Dengan tatapan nanar, Nadia dan Bara masuk ke dalam butik tersebut. Nadia berjongkok memegang alat yang membantu semua kerusuhan ini terjadi. Sebuah tongkat baseball dan beberapa kayu berukuran besar berserakan di mana-mana. Dengan semua karyawan yang menunduk, berkumpul di satu tempat. Siap untuk mendengar introgasi darinya.
“Apa yang terjadi? Via! Jawab pertanyaan saya?!” tanya Nadia menatap salah satu karyawannya itu.
“Maaf, Bu Nadia. Kami sudah menghalangi mereka. Namun mereka tidak bisa dihentikan. Jumlah mereka sangat banyak. Bahkan dua satpam butik, sekarang dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan.”
Nadia melangkah mendekati desain sebuah gaun untuk nyonya Vivi, seharga kisaran puluhan juta telah hancur dengan sobekan di mana-mana. Pandangan Nadia mengabur, tiba-tib
“Hei, Sayang!” teriak Bara, seketika menangkap tubuh Nadia yang lemas dan pingsan di dekapannya.Tidak ada sahutan dari Nadia. Dengan perasaan khawatir dan amarah yang memuncak. Bara langsung menggendong Nadia menuju ke dalam mobilnya.“Bertahan, Sayang. Aku janji, akan membalas mereka sampai ke akar-akarnya!” tegas Bara mengepalkan tangannya.Mobil Bara melaju dengan kecepatan penuh. Menuju rumah sakit terdekat. Wajah Nadia terlihat sangat pucat dengan deru nafas yang lemah. Bara tidak bisa melihat Nadia seperti ini. Ia seperti orang gila, mengusap wajahnya dengan kasar.Sedangkan dua wanita yang melihat hal tersebut dari atas rumahnya tersenyum miring dengan sorakan bahagia.“Rencana kita berha
Bara mengepalkan tangannya dengan menahan emosi menatap Ryan yang hendak masuk ke sana. Ia menghalangi dokter tersebut untuk ikut masuk bersama dengan suster ke dalam ruang inap Nadia.“Saya tidak menerima dokter laki-laki untuk memeperiksa tunangan, saya!” peringkat Bara posesif.“Anda tidak bisa seperti ini, Pak Barata. Nadia pasien saya, dan membutuhkan pertolongan segera. Jangan egois!”“Egois? Saya tahu, anda menyukai tunangan saya. Jangan menolaknya. Saya mengetahuinya dari gerak gerik, Anda. Yang sangat mengagumi tunangan saya.”“Dokter! Pasien butuh untuk segera diperiksa.”Ryan tidak memperdulikan Bar
Ryan masuk ke dalam ruang cctv. Ia segera menyuruh petugas di sana untuk mengeceknya. Samar-samar Ryan dapat melihatnya. Orang yang ia kejar beberapa jam yang lalu, hampir merenggut nyawa Nadia.Ryan semakin yakin. Nadia tidak dalam keadaan baik sekarang. Namun kenapa tunangan Nadia, sangat menyepelekan hal tersebut. Jelas-jelas, ada yang mengincar Nadia."Dokter akan melaporkan nya ke polisi?" tanya petugas itu."Iya, Pak. Ini harus ditindak lanjuti. Karena mempertaruhkan nyawa pasien. Saya tidak ingin, hal ini terulang kembali.""Iya, Pak. Saya setuju. Sekarang banyak manusia yang nekad dan jahat."Ryan tersenyum dan mengangguk.
"Nadia ngak masuk, ya?" tanya Lala."Hem," balas Maya sembari memeriksa proposal nya.Lala mendesah lesu. Mereka akan ke rumah sakit nanti, kalau sudah habis jam kuliah seperti biasanya."Gue mau cerita," ujar Maya."Cerita apa, May?" tanya Lala. Menatap Maya yang tengah menghela nafasnya dan memperhatikan ke sekeliling mereka."Lo ngak merasa ada yang ikut kita?"Lala seketika merinding. Bukan itu maksud Maya. Namun dua perempuan sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka. Maya bisa saja memergoki mereka. Namun ia terlalu malas untuk melakukannya. Hanya membuang waktu nya saja.
Nadia memperhatikan pak Ryan yang tengah memeriksannya. Tidak ada sapaan maupun sekedar senda gurau seperti biasanya. Ada apa dengan pak Ryan? Pasti ini ulah tunangannya. Yang telah mengancam pak Ryan. Kasihan pak Ryan.“Aman, Pak,” ujar Nadia. Membuat Ryan menatapnya dengan intens. Seakan mempertanyakan apa yang Nadia maksud.“Ya... maksud saya. Tunangan saya tidak ada di sini. Bapak jangan takut untuk bertanya kepada saya.”“Dia kemana?” tanya Ryan.“Tuh kan, kepo. Dari tadi Bapak menahan diri untuk bertanya, kan? Sudah saya duga.”“Bersikap sopanlah kepada....”
Hari ini adalah hari kepulangan Nadia. Mereka telah berkemas, Nadia dirangkul oleh tunangannya keluar dari rumah sakit itu.“Bar! Karena aku sudah sembuh, kita merayakan dengan makan-makan, ya?” pinta Nadia memelas dengan bola mata yang berkedip seperti boneka.“Kamu seperti tadi, mirip seperti boneka Annabelle,” ujar Bara, membuat mata Nadia melotot hampir keluar. Cantik seperti ini, dikira boneka Annabelle. Bukannya itu jenis boneka yang terkenal itu, ya? Di film-film, Nadia pernah mendengarnya.Bara menarik Nadia masuk ke dalam mobil, karena tengah asyik melamun. Bara menutup pintu menyusul Nadia masuk ke kursi pengemudi.“Kenapa, hem? Kamu beneran mirip.”
"Gue mau negoisasi sama lo."Gadis yang duduk di depannya, menatapnya dengan intens tanpa bersuara."Gue mau lo nyerahin rekaman itu, ke kita. Dan gue akan kasih lo tiga permintaan. Apapun itu gue akan ngabulin.""Lo berurusan dengan orang yang salah."Marisa mengebrak meja, membuat perhatian orang di cafe itu teralihkan kepada mereka."Walaupun lo rusak. Itu ngak akan menghasilkan apapun.""Jangan main-main sama gue! Terus apa niatan lo ketemu sama gue, di sini?""Gue hanya mau lihat wajah lo, senior."
Nadia berjalan sendirian di kampus menuju perpustakaan. Hari ini, ia mencoba menghindar kedua sahabat nya. Karena ia tidak ingin secara terang-terangan menghindari salah satu dari mereka.Banyak mahasiswi kenalannya di organisasi, menyapanya di lorong kampus. Nadia membalas senyuman mereka apa adanya. Mereka tidak banyak bertanya. Karena melihat raut wajah Nadia yang tidak mood hari ini."Nadia!" teriak Lala melangkah ke arahnya. Nadia tidak menengok ke belakang. Ia mempercepat langkahnya menuju ke perpustakaan."Woy, Nad! Lo kok ngak nungguin kita?!" ujar Lala masih setengah berteriak.Nadia menghela nafas. Ia mendengarnya. Namun seakan tidak memperdulikan Lala.N