, melainkan cinta dan jiwanya bersembunyi dibalik kesedihan yang ia rasakan. "Katakanlah sesuatu Tun! Jangan membuatku panik!" Bagus menyesali ucapannya, kejujurannya mampu membunuh hati Atun. Dengan sigap Bagus segera berlari kecil mengambil air minum dari dapur, dan menuangkannya di gelas kaca. Ia berlari kembali, dan menghampiri Atun yang masih mematung. "Minum dulu Tun!"Bagus mendekatkan bibir gelas yang ia bawa me
Begitu lama Atun berdoa, bermunajat untuk mendapatkan rahmat-Nya. Dadanya semakin sesak, dan air matanya luruh tanpa henti. Kedua kakinya lemah tidak dapat bangkit. "Ya Allah, ada apa denganku?!" ujarnya lirih. Ia merasakan pening, jiwa dan raganya sudah tidak sanggup bertahan. Tak lama ia terkapar di atas sajadah dan tubuhnya masih dibaluti mukena berwarna putih miliknya.Suhu dingin yang terasa di telapak kakinya membuat Bagus terbangun, setelah mengusap kedua wajahnya, kedua netranya mencari sosok Atun. Sontak pria itu segera mendekati Atun yang terkapar di atas sajadah. Ia menangkup wajah Atun yang begitu pucat, kedua telapak tangannya begitu dingin. Terdengar suaranya yang terus merintih kesakitan. "Tun, bangun Tun!" bisiknya, membuat Atun begitu berat untuk membuka kedua matanya. Bagus menjadi panik, apa yang harus ia lakukan saat ini melihat kondisi Atun yang semakin parah. Wanita itu berusaha bangkit walaupun terlihat lemah. "Abang!" panggil Atun lirih. "Katakanlah, apa y
Rasa penat dan duka masih terasa. Angin yang berhembus kencang mampu menemani kesendirian Bagus saat ini. Kedua bibirnya menyesap rokok kecil yang menyelip di tengah dua jarinya. Dua jam yang lalu ia sudah berusaha ikhlas mengirimkan doa agar Atun tenang dan bahagia di surga. Dan apapun itu, Bagus harus bisa melangkah lagi mencari jalan yang baru untuk kehidupannya kedepan. Meninggalkan segala suka dan dukanya tentang masa lalunya bersama Atun. Mengambil langkah panjang untuk mencari seperti apa kehidupan selanjutnya. Bagus kembali ke rumah miliknya. Harusnya di rumah itu masih ada sosok Nora. Namun, kisah mereka pun sudah kandas.Seperti biasa, ia akan bersiap untuk bekerja di tempat Furqon. Pekerjaannya sudah lama sekali terbengkalai, walaupun malam hari, ia harus bisa menyelesaikan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Bagus berangkat menuju gudang Furqon, gudang Furqon saat ini sudah berpindah dekat dengan hutan, agar tidak terdengar suara bising yang menganggu tetangga sekitar ruma
Pandangannya tertutup oleh kain berwarna hitam, lengan Nora mengapit pada lengan Temy. Semilir angin berhembus mengenai kulitnya. Malam ini entah Temy merencanakan hal yang akan menjadi kejutan untuk Nora. Suara desiran ombak membuat Nora terus menerka-nerka keberadaannya saat ini. "Satu, dua, tiga, buka mata mu!" Nora membuka perlahan setelah kain yang dipasangkan terlepas oleh Temy. Pemandangan laut pada malam hari mampu mengukir senyum Nora. Gaun hitam bermotif brukat semakin menambah aura yang terus membuat Temy memuji kecantikannya di dalam hati. "Wow Temy, apa semua ini kau yang membuatnya?" tanyanya. Nora begitu terpukau, ketika melihat dua kursi kayu dengan meja yang menyajikan beberapa makanan yang sudah disiapkan pria tampan itu. "Kamu suka? Syukurlah, jadi semuanya tidak sia-sia!" ujar Temy. Nora hanya membalas setiap perlakuan Temy dengan senyuman, pemandangan indah ini harus bisa diabadikan. Nora mengambil ponselnya, dengan malu-malu Nora meminta Temy untuk berpose m
"Baringkan dia disana," perintah seorang pria bertubuh tinggi dan berbadan kekar yang berdiri di ambang pintu. Kedua pria yang membawa Bagus hanya mengangguk dan menuruti perintah sang atasan. "Lalu, apa yang akan kita lakukan Bang?" Salah satu pria yang merupakan anak buah Temy terlihat ragu, karena Bagus terlihat begitu lemah saat ini. "Biarkan saja dia! Kunci semua jendela, dan pintu ini, besok pagi Tuan akan datang!""Baik Bang!" jawab pria yang lainnya. Bagus membuka matanya perlahan, ia merasakan pusing yang kini tengah menderanya. Ia juga meringis kesakitan pada hidung yang masih mengeluarkan darah. "Sial! Siapa sebenarnya mereka? Apa salahku sampai aku dihukum begini?" desisnya. Pelan-pelan ia mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling kamar yang luas dan besar. Ranjang yang empuk di kamar itu membuatnya sedikit nyaman untuk saat ini. Perlahan ia bangkit dan berusaha untuk menyeimbangkan diri. "Tempat siapa? Ah, kepalaku sakit sekali!" Bagus meringis kesakitan, nampak s