“Kesalahan apa yang aku buat sehingga kamu tega menyakitiku? Tidak ingatkah kamu jika kamu sudah ada Abid dan Aldo?” Dada Intan terasa sesak karena menahan air mata sejak tadi. Agung pun tak menyangka jika Intan tahu soal pernikahannya dengan Dona secepat ini. Dia tak tahu Intan dapat foto pernikahannya dengan Dona dari siapa. Tapi, Agung bisa menebak jika itu dari teman Intan. “Sudahlah aku mau istirahat saja. Toh aku mau bicara kamu juga tidak mau mendengar,” ucap Agung. Dia pun pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Niat hati dia pulang ingin melepas rindu pada istri dan anaknya tapi malah berujung keributan. Waktu yang diberikan Dona untuknya hanya dua hari. Sehingga Agung harus bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik. Sekarang dirinya sudah tidak bisa sebebas dulu jika ingin bersama dengan Intan. Hidupnya sudah separuh dikendalikan oleh Dona. Jika dia tidak menurut sedikit saja, Dona bisa-bisa marah besar dan mengusirnya dari rumahnya. Yang itu berarti dia har
“Ibu?” lirih Intan saat melihat mertuanya datang membawa tas besar. “Agung mana? Ibu mau minta uang. Kamu juga sekarang susah sekali dimintai uang. Apa jangan-jangan kamu lagi yang hasut anakku agar tidak memberikan Ibu uang lagi?” tuduh Ibu Siti begitu saja tanpa ba-bi-bu. “Mas Agung sedang tidak ada di rumah, Bu. Kami memang sedang kesusahan, Bu. Bukan maksud aku menghalang-halangi Mas Agung memberikan Ibu uang,” sanggah Intan dengan kepala tertunduk. “Alah itu bisa-bisanya kamu saja, kan? Kamu dan anak-anakmu itu memang bisanya nyusahin aja! Andai dulu anakku tidak menikah dengan kamu, pasti hidupnya tidak seperti ini!” Bukan hanya sekali dua kali Intan mendengar keluhan mertuanya yang seperti itu. Wajar saja jika Ibu Siti tidak suka dengan Intan. Pasalnya, dulu Ibu Siti hendak menjodohkan Agung dengan perempuan kaya raya. Tapi sayang, Agung lebih memilih Intan daripada perempuan yang bahkan Agung belum sempat melihatnya. “Kami memang seda—”“Minggir!” Intan didorong begitu sa
“Aku tidak mau dimadu,” ucap Intan dengan sangat jelas. “Lalu, maumu apa? Aku sudah menikah dengan Dona dan itu tidak mungkin dibatalkan,” kata Agung. Ibu Siti berdecak lalu berkata, “Sudahlah terima saja nasibmu. Makanya jadi istri itu jangan hanya bisanya menyusahkan suami. Wajar saja anakku cari istri lain.”“Contohlah Dona ini. Selain cantik, dia juga pintar cari duit. Jangan hanya bisanya menghabiskan uang suami! Bahkan berhutang lagi,” sambung Ibu Siti. Mata Intan ke arah Agung. Dia tak menyangka jika Agung sudah mengatakan pada mertuanya kalau dia terjerat pinjol. Itu artinya Dona juga sudah mengetahuinya. “Apa kata Ibu? Aku habisin uang Mas Agung? Itu juga semua gara-gara Ibu!” timpal Intan dengan emosi. “Apa maksudmu, Intan?” tanya Agung. Ibu Siti terlihat agak panik. Gerak-gerik Ibu Siti makin menunjukkan kalau memang ada yang disembunyikan. Tapi hanya Intan yang menyadari hal itu. Dona hanya menjadi penonton setia di sana. Belum waktunya untuk Dona bicara. Intan terl
“Aku tak sudi tinggal bersama istri keduamu itu!” jawab Intan tegas. “Jangan egois, Intan. Kita tak punya pilihan lain. Kasihan anak-anak. Toh Dona juga tidak keberatan,” kata Agung. “Tentu saja tidak. Dengan senang hati pintu rumahku terbuka untuk istri pertama suamiku. Silahkan tinggal di rumahku!” Dona ikut menyahut. “Ibu juga boleh ikut tinggal di sana, kan Dona?” tanya Ibu Siti. “Tentu saja boleh. Sekarang pun boleh, Bu. Itu pun kalau Ibu mau,” jawab Dona dengan senyum lebar. “Mau dong! Bentar Ibu ambil tas Ibu dulu.” Ibu Siti begitu riang menerima ajakan Dona. Tak lama kemudian Ibu Siti keluar lagi dengan menenteng tas miliknya. Ibu Siti senang bukan main. Impian untuk memiliki menantu kaya raya akhirnya terwujud juga. Setelah semuanya siap, mereka berdua pun segera pergi dari saja. Tapi sebelum meninggalkan kontrakan Agung, Dona berkata,“Pintuku selalu terbuka untukmu, Intan. Silahkan datang kapan saja kamu mau.” Agung kembali meninggalkan Intan di sana bersama anak-a
“Bu, kenapa baju-baju Abid dimasukkan ke dalam tas?” Anak pertama Intan terbangun dan melihat Intan tengah beberes. Dengan cepat tangan Intan menghapus air matanya. Sudah cukup kedua anaknya melihatnya sedih dan menangis beberapa hari ini. Dia tak ingin mental kedua anaknya terganggu. “Gak apa-apa, Sayang. Kita harus pindah dari sini. Bude yang punya rumah sini sudah menjual rumahnya. Jadi, kita tidak bisa lagi menempatinya karena yang beli rumah ini akan datang,” jelas Intan dengan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. “Lalu kita mau tidur dimana, Bu?” tanya Abid lagi. “Nanti kita cari tempat untuk istirahat, ya, Nak. Abid sekarang ke kamar mandi dulu sambil cuci muka, ya. Ibu mau teruskan beres-beresnya.”Abid mengangguk lalu melaksanakan perintah ibunya. Anak sekecil itu sudah harus merasakan pahitnya kehidupan akibat ulah ibunya sendiri. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Saat ini Intan tak punya solusi apapun untuk masalahnya sendiri. Dia hanya bisa pasrah mengikut
Dalam benaknya, Intan merasa pernikahan suaminya dengan Dona memang disengaja. Hatinya mengatakan seperti itu setelah tadi bertemu dengan Dona. “Mata Dona menyiratkan amarah yang begitu besar saat melihatku. Tapi, kenapa dia bisa sampai semarah itu kepadaku? Bukannya dulu dia yang sering membullyku? Harusnya aku, kan, yang marah?” kata Intan dalam hati. Langkah Intan terhenti ketika Abid terjatuh karena dia terlalu cepat berjalan. Dia tidak sadar kalau tangannya menggandeng Abid. Pikirannya kini bercabang-cabang. “Sakit, Bu. Hu … hu … hu …” Abid menangis karena kakinya berdarah. “Astaghfirullah, Nak! Maafkan Ibu, Sayang. Maafkan Ibu,” ucap Intan. Tangannya sedikit gemetar karena melihat darah yang keluar dari kaki Abid. Intan memang ada ketakutan saat melihat darah. Tubuhnya akan mengeluarkan keringat dingin. Tangannya gemetar dan denyut jantungnya berdegup kencang. Dia tak tahu harus berbuat apa. Kepalanya mulai pusing karena melihat darah terlalu lama. Pandangannya berkunang-k
“Maksudnya apa, ya? Dan ini bukannya gudang?” tanya Intan. Intan dibawa Dona ke bagian paling belakang rumah mewahnya. Ada satu ruangan kecil yang tidak terpakai dan dijadikan sebagai gudang. “Iya memang gudang. Dan sekarang menjadi kamar kamu. Biar anak-anak kamu ada di kamar yang tadi. Aku dan suamiku akan menjaga mereka,” ujar Dona percaya diri. “Gak bisa! Mereka gak bisa tidur kalau tidak bersama denganku. Dia anak-anak aku, Dona!” tolak Intan tegas. “Dia juga anak suamiku. Suamiku juga berhak memberikan kenyamanan untuk mereka. Bukankah Mas Agung sudah bilang kalau kamu gak boleh egois?” “Tujuan sebenarnya kamu melakukan ini apa, Dona? Katakan! Aku yakin kamu akan maksud tersembunyi dibalik semua ini.”Dona tertawa kecil. Dia menatap tajam Intan lalu pergi begitu saja meninggalkan Intan di sana. Intan tak bergerak sama sekali di sana. Dia masih mencerna semua yang terjadi kepada dirinya. “Apa semua ini? Dan apa ini? Aku dijadikan ba*u oleh maduku? Allah …” Rasanya tidak te
Sebenarnya berat bagi Intan melepas anak-anaknya tidur bersama dengan Dona. Tapi, rengekan Aldo membuatnya tidak bisa menolak. Sungguh hatinya terasa begitu sakit kala yang meminta sendiri adalah anaknya. Dengan berat hati Intan melepas anaknya untuk tidur bersama dengan ayah dan juga Dona. Ini adalah kali pertama dilakukan oleh Intan. “Nanti kalau adik tidak bisa tidur, minta ayah antar ke sini, ya?” Aldo menganggukkan kepalanya. Malam pun semakin larut. Mata Intan tidak bisa terpejam. Dia yang sudah terbiasa tidur bersama kedua anaknya, tidak bisa kalau tidak ada mereka. Intan sudah berkali-kali memejamkan mata tapi tidak bisa juga terpejam. Akhirnya Intan inisiatif untuk melihat ke kamar Dona. Dia berjalan perlahan menuju ke kamar itu. Dia berharap anak-anaknya juga sama seperti dirinya yang tidak bisa tidur. Pintu kamar Dona tidak tertutup rapat. Dari celah pintu itu, Intan mengintip ke dalam. Sebuah pemandangan yang ingin dilihat oleh Intan pun tersaji. Kedua anak Intan bis