Di bawah langit senja yang hampir menyapa. Rania dan Denan sedang berada dalam satu atap kendaraan yang sama. Mereka masih diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rania menatap pepohonan dan juga bangunan yang berjajar di pinggir jalan. Ia berpikir hari ini adalah hari terakhir ia melihat keindahan yang biasa ia lihat setiap hari. Mulai esok hari ia akan melihat pemandangan yang berbeda, orang-orang yang asing, dan langit yang mungkin juga berbeda. Semuanya serba berbeda, kehidupan yang akan ia mulai esok hari adalah perubahan hidup yang bisa dibilang dimulai dari nol. "Ran, kalau lo udah sampai kabarin gue, ya. Cuman lo temen yang ngertiin gue, berat juga buat gue untuk berpisah jauh kayak gini. Tapi suatu saat nanti lu bakal balik ke sini, kan? Gue akan terus kabari lo kalau suasana dan situasi di sini udah membaik lo bisa ke sini lagi.""Gue nggak tahu mau balik apa nggak. Lo juga teman satu-satunya buat gue, sejak kenal lo, gue merasa kalau gue punya seorang kakak, gue nggak
Denan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mendengar Flara yang mengatakan perutnya mengalami kontraksi membuat pria itu panik Setengah mati. Usia kandungannya baru masuki delapan bulan. Bagaimana wanita itu mau melahirkan, begitu kira-kira pikir Denan. "Fla! Flara kamu di mana?" Denan berteriak ketika ia baru saja mmenuka pintu. Flara tinggal seorang diri di sebuah rumah elit namun hanya satu lantai. Ia belum mengenal siapapun di tempat barunya. Begitu tiba-tiba ia mengalami sakit perut yang luar biasa ia mencoba untuk memesan taksi online, tapi tak kunjung dapat. Lima belas menit ia menunggu, tak kunjung ada perkembangan. Akhirnya mau tak mau ia terpaksa menghubungi Denan agar bisa segera dibawa ke rumah sakit. "Aku di dapur, Den. Aku nggak berani ke mana-mana. Aaah." Flara memekik kesakitan setelah berteriak menjawab pertanyaan Denan. Pria itu seketika berlari ke arah dapur, ia begitu terkejut begitu mendapati Flara yang sudah terduduk di lantai seraya memegangi perutnya
Tidak ada pilihan lain, mau tak mau Zaki dan Bu Lisa yang masih berada di sana harus meninggalkan rumah pemberian Pak Burhan. Mau menyangkal sekeras apapun, mereka tak bisa berbuat apa-apa. "Kamu dan ayahmu sama saja, Zaki. Kamu bodoh. Sekarang akan semakin runyam saja semuanya. Sementara lagi, berita soal ayahmu pasti naik ke media. Belum lagi berita kamu, pasti akan jadi bom yang ke dua buat kita.""Ibu jangan nyalahin aku sama Ayah aja. Ini semua salah kita. Bahkan aku yang nggak tahu apa-apa juga ikut terseret ke dalam masalah kalian."Pertengkaran mereka terhenti karena sudah sampai di rumah milik Bu Lisa dan Pak Burhan. Kedatangan mereka tentu saja di sambut oleh Pak burhan dengan tatapan heran. Bagaimana tidak? Anak dan istrinya turun dari mobil dengan membawa beberapa barang. Entah barang siapa. "Apa-apaan ini?""Tanyakan saja pada anakmu ini. Ayah sama anak sama-sama bikin susah," sungut Bu Lisa lalu berjalan masuk rumah. Pak Burhan hanya mengikuti Bu Lisa dengan ekor mat
Malam itu Zaki dan Pak Burhan dibuat khawatir dan cemas oleh Bu Lusi. Sepelepas pertengkarannya dengan sang anak, Pak Burhan dibuat terkejut dengan kondisi Bu Lusi yang sudah tergeletak di lantai kamar mandi. Bu Lusi bukan tipikal orang yang gampang sakit dan pingsan. Bahkan selama hidupnya, beliau pingsan bisa dihitung dengan jari. Itulah sebabnya Pak Burhan dan Zaki benar-benar dibuat panik olehnya. ***Di rumah sakit yang sama, ketegangan dan kecemasan yang sebelumnya menghinggapi Denan kini sudah terurai. Pria itu bisa bernafas lega karena kontraksi yang dialami Flara hanyalah kontraksi palsu. Wanita itu kini harus bermalam di rumah sakit karena tekanan darah yang sedikit tinggi, ditambah lagi kontraksi palsu yang dialaminya begitu hebat membuatnya harus dipantau oleh dokter. "Aku beli makan dulu, ya. Kamu mau makan apa?""Terserah. Apa aja aku makan.""Jangan kemana-mana sebelum aku datang. Harus tetap duduk diam di sini."Flara hanya mengangguk. Wanita itu menatap punggung D
Zaki diam, tatapan kesedihan dan luka yang ia lihat di mata Denan sudah tak perlu lagi dijelaskan dengan kata-kata. Sorot mata yang Denan pancarkan menyiratkan luka yang begitu dalam. Meskipun Zaki saat ini juga sedang merasakan kerugian dari yang Denan lakukan, Ia tak ingin menyalahkannya. Sungguh Zaki saat ini tidak ingin menyalahkan siapapun. Menurutnya, percuma saja menyalahkan manusia-manusia yang berperan dalam masalah ini. Mau sekeras apapun dan bagaimanapun ia menyalahkan orang-orang yang ada di dalamnya, keadaan tidak akan berubah. Sebagai manusia satu-satunya yang waras di antara keluarganya. Zaki merasa harus menyelesaikan apa yang sudah terlanjur berantakan dan amburadul. Kehidupannya, keluarganya, dan kalau perlu masa depannya ia tata mulai dari sekarang. Dan Zaki merasa, detik inilah ia akan memulainya. Mau tidak mau, bisa atau tidak, ia bertekad untuk mendamaikan semuanya. Ia tahu ini tidak mudah, butuh perjuangan ekstra, tapi ini jalan satu-satunya agar semua bisa ti
Di hari yang masih pagi, bahkan matahari masih enggan menampakkan sinarnya, Denan sudah melajukan langkahnya di koridor rumah sakit. Suasana rumah sakit yang masih sedikit sunyi membuat derap langkah Denan terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. "Udah bangun?" ucapnya pada Flara yang sedang duduk bersandar pada bantal dengan ponsel di tangannya. Flara sedikit terkejut, ia menoleh ke dinding di mana ada jam yang terpasang di sana. masih jam setengah enam dan Denan sudah sampai di sini, begitulah batin Flara. "Aku ada bubur buat kamu. Makan, mumpung masih hangat.""Ini masih terlalu pagi untuk makan.""Memang kenapa? Kamu makan nggak buat diri kami sendiri. Nanti setelah makan aku bawa jalan-jalan ke taman rumah sakit. Masih pagi, udara masih segar."Flara dengan semangat empat lima merebut kotak foam yang berisi bubur ayam beserta kerupuknya. Memakan dengan lahap dan nikmat. Bukan karena lapar. Ia ingin segera keluar dari ruangan terkutuk ini untuk menghirup udara yang lebih se
"Zaki."Flara mengerutkan kening tipis, apa yang media beritakan mengenai Zaki jika Denan saja belum membuat kegaduhan. Itulah setidaknya yang ada dalam pikiran Flara. "Bukannya kamu belum melakukan apa-apa?" tanya Flara setelah beberapa detik terdiam. "Memang belum. Aku belum melakukan apa yang kamu minta, tapi ternyata Tuhan sudah berkehendak lain. Tuhan selalu adil, Fla. Zaki mungkin memang tidak punya salah denganku. Tapi dia punya dosa pada wanita yang begitu mencintainya. Karma dibayar kontan.""Jangan bertele-tele Denan, berita apa?" desak Flara tak sabar. "Zaki kehilangan rumah karena wanita simpanannya.""Apa, kok bisa? Maksud kamu Rania.""Memang siapa lagi wanita simpanan Zaki selain Rania?""Tapi gimana ceritanya? Yang jelas dong, Den. Aku nggak ngerti." "Rania membawa kabur surat sertifikat rumah milik Zaki, lalu dia jual dan dia kabur ke luar negeri. Tadi memang sempat Rania bilang ke aku kalau dia itu mau ke luar negeri. Katanya, sih mau liburan, ya aku yang nggak m
Di hari yang menjelang sore, Flara diizinkan pulang karena kondisinya yang sudah membaik. Kedua manusia yang nampak sebagai sepasang suami istri itu berjalan beriringan. Langkah demi langkah yang mereka ciptakan membawa mereka meninggalkan bangunan bercat putih yang dipenuhi oleh orang tak sehat. Baru saja menapakkan kaki di pelataran rumah sakit langkah mereka terhenti karena berpapasan dengan Zaki. Hal yang sejak kemarin benar-benar dihindari oleh Denan kini malah terjadi di depan matanya. Sial! Otak Denan saat ini sedang sedikit waras, ia ingin sekali menggeret Flara dari hadapan manusia yang sebenarnya sama-sama menjadi korban dari kelakuan ayahnya. Namun, otaknya yang masih ada kewarasan membuatnya urung melakukan niatnya itu. Meskipun ada kebencian di dirinya, ia tidak bisa memungkiri bahwa mereka berdua masih ada hubungan suami istri. Lain halnya jika Flara yang meminta untuk pergi, maka dengan senang hati ia akan menggeret wanita itu menjauh dari suaminya. Selama Flara nam