Aku melangkah memasuki ruang kerja, mataku tertuju ke satu buket bunga yang ada di atas meja. Siapa pula yang menaruh bunga di atas meja aku. Mungkin ini salah alamat. Kuraih buket bunga tersebut Lalu kuperhatikan baik-baik. Sebuah kertas terselip bertuliskan kan "just for you Aliyah." ini benar-benar untukku rupanya. Siapa gerangan yang mengirim mengirim bunga pagi-pagi seperti ini. Ada-ada saja. Apa mungkin ada yang mengerjai ku? Ah sudahlah buat apa terlalu dipikirkan. Seharian ini otakku penuh tanda tanya siapakah gerangan orang yang mengirimkan bunga ke mejaku sebelum Aku datang. Aku beusaha buat membuang rasa penasaran kepada pengirimnya, tapi tidak bisa. Dalam benakku bertanya-tanya apa tujuannya? Apakah seseorang tersebut ingin mengusikku? Atau mungkin hanya sekedar iseng saja. Disamping itu juga pikiranku mengarah ke pertengkaran kepada Habib dan Bilna kemarin. Habib terang-terangan meremehkanku. Lelaki itu akan di buat terkejut setengah mati bila m
Pagi-pagi sekali, samar-samar kudengar seseorang sedang berbicara di samping rumah. Ku melangkah mendekati asal suara itu. Bilna yang ternyata sedang berbicara dengan seseorang di seberang telepon. "Iya, Ma. Mas Habib sangat percaya kalau janin dalam perutku ini anaknya. Hihihi. Ide Ibu memang bagus. Jempol deh buat Ibuku yang tersayang ini. Ibunya Mas Habib juga sangat menyayangiku. Kata Mas Habib, nanti dia akan membelikan rumah baru untuk kami. Kabar baiknya Ma, dia akan menceraikan Aliyah. Iiih pokoknya Aku beruntung sekali dinikahi oleh Habib, Ma." Bilna cekikikan sendiri. Aku berdiri tepat di belakangnya. Bilna tidak menyadari keberadaanku. Dia asyik mengobrol dengan Ibunya di seberang telepon. "Mas Habib tidak curiga sedikitpun terhadap anak yang sedang kuhamili ini. Ini, Ma. Waktu itu Bilna berhasil memanfaatkan Galang untuk mewujudkan keinginan Bilna. Hasilnya tidak lama kemudian, Bilna benar-benar hamil. Habib senang sekali mendengar berita kehamilan say
"Bilnaaa, kemari kamu...!" Bilna yang sedang duduk-duduk santai di teras samping sambil menaikkan kakinya ke atas meja, menoleh ke arahku. Kelihatannya wanita itu sudah mandi dan sudah berdandan cantik. "Ada apa sih Mbak? Enggak perlu teriak-teriak juga kali." Dengan jutek Bilna menjawab. Aku mendekatinya. "Apa yang kamu lakukan di sini, pekerjaanmu di belakang belum selesai. Tuh piring-piring buruan dicuci." "Aku masih capek, Mbak. Masa aku harus mencuci piring. Aku tidak cocok menjadi tukang cuci piring. Emang Mbak pikir saya ini pembantu apa? Malas saya Mbak saya capek.! "Capek katamu, mukamu kelihatan begitu segar. Bilna, saya memberitahumu bahwa pekerjaanmu di sini bukan hanya bersolek ria. Ini bukan rumahmu. Kamu harus menuruti apa yang aku katakan. Cepat kebelakang Saya tidak mau lagi melihat piring-piring kotor. Setelah itu meja makan dibersihkan." "Terus makan malam nanti bagaimana, Mbak? Apakah harus memakai uang kami lagi untuk memesann
"Bilna, aku mau berangkat kerja, sepulang dari kerja nanti aku tidak mau melihat rumah ini berantakan. Tolong kamu kerjakan tugas mu dengan baik. Bersihkan setiap sudut rumahku dengan bersih." "Berisik sekali Mbak Aliyah ini. Aku sudah capek menuruti semua kata-kata mbak. Aku malas, kalau mbak mau melihat rumah bersih, bersihkan sendiri. Jangan hanya bisa menyuruh-nyuruh Aku saja." "Kalau kamu tidak mau, silakan pergi. Pergi saja ke rumah mertuamu." "Oke nanti akan ku ajak mas Habib pergi pindah ke rumah ibu. Biar kamu tahu rasa ditinggal suami." "Ajak saja sekarang. Jangan tunggu nanti." Kembali lagi kami berdebat. Bilna tidak boleh berdiam diri saja di rumahku. Mimpi apa dia sudah numpang mau berleha-leha. Mendengar jawabanku tadi bilna berlalu dengan muka manyun. Mungkin dia menolak untuk menuruti semua perintahku. Tapi dia tidak punya pilihan lain kalau masih mau tinggal bersama Habib di rumah ini. Aku tidak mungkin membebaskannya dari semua pe
"Assalamualaikum" Kulirik arah pintu, rupanya sang ibu mertua yang datang. "Waalaikumsalam. Lah ada Ibu, sini mari masuk, Bu." Bilna menghambur memeluk Ibu mertua. Ih lebay nya. "Ibu apa kabar? Bilna sudah sangat rindu. Kenapa Ibu kok jarang main kemari?" Bilna menggandeng tangan ibu. Sambil matanya melirik ke arahku. Dia pikir aku akan iri melihat kebersamaan mereka, tidak Bilna. "Iya Ibu juga sangat merindukan kalian apa kabarnya si calon cucu ibu sehat-sehat saja kan?" Sambil tangan ibu mengelus perut Bilna. Mendengar pertanyaan ini Bilna melirik ke arahku, santai sajalah. Aku tidak akan membuka rahasiamu sekarang Bilna. Ini belum saatnya dan lagi pula perceraian dengan Habib belum resmi. Aku tidak mau rencana perceraian ini bubar hanya karena gara-gara Habib mengetahui kenyataan bahwa dia yang mandul, bukan Aku. Karena jika dia tahu bahwa janin didalam perut Bunda bukan anaknya kemungkinan besar dia akan meninggalkan wanita tersebut
Kubawa lembaran surat cerai yang harus ditandatangani oleh Habib. Kudatangi ke rumah perempuan yang sedikit lagi akan menjadi mantan mertua. Sedikit lagi ikatan kami akan terpisah secara resmi. Kuharap nanti tidak ada perlawanan yang berarti. Sesampainya di rumah ibu mertua, aku pencet bel. Ting...tong....! Seorang satpam membukakan pintu gerbang. Dan menyuruhku untuk masuk karena beliau telah mengenaliku sejak dulu. Sebab itu segera memanggil si tuan rumah. Tidak lama kemudian keluarlah si ibu mertua. Dari pandangannya sudah jelas-jelas dia membenciku. Tidak mengapa, tidak masalah juga. "Mengapa engkau kemari? Apa mau mencari Habib? Atau mau mengemis minta balikan sama anakku. Oh kamu baru sadar ya Kalau anakku begitu berarti. Kamu pasti sudah menyesal telah mengusir kami mentah-mentah." Pede sekali wanita paruh baya ini. Siapa juga yang mau minta balikan. Melihatnya saja sudah mampu membuat perutku mules, apalagi kalau harus kembali menjadi i
Setelah para benalu telah enyah, maka aku kembali mengambil seorang asisten rumah tangga. Walaupun hidup seorang diri tapi masih sanggup untuk sekedar membayar seorang pembantu. Tentu saja aku tidak akan memperlakukan asistenku semena-mena seperti Bilna. Aku membutuhkan asisten rumah tangga, karena harus menekuni pekerjaan. Sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurus rumah. Tingg.....! Sebuah noifikasi muncul di layar ponselku menandakan adanya pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau. Ada empat pesan masuk dari nomor yang sama. Ku cek ternyata dari sang mantan suami, si Habib. "Kamu pasti menyesal telah mau bercerai denganku, Aliyah." "Kamu akan merasakan kesepian, karena kamu hidup seorang diri." "Lagian kalau kau mau menikah lagipun, tidak akan ada yang mau menikahi perempuan yang punya rahim kering kerontang tidak punya benih keturunan sepertimu. Hahahaaa, sedangkan aku, sedikit lagi akan memiliki baby dari istriku. Sedangkan kamu akan m
Ting... Tong.....! Bel rumahku berbunyi. Bi Yah, asisten rumah datang menemuiku yang sedang sibuk mengurus berkas yang harus ku periksa dengan hati-hati. "Nyonya ada tamu perempuan yang datang." "Baik, suruh dia masuk saja, Bik. Nanti ku temui dia di ruang tamu.!" "Baik, Nyonya." Aku melangkah menuju ke ruang tamu. Siapa gerangan yang datang kerumahku di sore hari seperti ini. Uuph... Ketika kulihat dari daun pintu, ternyata yang datang bertamu adalah Bu Naura. Ibu tiriku sekaligus ibunya Bilna. Ada apa gerangan dia datang kemari. Aku harus awas. Soalnya dia bukan orang yang berhati baik. Harus hati-hati. Kembali ku melangkah ke ruang kerja, ku ambil sebuah alat perekam suara. Kunyalakan dan kuselip di saku atasan tunik yang tengah ku pakai saat ini. "Ternyata Ibu yang datang." Aku duduk di sofa tepat di depan Bu Naura. Bu Naura teesenyum. Tapi senyum itu, bukanlah menggambarkan senyuman yang tulus. Entah ada maksud apa yang terselip di a