Nadia berbaring di atas kasurnya dan menatap langit kamarnya. Ia beralih menatap bingkai foto di dinding. Foto ketika mereka tengah menyematkan cincin tunangan, malam itu.
Nadia menghela nafas. Ia tersenyum kecut dan menitikkan air matanya. Membayangkannya saja, hanya bisa membuat hatinya sesak.
Bara bahkan tidak menelponnya seperti biasa, untuk meminta maaf. Nadia yakin, Bara masih di rumah Celina untuk menunggu ekornya tertidur. Dan melupakan dirinya.
"Jahat kamu, Bar. Kemarin ketika aku sakit, kamu janji untuk jaga jarak dengan, Celina. Sekarang kamu ingkar kembali. Sebenarnya kamu anggap aku apa, hem?"
Nadia menatap foto Bara yang berpose bersamanya. Nadia dari dulu memang tidak pernah memperbesar masalah
Nadia menepis tangan Bara yang menggenggamnya sedari tadi. Mungkin Nadia akan tersenyum manis di depan kedua orang tua nya. Tidak! Di luar rumah. Nadia belum memaafkan kejadian kemarin."Sayang! Kamu masih marah sama aku?" tanya Bara."Kamu gak mikir, Bar? Aku nungguin kamu satu jam, di halte sendirian dan keringetan karena kepanasan. Sedangkan kamu, malah asik dengan Celina."Bara mencoba meraih tangan Nadia kembali, untuk ia genggam. Namun Nadia menyembunyikan tangannya di balik tas punggung yang ia gunakan sekarang. Nadia menggunakan tas punggung hari ini, karena malas menggunakan tas selempang.Bara menghela nafas berat, "Tolong ngertiin aku, Sayang."
"Lo udah baikan sama, pak Bara?" tanya Lala. Bara kan sudah tua, jadi dirinya harus menggunakan embel-embel pak, apalagi Bara tunangan sahabat nya sekarang menjadi CEO perusahaan. Hanya Nadia dan Maya yang tidak sopan kepada yang lebih tua, hanya menyebut Bara dengan namanya saja."Gak sih, sebenernya. Gue hanya gak mau memperburuk keadaan, gue mau fokus skripsi. Gimana lo berdua? Udah di acc sama dosen?"Mereka mengangguk, membuat Nadia melebarkan matanya. Mereka akan wisuda lebih awal dan bersama-sama seperti impian mereka."Tapi gue sedih, yang jadi dosen pembimbing gue bu Nina, yang galak nya minta ampun. Bu Nina ngajar kita akuntansi dua semester dulu.""Sebenarnya bu Nina gak galak. Tapi beliau han
Nadia dengan kedua sahabatnya, tengah berkeliling mall, menikmati masa muda yang sangat menyenangkan. Mereka memakai hoodie persatuan berwarna pink, kesukaan Lala. Ingat! Hanya Lala yang menyukai warna ini, karena tidak ingin membuat Lala bersedih, mereka mengalah. Membuat Lala bersorak gembira dan memeluk Nadia dan Maya. Karena telah berkorban untuknya.“Kita jadi pusat perhatian,” ujar Nadia memperhatikan ke sekelilingnya. Banyak anak muda seumuran mereka yang, memperhatikan mereka secara terang-terangan. Mereka belum tahu saja, Nadia anak orang kaya dan juga dapat membeli mall ini langsung. Namun bukan dengan uangnya. Kan, kartu Bara ada padanya.Nadia tinggal menyodorkan kartu Bara dan membeli mall ini. Bara tidak akan berani marah kepadanya. Sebenarnya, menjadi kekasih Bara ada untungnya. Contohnya sekarang, ia akan menguras tabungan Bara yang
Nadia keluar dari mobil Lala. Setelah berpamitan dengan sahabatnya. Mobil Lala melaju dengan kecepatan penuh. Nadia menenteng banyak belanjaannya. Dengan takut-takut ia memejamkan matanya sambil mengangkat sebelah tangannya, untuk melihat arlojinya. Nadia mengerjapkan matanya kala melihat jam menunjukkan pukul 10 malam.Dengan wajah pucat pasi dan bibir bergetar. Nadia mengambil nafas dalam-dalam berjalan menuju pintu utama rumahnya. Nadia membuka pintu tersebut, senyumannya luntur ketika seorang pria menyilang tangannya di dada duduk dengan tegap di single sofa. Wajah pria itu, terlihat sangat menyeramkan.Nadia melebarkan senyumannya kembali. Pura-pura tidak melihat Bara berada di sana. Pria menyeramkan itu adalah Bara, sedang mengintainya seperti mangsa dari kejauhan.“Duduk!” perintah Bara dengan sua
Nadia menghembuskan nafasnya dengan sangat pelan, ketika memperhatikan dua orang yang tengah turun dari mobil di depan kampus, sedangkan dirinya baru datang di antar oleh sang sopir. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Nadia dan Bara sampai sekarang saling mendiamkan. Tidak ada yang mengalah satu sama lain.“Bukannya itu, Nadia?” tanya Celina melihat Nadia dari kejauhan memperhatikan mereka berdua.Bukan menghampirinya, Bara terlihat acuh memandang ke arahnya. Celina mengerutkan dahinya bingung dengan sikap pasangan tersebut. Namun terbesit di dalam hatinya, untuk memanasi Nadia yang sekarang memperhatikan mereka.“Bar, ada sesuatu di....” celina menjangkau kepala Bara, yang bingung dengan perkataan Celina. Ia sedikit menundukkan ke
"Saya sudah konfirmasi dengan dosen pembimbing 1 dan dosen pembimbing 2, Pak.”Ryan mengangguk. Sekarang mereka tengah memperhatikan para pelaku usaha menengah di lapangan. Mereka terjun langsung ke lapangan untuk mengambil data dan wawancara.“Kamu sudah siap?” tanya Ryan memandang Nadia yang terlihat grogi dan menggigit jari lentiknya, memperhatikan keramaian di depan matanya. Ia hanya khawatir kalau mereka merasa terganggu.“Mereka tidak akan merasa terganggu. Karena ini juga untuk mereka semua. Kita akan membantu keluh kesah mereka. Jadi, jangan khawatir. Mahasiswa tidak boleh lembek dan juga lemah!"Nadia mengangguk dan mengambil nafas dalam. Dengan memakai almamater berwarna hija
Bara langsung meraih tangan Nadia dan menariknya untuk berdiri. Nadia tersentak dan merasa tidak enak dengan dosennya."Bara!" lirih Nadia penuh dengan penekanan."Kenapa? Jadi kamu mau tetap di sini dengan dosen mu, ini?"Nadia ingin membentak Bara. Namun ia memperhatikan ke sekelilingnya. Hampir semua pengunjung restoran memperhatikan perdebatan mereka. Bagaimana tidak, Bara bukan pria sembarangan."Sekarang pulang! Dan untuk Anda, Bapak Ryan yang terhormat. Jangan pernah mencoba mendekati tunangan saya. Karena Nadia hanya milik saya!" tekan Bara menatap tajam Ryan."Sangat indah untuk terlewat kan!"
Nadia menahan dirinya mati-matian agar tidak memuntahkan makanan yang tidak ia suka dari kecil. Bara tersenyum mengelus kepala Nadia dengan sayang. Sembari mengawasi gadisnya.Nadia menggeleng kepalanya tidak kuat, tiba-tiba bayangan itu kembali muncul di benaknya."Bara, gak mau lagi, gak enak," rengek Nadia menatap sang kekasih."Kan belum habis, dikit lagi ya, Sayang?""Gak enak, huek.""Sini aku suapin," ujar Bara. Nadia seperti anak kecil menutup bibirnya dengan kedua tangannya."Satu sendok lagi," final Bara. Membuat Nadia mengangguk dan membuka mulutnya menerima suapan itu. Nadia