Di ujung sana, Bara tengah duduk di atas kursi. Tepatnya di atas panggung sebari memegang gitar. Sedangkan Nadia bersama dengan kedua sahabat nya menemaninya di meja paling depan. Mereka berada di sebuah restoran milik keluarga Mahendra yang terlihat sangat ramai.
Maya dan Lala tersenyum melihat Bara yang sangat romantis di atas sana. Mata Bara tidak terlepas dari Nadia sedari tadi. Mereka saling memandang begitu dalam. Menyalurkan segala kerinduan di lubuk hatinya.
Kenapa takdir mereka begitu menyakitkan. Musibah selalu berdatangan tanpa henti. Namun Bara bersyukur masih diberikan kesempatan untuk merawat gadisnya. Mencium aroma tubuhnya dan memandangnya setiap hari.
"Selamat malam. Di sini saya akan menyampaikan sebuah lagu untuk perempuan yang paling berarti dalam hidup s
"Maaf, Sayang. Aku ngak bisa antar kamu. Celina lagi sakit." "Aku janji akan barubah dan jahuin Celina." "Maaf, Sayang. Aku salah." "Dia lagi sakit, Sayang." "Mama sudah ngak ada, Nadia. Ikhlaskan." "Ma! Nadia rindu masakan, Mama." "Ini bukan tempat kamu, Nak." "Mama dan kakek tidak akan basah karena hujan, Sayang." "Mereka bersama Tuhan!" "Ma, Nadia rindu."
“Tuan muda!” mereka segera menunduk dengan sangat sopan. Bara menatap mereka dengan wajah datar tanpa minat. “Nona Nadia tengah berada di dalam kamar mandi.” Bara menghela nafas pelan dan mengangguk. Tidak mungkin dirinya di sini. Bara kira, Nadia belum bangun dan masih menutup mata. Ternyata Nadia sedang bersiap-siap. “Saya tunggu 15 menit!” tegas Bara. Mereka bertiga langsung mengangguk. Setelahnya Bara keluar dari kamar Nadia. Ketiga gadis itu bernafas lega. Kedua temannya menatap tajam Yuriko. "Ini semua gara-gara dirimu, Yuriko. Hampir pekerjaan kita hilang begitu saja. Tuan muda bukan pria sembarangan. Jangan pernah mencari masal
Bara mengembangkan senyumannya setiap hari. Setelah Nadia menerima lamarannya. Bara semakin semangat bekerja dan juga mencari nafkah untuk calon istrinya nanti.“Ada apa denganmu, Bara?” tanya mamanya menatap aneh putranya itu. Rani jadi bergidik ngeri melihatnya, bagaimana tidak terlihat aneh. Bara tersenyum sepanjang hari tanpa henti. Memangnya wajah itu tidak ngilu apa?Bara mengunyah roti yang telah disediakan. Hari ini ia akan pergi ke kantor dan tidak akan menyusahkan papanya kembali.“Mama sudah tahu jawabannya.” Bara kembali tersenyum.“Iya-iya, masalah lamaran yang diterima itu, kan? Mama juga tidak sabar menantikan Nadia menjadi menantu Mama.”
Anna membawa kotak berukuran besar di tangannya ke dalam kamar Nadia. Gadis itu meletakkannya di atas ranjang dengan sangat hati-hati.Nadia menautkan alisnya, seakan bertanya kepada Anna. Dari siapa paket tersebut?“Nona Nadia, ini paket dari tuan muda.” Anna menyodorkan kartu ucapan kepada Nadia. Gadis itu melepaskan bukunya dan mengambilnya.Perlahan Nadia membukannya dan membaca isi dari kartu ucapan itu. Nadia menghela nafas lelah. Permintaan maaf dari Bara karena pagi ini tidak dapat berkunjung. Disebabkan Bara telah mulai sibuk bekerja.Nanti siang Bara akan berkunjung dan membawakannya makanan kesukaan Nadia.Nadia menatap Anna, me
Siang menjelang. Bara menempatkan janjinya akan datang hari ini. Benar dugaan Nadia, Bara dengan sangat lebay bin alay membawa dua kresek besar berisi makanan kesukaan Nadia."Banyak sekali." Kinara membantu Bara membawanya ke atas meja makan.Bara tersenyum dan mengangguk, "Iya, Nek. Bara mau Nadia gemuk seperti dulu."Nadia menatap Bara tajam, membuat Bara kelimpungan karena bisa bahaya kalau Nadia marah.Bara segera menghampiri Nadia yang terlihat merajuk dan kesal kepadanya."Sayang, bukan seperti itu maksudku."Nadia enggan sekedar menatapnya kembali.
Bara menautkan alisnya bingung ketika melihat raut wajah Nadia yang terlihat suram dan menahan emosi.Dress yang Nadia pakai juga warna coklat. Tidak warna biru muda yang ia pinta barusan.Bara berjongkok dan menangkup wajah Nadia dengan kedua tangan kekar pria itu."Kenapa, hem?" tanya Bara.Nadia menghela nafas pelan dan menggelengkan kepalanya."Ini kok warna dress kamu warnanya beda?" tanya Bara meneliti penampilan Nadia. Gadisnya juga tidak memakai make-up seperti biasanya.Karena melihat raut wajah Nadia yang terlihat berbeda. Akhirnya Bara memilih tidak ingin banyak bertanya.
Deburan ombak terdengar indah di telinga keduanya. Bara menghela nafas pelan dan mengusap kepala bagian belakang gadisnya. Rambut indah berwarna hitam pekat itu terlihat indah tergerai diterpa angin pantai.Pantai yang mereka sering kunjungi dahulu. Ketika kejadian naas itu belum terjadi."Kamu masih ingat semua kenangan indah kita di pantai ini, Sayang?"Nadia menoleh ke arah Bara yang berada di belakangnya. Nadia mengangguk sembari mengelus tangan kekar kekasihnya."Kita sekarang jalan-jalan dari ujung sana sampai ke ujung sana." Bara menunjuk pesisir pantai dari arah barat dan timur.Bara menunduk, meminta persetujuan Nadia. Gadis itu mengangguk da
Bara mengangkat sebelah alisnya bingung dengan tingkah sahabatnya yang satu ini. Sedari tadi Candra bergerak gelisah dan tidak berani menatapnya sama sekali."Lo kenapa?" tanya Bara. Mereka berada di rumah Bara sekarang. Jadi bahasa formal tidak digunakan biasanya.Dengan ragu Candra mengangkat kepalanya dan mendongak menatap Bara."Gue hanya mau pinjem kok, Bar. Kalau lecet gue akan ganti biaya administrasi nya."Bara semakin bingung dengan penuturan Candra. Maksudnya apa coba? mau membiayai administrasi, namun benda yang dimaksud tidak disebutkan."Langsung sebutin, Can. Nggak usah membuang waktu gue!"