Denan menatap langit-langit rumah di kamarnya. Dari rentetan kejadian yang ia lihat, ia berpikir bahwa apa yang ia inginkan sudah terlaksana setengah jalan. Ia sudah merasa tinggal setengah lagi ia bisa mewujudkan apa yang ia impikan selama ini. Tapi, ternyata semuanya salah besar. Jiwa jahat Flara yang selama ini diam ternyata diam-diam terusik karena ulahnya juga. Hingga detik ini pun ia masih bingung harus bagaimana, jika ia memilih mempertahankan pertemanannya dengan Rania, Flara yang akan merajuk dan menganggap cintanya tak sungguh-sungguh. Tapi, jika ia mengabulkan permintaan wanita yang ia cintai itu, maka bukan hanya kehilangan teman, tapi ia juga terlihat tak tahu diri karena sudah menghancurkan orang yang sudah membantunya. Ingatan Denan kembali pada tadi siang, di mana saat Flara dengan lancar dan tenang mengungkapkan apa yang ia inginkan. "Kamu masih simpan foto Zaki sama Rania waktu bemesraan di restoran, kan? Yang dulu pernah kamu tunjukkan padaku."Denan mengangguk r
Zaki yang tadinya meletakkan kepala di lutut, seketika medongak ketika mendengar ada suara yang memanggil namanya. Ternyata yang datang bukan orang yang ia harapkan. "Zaki, nasib aku gimana?" Rania berjalan menghampiri dan duduk di depan pria itu. "Rania aku udah pusing banget sama masalahku, kenapa kamu harus hamil sekarang?""Aku juga nggak mau hamil, Zaki. Apa kamu pikir aku mau di posisi seperti ini?""Aku masih sah menjadi suami Flara. Bagaimana bisa aku menikahi kamu?" "Ya udah kalau kamu nggak mau tanggung jawab aku akan menggugurkan anak ini.""Jangan nambah dosa lah, Ran. Ya udah oke kita akan menikah siri. Besok akan aku urus semuanya. Kamu harus ngerti juga sama kondisi aku. Sekarang kamu pulang, ya. Ini udah malam, Ran. kamu ngapain sih ke sini malam-malam?""Mau ditemenin kamu."Zaki menghela nafas dalam. Ia hanya mampu menuruti apa kata Rania. Jika ia menolak apa yang wanita itu katakan, maka akan ada masalah baru yang secara tidak langsung ia ciptakan. Lebih baik ia
Di tengah malam entah pukul berapa, Rania terbangun dari tidur lelapnya. Ia melihat ke samping, ada Zaki yang tertidur dengan nyenyak. Wanita itu mendudukkan dirinya dengan tegap.Melihat wajah Zaki yang nampak lelah dalam tidurnya, ia menjadi tak tega jika ingin melakukan hal yang diperintahkan Denan. Rania menggigit ujung kukunya bingung. "Gue nggak mau tahu, Ran. Bisa nggak bisa lo harus pergi dari sini. Gue udah bilang sama lo, kan? Jangan pakai perasaan. Gue nyuruh lo ngehancurin dia. Bukan mencintai dia. Gue begini karena gue peduli sama lo, Ran. Kalau sampai Flara nyebar foto lo sama Zaki dulu, nama lo juga yang jelek. Gue nggak mau masa depan lo malah nggak jelas. Gue sayang sama lo sebagai teman gue."Denan sedikit mengarang cerita dengan membawa nama Flara. Ia tak mau jika ia jujur, Rania akan berpikir jika dirinya tak tau diri. Cara ini adalah satu-satunya cara yang Denan dapat untuk menyelamatkan keduanya, menyelamatkan cintanya, dan juga sahabatnya. "Tapi lo tahu gue la
Di bawah langit senja yang hampir menyapa. Rania dan Denan sedang berada dalam satu atap kendaraan yang sama. Mereka masih diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rania menatap pepohonan dan juga bangunan yang berjajar di pinggir jalan. Ia berpikir hari ini adalah hari terakhir ia melihat keindahan yang biasa ia lihat setiap hari. Mulai esok hari ia akan melihat pemandangan yang berbeda, orang-orang yang asing, dan langit yang mungkin juga berbeda. Semuanya serba berbeda, kehidupan yang akan ia mulai esok hari adalah perubahan hidup yang bisa dibilang dimulai dari nol. "Ran, kalau lo udah sampai kabarin gue, ya. Cuman lo temen yang ngertiin gue, berat juga buat gue untuk berpisah jauh kayak gini. Tapi suatu saat nanti lu bakal balik ke sini, kan? Gue akan terus kabari lo kalau suasana dan situasi di sini udah membaik lo bisa ke sini lagi.""Gue nggak tahu mau balik apa nggak. Lo juga teman satu-satunya buat gue, sejak kenal lo, gue merasa kalau gue punya seorang kakak, gue nggak
Denan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mendengar Flara yang mengatakan perutnya mengalami kontraksi membuat pria itu panik Setengah mati. Usia kandungannya baru masuki delapan bulan. Bagaimana wanita itu mau melahirkan, begitu kira-kira pikir Denan. "Fla! Flara kamu di mana?" Denan berteriak ketika ia baru saja mmenuka pintu. Flara tinggal seorang diri di sebuah rumah elit namun hanya satu lantai. Ia belum mengenal siapapun di tempat barunya. Begitu tiba-tiba ia mengalami sakit perut yang luar biasa ia mencoba untuk memesan taksi online, tapi tak kunjung dapat. Lima belas menit ia menunggu, tak kunjung ada perkembangan. Akhirnya mau tak mau ia terpaksa menghubungi Denan agar bisa segera dibawa ke rumah sakit. "Aku di dapur, Den. Aku nggak berani ke mana-mana. Aaah." Flara memekik kesakitan setelah berteriak menjawab pertanyaan Denan. Pria itu seketika berlari ke arah dapur, ia begitu terkejut begitu mendapati Flara yang sudah terduduk di lantai seraya memegangi perutnya
Tidak ada pilihan lain, mau tak mau Zaki dan Bu Lisa yang masih berada di sana harus meninggalkan rumah pemberian Pak Burhan. Mau menyangkal sekeras apapun, mereka tak bisa berbuat apa-apa. "Kamu dan ayahmu sama saja, Zaki. Kamu bodoh. Sekarang akan semakin runyam saja semuanya. Sementara lagi, berita soal ayahmu pasti naik ke media. Belum lagi berita kamu, pasti akan jadi bom yang ke dua buat kita.""Ibu jangan nyalahin aku sama Ayah aja. Ini semua salah kita. Bahkan aku yang nggak tahu apa-apa juga ikut terseret ke dalam masalah kalian."Pertengkaran mereka terhenti karena sudah sampai di rumah milik Bu Lisa dan Pak Burhan. Kedatangan mereka tentu saja di sambut oleh Pak burhan dengan tatapan heran. Bagaimana tidak? Anak dan istrinya turun dari mobil dengan membawa beberapa barang. Entah barang siapa. "Apa-apaan ini?""Tanyakan saja pada anakmu ini. Ayah sama anak sama-sama bikin susah," sungut Bu Lisa lalu berjalan masuk rumah. Pak Burhan hanya mengikuti Bu Lisa dengan ekor mat
Malam itu Zaki dan Pak Burhan dibuat khawatir dan cemas oleh Bu Lusi. Sepelepas pertengkarannya dengan sang anak, Pak Burhan dibuat terkejut dengan kondisi Bu Lusi yang sudah tergeletak di lantai kamar mandi. Bu Lusi bukan tipikal orang yang gampang sakit dan pingsan. Bahkan selama hidupnya, beliau pingsan bisa dihitung dengan jari. Itulah sebabnya Pak Burhan dan Zaki benar-benar dibuat panik olehnya. ***Di rumah sakit yang sama, ketegangan dan kecemasan yang sebelumnya menghinggapi Denan kini sudah terurai. Pria itu bisa bernafas lega karena kontraksi yang dialami Flara hanyalah kontraksi palsu. Wanita itu kini harus bermalam di rumah sakit karena tekanan darah yang sedikit tinggi, ditambah lagi kontraksi palsu yang dialaminya begitu hebat membuatnya harus dipantau oleh dokter. "Aku beli makan dulu, ya. Kamu mau makan apa?""Terserah. Apa aja aku makan.""Jangan kemana-mana sebelum aku datang. Harus tetap duduk diam di sini."Flara hanya mengangguk. Wanita itu menatap punggung D
Zaki diam, tatapan kesedihan dan luka yang ia lihat di mata Denan sudah tak perlu lagi dijelaskan dengan kata-kata. Sorot mata yang Denan pancarkan menyiratkan luka yang begitu dalam. Meskipun Zaki saat ini juga sedang merasakan kerugian dari yang Denan lakukan, Ia tak ingin menyalahkannya. Sungguh Zaki saat ini tidak ingin menyalahkan siapapun. Menurutnya, percuma saja menyalahkan manusia-manusia yang berperan dalam masalah ini. Mau sekeras apapun dan bagaimanapun ia menyalahkan orang-orang yang ada di dalamnya, keadaan tidak akan berubah. Sebagai manusia satu-satunya yang waras di antara keluarganya. Zaki merasa harus menyelesaikan apa yang sudah terlanjur berantakan dan amburadul. Kehidupannya, keluarganya, dan kalau perlu masa depannya ia tata mulai dari sekarang. Dan Zaki merasa, detik inilah ia akan memulainya. Mau tidak mau, bisa atau tidak, ia bertekad untuk mendamaikan semuanya. Ia tahu ini tidak mudah, butuh perjuangan ekstra, tapi ini jalan satu-satunya agar semua bisa ti