Flara berlari menuju dapur untuk melihat apa yang terjadi. Suara barang pecah membuat ia lupa bahwasanya ia sedang hamil muda. Ia memekik tertahan begitu sampai sana. "Astaga, Mas kamu nggak apa-apa, kan? Minggir jangan dibereskan, tangan kamu melepuh." Flara menggeret tangan Zaki menuju wastafel dan menyiram tangan suaminya yang tersiram air panas. Mengelapnya dengan handuk kecil dengan orang seraya meniupnya pelan-pelan. Nampak Flara memperlakukan suaminya itu dengan telaten, sabar dan sangat lembut. Entah kenapa kali ini Zaki tak banyak bicara apalagi melarang Flara menyentuhnya, ia diam seribu bahasa seakan Flara menghipnotis Zaki dan memintanya untuk diam. Wanita itu begitu cekatan memberikan pertolongan pertama pada tangan suaminya yang tersiram air panas. Zaki hanya menatap dalam diam wanita yang sejak tadi panik dan sibuk sendiri karena tangannya. "Kamu mau apa? Kenapa nggak minta tolong aku aja? Kalau kamu anggap aku orang asing, nggak seharusnya kamu mendiamkan aku, oran
Denan mendengar ada suara yang sangat ia kenal. Suara seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup hingga detik ini. Tapi tunggu! Bagaimana bisa suara itu ada di luar kamar? Bukankah? "Ibu." Denan seketika berlari ke lantai dua. Di mana ibunya duduk di kursi roda dengan perawatnya berada di belakang. "Ini Ibu, kan? Ibu aku seneng banget melihat Ibu yang begini." Ya, selama belasan tahun Bu Salma hanya berbaring saja bukan tanpa alasan. Beliau masih bisa duduk, tapi lebih memilih untuk tetap di kamar tanpa tahu dunia luar. Beliau ingat betul, waktu itu suaminya mengatakan agar tak ada satupun orang yang tahu bahwa dirinya masih hidup, atau kejadian yang lalu akan terulang kembali. Kejadian di mana seseorang berniat melenyapkan keduanya. Karena beliau ingin tetap hidup untuk Denan, akhirnya beliau merelakan tubuhnya hanya berbaring di atas tempat tidur. "Jangan bicara seperti itu pada Ayah, Nak. Nggak boleh berteriak di depan orang yang lebih tua. Berangkat kerja sana sekarang,
Pak Burhan sedikit gelagapan melihat anaknya yang berdiri di ambang pintu. Beliau berharap anaknya itu tak mendengar apapun yang terucap dari mulutnya. "Ayah ngomong apaan barusan? Siapa yang nggak paham-paham?" Zaki bertanya sembari memajukan langkah mendekati meja ayahnya. 'Syukurlah dia nggak dengar,' batin Pak Burhan merasa lega. "Ini anak buah Ayah. Teman Ayah ada yang minta bantuan untuk cari orang. Dari tadi di jelasin nggak paham-paham. Entahlah, mungkin meraka lelah. Ada apa? Kenapa tanganmu?" Pak Burhan sedikit terkejut saat melihat tangan anaknya. "Kesiram air panas. Biasa aku sok-sok an pergi ke dapur sendiri, niatnya mau buat teh. Aku nggak tega kalau harus nyuruh-nyuruh Flara, badannya jadi lemas karena sering mual." Zaki duduk di kursi sebrang ayahnya. "Harusnya jangan ke kantor dulu, kasihan kalau istrimu sendiri di rumah.""Ya, ini nanti aku pulang cepat, kok Yah. Makanya aku ke sini mau ngasih ini, aku mau pulang. Kepikiran sama Flara terus." Zaki menyodorkan sa
Brak! Dengan keras Denan menggebrak meja. Telapak tangannya terasa panas seketika. Tatapan yang tadinya santai dan dengan cepat berubah menjadi penuh amarah. "Lebih baik kau pergi dari sini! Aku juga tidak ingin ke mana pun, aku dan Ibu akan tetap di sini. Istrimu tahu aku dan Ibu masih hidup? Biarkan saja, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan," tantang Denan. "Jangan gegabah, Den. Ayah sayang kamu dan Ibu. Ayah ingin kalian tetap hidup, Ayah ingin kalian tetap di sini. Tapi sebuah keegoisan jika Ayah membiarkan kalian di sini sedangkan keselamatan kalian sedang di pertaruhkan." Pak Burhan masih bersikeras untuk membuat Denan pergi dari negara ini. Apa yang dikatakan Pak Burhan tak sepenuhnya bohong. Bagian manakah yang jujur? Bagian saat beliau mengatakan bahwa beliau sayang dengan Denan dan ibunya. Hanya saja cara menunjukkan kasih sayang Pak Burhan salah, bahkan salah besar. "Sayang?" Denan memiringkan salah satu sudut bibirnya. Pertanda bahwa ia sedang meremehkan pria itu
"Mampus! Ayah sama Ibu mau ke sini. Nginep lagi. Aduh, bagaimana ini? Tenang Flara tenang. Lebih baik telepon Zaki dulu, pasti dia belum jauh."Flara mondar-mandir dari sisi kiri ke sisi kanan, begitu terus selama ponselnya berada di telinga. Dengan cemas dan panik yang bercampur menjadi satu ia terus menghubungi suaminya. Sesekali ia memijit kepalanya pelan. "Menyebalkan! Zaki sama sekali nggak angkat telepon aku. Baiklah sekarang yang aku lakukan adalah harus memindahkan semua pakaian dan barang-barang aku ke kamar Zaki."Dengan gerakan cepat, ia membereskan seluruh barang yang ia punya ke kamar Zaki. Diawali dengan pakaiannya, ia masukkan ke dalam koper lalu ia seret ke lantai atas. Emosi Flara sedikit meluap ketika sampai di kamar Zaki, pintunya ternyata di kunci oleh Zaki. Menendang pintu itu dengan pelan adalah reaksi pertama yang ia tunjukkan. Semakin bingung, ia lagi-lagi mondar-mandir, masih di lantai dua ia berkacak pinggang dan menggigit kecil ujung kukunya. Berpikir ker
"Flara," Pekik Denan terkejut. "Tumben, ada apa? Apa ada masalah? Kamu sendirian?" Denan bertanya seraya menatap pintu utama. Barangkali Flara datang dengan seseorang. Mengingat ini sudah sedikit malam. "Nggak, sendirian aja. Memang mau sama siapa?""Zaki nggak marah kamu keluar malam?" tanya Denan pura-pura tak tahu. "Dia lagi nggak di rumah. Bagaimana keadaan Bu Salma?""Baik, bahkan Ibu sudah mau duduk dan keluar rumah. Perkembangan yang aku tunggu-tunggu dari dulu." Denan melengkungkan bibirnya karena bahagia menceritakan ibunya yang sudah berkembang. Meskipun Denan sangat penasaran hal apa yang membuat Flara ke sini, ia berusaha dengan keras untuk tak bertanya. Biarkan saja ia yang akan mengatakannya nanti, begitu pikir Denan. Denan mengamati wajah Flara. Meneliti setiap inci kulit putih mulusnya, tak ada guratan kesedihan di sana. Ah, mungkin saja Zaki tak terang-terangan akan orang Bali sama Rania, pikir Denan. "Bu Salma udah tidur?" "Belum, baru makan malam barusan. Mau
Flara dan Bu Salma sama-sama saling menatap pintu. Rasa terkejut tak bisa mereka sembunyikan dari wajah Denan. Apa Denan mendengar semuanya? Mudah-mudahan saja tidak, begitu pikir keduanya terutama Flara. "Ditanya diam saja, apa yang mau di ambil?" Denan berjalan dan duduk di tepian ranjang. Memandang bergantian dua wanita yang ada di hadapannya. "Bukan apa-apa, Den. urusan perempuan. Masa kamu mau tahu?" Bu Salma yang menjawab. Denan menggangguk meskipun ada keraguan di wajahnya. "Kamu tadi ke sini naik apa, sih Fla?""Taksi online, kenapa?""Ya sudah nanti pulangnya aku antar. Masih lama ngobrolnya? udah malem, loh. Bukan ngusir tapi, kan kamu lagi hamil harus banyak istirahat. Nggak boleh capek-capek."Flara menyesalkan satu hal, kenapa bukan suaminya yang memberikan perhatian kecil itu. Perhatian yang seharusnya ia dapat dari suaminya malah ia dapatkan dari pria yang merusak rumah tangganya. Sifat Denan akhir-akhir ini membuat Flara menjadi bingung. Jika dulu Denan penuh denga
Semakin lama hujan yang mengguyur bukannya mereda justru semakin deras. Denan masih berada di rumah Flara saat petir mulai menyambar, ia ingat betul Flara takut dengan suara keras yang berasal dari langit Itu. Wajah takut berusaha disembunyikan oleh Flara. namun, Denan masih bisa melihat guratan takut dari wajahnya itu meskipun wanita itu berusaha untuk tidak menampakkannya. Denan bingung, ia ingin segera pulang karena ibunya sendirian di rumah, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Flara sendiri di rumah sebesar ini. "Kamu nggak cari asisten rumah tangga, sih, Fla?" "Ya sebenarnya ini mau nyari, tapi bingung mau nyari di mana. Kamu, kan tahu aku gampang nggak percaya sama orang baru.""Aku cariin aja, ya nanti. Kalau suami kamu tanya, ya bilang aja kamu yang nyari. Kalau situasi kayak gini, kan nggak baik kalau kamu sendirian di rumah. Apalagi kamu juga hamil kalau ntar ada kenapa-napa gimana? Kamu juga nggak mungkin ngerawat rumah sebesar ini sendirian kamu, tuh harusnya banyak i