Setibanya di Jakarta, Amel bergegas menuju pemakaman. Ia mengikuti arah yang dikirimkan Bryan kepadanya. Amel berdiri di tengah keramaian agar Bram tidak melihatnya, ia mengenakan masker, kaca mata hitam, kerudung hitam dan cadar.Walaupun Amel tidak melihat wajah Maria, tetapi hatinya sedikit lega karena masih melihat kain putih yang membalut tubuh wanita malang itu."Selamat jalan Ibu, terima kasih telah merawat dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang. Walaupun aku tidak terlahir dari rahimmu, tetapi kamu memperlakukan aku sebagai anak kandung," ucap dalam hati Amel sambil berurai air mata.Seiring berjalannya waktu, pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mau tidak mau Amel juga harus segera pergi, sebelum ada yang mengenalinya.Dari balik kaca mata hitam, Amel tidak berhenti menatap wajah tampan Bram. Ingin rasanya memeluk pria tampan itu, melepaskan rindu yang sudah terpendam selama 3 bulan ini."Awas, ada batu Mbak." Seseorang mengingatkan Amel, yang membuat Bram terp
"Nyonya," teriak Mbok Inem sambil berlari menghampiri Amel yang tergeletak di bawah tangga."Tolong...tolong....tolong..." Mbok Inem berteriak sekuat tenaga karena panik.Tentu dia panik, karena cairan kental berwarna merah sudah mengalir di lantai dan membasahi gaun hamil yang dikenakan Amel saat ini.Untung saja pintu utama tidak tertutup rapat, sehingga security yang sedang berkeliling komplek bisa mendengarnya, lalu segera membawa Amel ke rumah sakit terdekat."Maaf, apa Ibu keluarga pasien?" tanya suster yang baru ke luar dari ruangan UGD."I..i..iya Mbak," jawab Mbok Inem gugup."Bisa hubungi suami pasien untuk segera datang kemari? Ada surat yang harus ditandatangani, karena pasien harus dioperasi secepatnya.""I...i....i.iya Mbak, tunggu sebentar." Mbok Inem meraih ponsel dari dalam tasnya, lalu menghubungi Bryan."Tu...tu..Tuan, Nyonya, Nyonya." Mbok Inem gugup, sehingga sulit untuk bicara."Nyonya kenapa? Bicaralah yang jelas." Suara Bryan dari seberang sana terdengar tegas.
Kedua pria tampan itu segera meninggalkan Riau dan kembali ke Jakarta. Bram dan Lukas menaiki pesawat pribadi, sedangkan Bryan menaiki pesawat umum.Mereka tiba di kediaman Wijaya tepat pukul 7 lewat 30 menit. Mobil yang membawa Bram beriringan dengan taksi yang membawa Bryan."Pah, Papah, tolong dengarkan aku," ucap Bryan sambil mengikuti langkah Bram masuk ke dalam rumah.Pria tampan itu sama sekali tidak menghiraukan putranya, rasa sakit dan kecewa membuatnya tidak bersemangat untuk hidup. Bahkan Bram sudah bertekad untuk hidup sendiri tanpa wanita ataupun istri."Pah...." panggil Bryan."Cukup Bryan, jangan buat Papah semakin kesal," sentak Bram. Ia menghentikan langkahnya, menatap Bryan dengan tatapan marah."Tapi Pah......""Jangan bicara lagi, atau Papah mengusir kamu dari rumah ini," sela Bram, yang membuat Bryan berhenti bicara."Aku tidak takut Papah mengusirku dari rumah ini, tapi Papah harus tahu yang sebenarnya! Kalau bayi itu adalah adikku bukan anakku," ucap Bryan denga
Alangkah terkejutnya Bram saat mengetahui Friska tidak bisa bicara dan bergerak. Padahal dulu wanita paruh baya itu hanya memiliki riwayat sakit jantung.Bram yang tidak dapat jawaban dari Friska! Lantas kembali ke kamar dan bertanya langsung kepada Amel."Sayang, kenapa Mama Friska bisa tinggal denganmu?" tanya Bram yang duduk di sisi ranjang.Pria tampan itu sama sekali tidak tahu kalau Amel lah putri kandung Friska. Karena dari wajah dan kulit, Amel tidak memiliki kemiripan dengan Friska, justru Amel mirip dengan almarhum Maria."Ceritanya panjang Om," jawab Amel."Bukan Om, tapi Papah." Bram melarat panggilan Amel."Maaf," sahut wanita cantik itu sambil tersenyum malu."Apa sebelumnya kamu sudah mengenal Mama Friska?" Bram kembali bertanya.Amel menggeleng, "Aku bertemu dengannya lima bulan yang lalu, disitulah pertama kalinya aku melihat wajah wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini," ucapnya dengan wajah sedih dan tatapan kosong."Ha...." Bram terkejut mendengar ucapan Amel,
"Aku tahu kamu pasti ingin membicarakan tentang perceraian kita," ucap Tania saat Bram tiba di ruang tamu.Sebelum menjawab Tania, Bram terlebih dahulu mendaratkan bokongnya di atas sofa. Bibirnya tersenyum sinis sambil menatap Tania dengan tatapan yang sulit diartikan."Kamu benar," jawab Bram."Tapi aku tidak mau bercerai, apapun yang terjadi aku tetap tidak mau berpisah darimu, Bram." Tania menolak dengan tegas.Air matanya bercucuran membasahi kedua pipi mulusnya, namun sayang! Air mata itu tidak sanggup menyejukkan hati Bram, pria tampan itu sama sekali tidak tersentuh. Niatnya sudah bulat untuk berpisah dari Tania, lalu menikahi Amel secara sah dan memulai hidup baru."Apa alasanmu untuk menolak bercerai denganku?" tanya Bram dengan santai."Karena aku masih mencintaimu dan aku tidak ingin mengecewakan Bryan," jawab Tania dengan percaya diri.Bram tersenyum seribu arti, ia meraih sesuatu dari saku celana lalu menaruhnya di atas meja, "Coba kamu baca," ucapnya.Tania memutar mata
Tiga hari telah berlalu, di mana saat ini Bram sedang bersiap-siap menuju kantor pengadilan agama. Begitu juga dengan Tania, keduanya sudah sepakat untuk bercerai dengan catatan, Tania masih bisa tinggal di kediaman Wijaya."Mah, aku pergi dulu ya?" Bram mengecup kening Amel, lalu pergi meninggalkan kediaman Wijaya.Sementara Amel bergegas menuju ruang tamu, dibantu oleh Mbok Inem dan pelayan Mina. Selama tiga hari di dalam kamar membuat Amel bosan seperti dipenjara."Hem...."Suara itu terdengar dari pintu utama, Amel yang baru tiba di ruang tamu refleks memutar kepala. Ia melihat Bryan sedang melangkah ke arahnya. Wajah pria tampan itu terlihat dingin, sambil menatap Amel dengan tajam setajam silet."Apa kita bisa bicara?" ucap Bryan.Amel menjawab hanya dengan anggukan kepala. Mbok Inem dan Mina segera meninggalkan ruang tamu menuju dapur."Apa ada hal penting?" Akhirnya Amel membuka mulut setelah hening beberapa menit."Iya, itu sudah pasti," jawab Bryan dengan angkuh, "Bagaimana
"Bryan," ucap Bram.Ia menaruh kotak perhiasan di atas meja, melangkah menghampiri Bryan yang berdiri di bibir pintu dengan posisi kedua tangan terlipat di dada."Ayo masuk," ajak Bram yang langsung diikuti Bryan."Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" Bram bertanya setelah mereka duduk di sofa."Iya Pah," jawab Bryan dengan santai."Apa itu? Katakan saja," desak Bram dengan wajah tersenyum ke arah bayi mungilnya."Aku ingin Papah membagi harta warisan.""Duk...." Jantung Bram berdegup kencang mendengar permintaan putranya.Kepalanya refleks menegak, ditatapnya Bryan dengan tatapan bingung. Apa yang terjadi dengan putranya? Kenapa dia tiba-tiba meminta harta warisan? Padahal sebelumnya anak tampan itu hanya meminta agar ia dan Ibunya tetap bersama dan tinggal di rumah itu."Membagi harta warisan?" tanya Bram untuk memperjelas."Iya," jawab singkat Bryan."Kenapa terburu-buru seperti ini?" Bram kembali bertanya."Karena Papah sudah memiliki anak dari wanita lain," jawabnya de
"Jika sampai terjadi sesuatu kepada putraku! Aku tidak akan pernah memaafkan kamu Amel, camkan itu." Kata-kata terakhir Tania sebelum pergi. Amel hanya bisa meneteskan air mata, ia sama sekali tidak membuka mulut untuk menjawab Tania. Setibanya di rumah sakit, Tania menghampiri Bram yang duduk di kursi besi di depan ruang UGD. "Apa yang terjadi dengan putraku, Bram? Di mana putraku?" tanya Tania disela-sela tangisan. "Kamu yang tenang ya, Bryan pasti baik-baik saja," ucap Bram untuk menenangkan Tania. Ia mengelus lengan mantan istrinya itu, walaupun Bram sangat membenci Tania saat ini! Tapi dalam keadaan seperti ini ia harus bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak lama kemudian tiba-tiba pintu UGD terbuka, seorang wanita berseragam putih ke luar dari dalam sana. Bram dan Tania yang duduk di kursi, segera bangkit lalu menghampirinya. "Bagaimana keadaan putraku?" tanya Bram, begitu juga dengan Tania. "Pasien belum sadarkan diri Pak, Bu," jawab sang perawat, "Apa Bapak dan Ib