Share

Bab 6: Gelora Cinta Sang Berondong

Bab 6: Xavier yang Normal

Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut yang memutih di kedua pelipis itu berdiri di balkon apartemennya. Tatapannya memendar ke seluruh penjuru kota Swiss. Bahunya masih tegap, meski raut wajahnya mulai dihiasi kerutan halus. 

“Suamiku,” panggil sang istri. Wanita cantik berusia tiga belas tahun lebih muda dari suaminya datang dengan nampan di tangan. Secangkir teh masih mengepulkan asap. Sepiring kukis terlihat menggoda selera. 

Lelaki itu menoleh saat mendengar derap langkah istrinya semakin dekat, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kekasihnya. Dua puluh satu tahun kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun dirinya merasa menyesal telah menikahi istrinya. 

“Queen, istriku.” 

“Langitnya indah, Sayang.” Queen ikut menatap langit jingga. Balkon tempatnya dan Gabriel menghabiskan sore selama di Swiss kini menjadi tempat favorit baru bagi wanita itu. 

“Kamu lebih indah, Queen.”

“Jangan memujiku. Usia kita tidak lagi pantas untuk saling merayu, Sayang.” Queen tersenyum. Meski sudah puluhan tahun bersama, tetap saja dirinya merasakan getaran jika Gabriel menyematkan pujian untuknya. Sepertinya, masih cinta tidak lagi pantas untuk mengibaratkan perasaan Queen pada Gabriel. Bahkan, pujangga saja akan kehabisan prosa untuk menggambarkan kisah kedua insan itu. 

“Aku tidak memuji, Sayang. Bahkan Naila tidak bisa mengalahkan indahmu,” puji Gabriel lagi. Kedua mata Gabriel berbinar saat melihat Queen yang berdiri di sebelahnya. 

Dress simpel berwarna karamel serta syal tebal yang melindungi tubuhnya membuat Queen terlihat semakin menawan. Rambut wanita itu ter sanggul, memamerkan lehernya yang jenjang berhias kalung kecil dengan liontin dari berlian. 

Lagi-lagi Gabriel berdebar. Rasanya seperti saat pertama kali dia melihat Queen di mal. Saat istrinya masih gadis, dan senang mengomel itu. 

Sekelebat kenangan di masa lalu bermunculan di benak Gabriel. Keluarga Halim yang utuh, meski dipenuhi berbagai konflik di dalamnya membuat Gabriel merasakan rindu. Sangat rindu, hingga seakan hari-harinya telah membeku. 

Tidak ada lagi Ketua Halim yang selama ini memberinya petunjuk. Tidak ada Jey, yang selalu membuatnya kerepotan karena semua permasalahan yang dibawa lelaki itu. 

Tidak pula Wahyu yang sudah menikahi Ayunda dan memilik putri nakal yang diberi nama Hilda. Begitu juga Bagas dan Moly, yang memutuskan menemani Mamanya di hari tua dan menetap di Villa.

“Sayang?” Queen seakan memahami apa yang ada di benak suaminya kini. Dengan sentuhan lembut, Queen meraih tangan hangat suaminya. Mendekap erat di antara kedua tangannya sembari menikmati hangat dari tubuh Gabriel. 

“Rindu pada Papa dan Jey?” 

“Kamu benar-benar memahamiku, Sayang. Apa kabar Jey sekarang, ya? Apa Papa juga bahagia di sana?” Gabriel mengangkat sedikit wajahnya, kedua manik matanya yang basah tidak ingin dia tunjukkan pada istrinya. 

“Aku yakin papa bahagia, Sayang. Tapi entah soal Jey, tidak ada kabar darinya sampai hari ini. Kadang, aku berpikir jika Jey membenci kita dan tidak ingin kembali ke rumah.” Queen berucap dengan nafas yang berat. Terasa jelas pada wanita itu, rasa sedih yang ada di benak Gabriel. Semakin tua umur pernikahannya, semakin Queen merasa jika keduanya telah menyatu, jiwa dan raga. 

“Bahkan berita soal kemunculan Jey di pemakaman Papa juga tidak bisa dibuktikan. Suamiku juga sudah berusaha, berpindah dari satu negara ke negara lain demi mencari jejak Jey dan istrinya,” lanjut Queen. 

“Oh iya, apa kamu menghubungi Naila dan Adrian, Sayang?” Gabriel berusaha mengalihkan pembicaraan dengan senyuman. Terlalu berat untuk lelaki itu jika harus membicarakan Jey dan Papanya. Kedua orang terdekatnya yang berseteru dan akhirnya saling berjauhan. Gabriel tidak ingin jika Queen melihatnya bersedih. 

Queen mengangguk meski sebenarnya dia tahu jika Gabriel berusaha mengalihkan pembicaraan. “Naila putus lagi, dan Adrian membawa temannya yang nakal ke rumah. Itu membuat Naila marah-marah seharian,” kisah Queen. 

“Astaga, semua dosa-dosaku di masa lalu ditanggung oleh Naila.”

“Jangan bilang begitu, Sayang. Naila hanya harus belajar mengendalikan emosinya. Adrian juga harus berhenti mengejek Naila. Sepertinya, ini salahku, aku kurang baik dalam mendidik kedua anak-anak kita.” 

“Tidak, Istriku. Semua salahku di masa lalu. Biar aku mengatur perjodohan dengan Naila, salah satu kolegaku punya anak lelaki yang baru saja menyelesaikan studi magisternya di Inggris,” jelas Gabriel. 

Sontak ide yang baru saja terlintas di kepala Gabriel mendapat penolakan dari Queen, “Tidak, aku tidak setuju. Biarkan Naila belajar cara menghargai orang lain, Sayang. Jangan memaksanya lagi, hingga akhirnya membuat Naila jadi semakin keras.”

Mendengar permintaan yang konsisten dari Queen, Gabriel hanya bisa menghela nafas, “Hah, mirip siapa putriku itu, ya?” 

“Siapa lagi? Mirip papanya kalau lagi bete saat muda dulu,” jawab Queen yang mengundang senyum di wajah Gabriel. 

--

“Aku tidak perduli, Adrian. Pokoknya, kita harus magang di perusahaan yang sama. Kamu tega, kalo aku digoda sama Om-Om di kantor nanti? Ih, ngeri tahu,” seru Hilda sembari menggigit apel dari kulkas. 

Hilda mengambil tempat di salah satu kursi yang mengelilingi meja lalu melanjutkan gigitan kedua. Sudah berjam-jam Hilda di sana, enggan pulang dengan alasan kesepian. Ayunda, Mama dari Hilda menemani suaminya ke luar kota untuk menyelesaikan perjanjian kerjasama mewakili perusahaan Neils. Membuat Hilda menjadi pemilik tunggal dari rumah mewah di komplek yang sama dengan rumah keluarga Halim. 

“Papa sudah memutuskan agar aku magang di perusahaan Papa, Hild. Apa kamu ingin magang di Halim juga? Mamamu yang cerewet itu pasti sudah menyiapkan posisi untukmu di perusahaan Neils.” 

Hilda meletakkan kembali apel di tangannya, “Aku tidak perduli, Adrian. Kita harus magang di kantor yang sama. Jika tidak bisa di kantor Mama, maka aku akan ikut ke Halim.” 

Adrian yang sedari tadi didesak Hilda hanya bisa menurut. Percuma berdebat dengan Hilda, jika Naila ada di urutan pertama soal keras kepala, maka setelahnya itu diisi oleh Hilda. 

“Apa kalian selalu seperti ini? Apa anak-anak orang kaya seperti kalian selalu berdebat soal perusahaan? Memamerkan kekuasaan dan uang?” Xavier yang menyimak mulai bersuara. Hampir satu jam lamanya Hilda merengek hal yang sama. Bahkan Adrian tidak sempat menemani Xavier mengobrol meski barang sebentar. 

Hilda yang mendengar suara berat dari Xavier menoleh. “Jadi, kamu temannya Adrian? Apa kamu ada di golongan mahasiswa kutu buku? Atau ....”

“Tidak! Aku hanya mahasiswa normal,” jawab Xavier cepat. 

“Ish, lalu siapa mahasiswa yang tidak normal?” 

“Kalian berdua!” balas Xavier enteng sembari melirik Hilda dan Adrian bergantian. 

“Sembarangan!” sahut Adrian dan Hilda serentak. Keduanya mendelik ke arah Xavier. 

“Wuo ... santai Prince dan Princess. Tatapan kalian itu bisa membuat mahasiswa normal sepertiku terbakar.”

“Dasar aneh. Temanmu aneh semua, Adrian.” Hilda menunjuk Adrian dengan wajah mengerut. 

“Jangan mengejek temanku, Hild. Temanmu lebih aneh. Dia menolak berkenalan denganku saat kita tidak sengaja bertemu di mall, lalu mendekatiku dengan agresif setelah tahu aku putra dari Presdir Gabriel.” Adrian membalas. Keduanya kembali terlibat perseteruan dengit yang membuat Xavier memilih mengemut jeruk dengan satu suapan besar. 

“Naila ke mana?” 

“Kak Naila?” Kening Hilda mengerut saat mendengar Xavier menanyakan gadis arogan itu. 

“Kenapa mencariku, Bocah Nakal?” 

Xavier segera mengalihkan pandangannya saat mendengar suara dari Naila. Gadis yang sedari tadi ingin dia lihat telah berdiri dekat dengan meja makan tempat ketiganya berada. 

Penampilan Naila yang terlihat berbeda membuat Xavier menyoroti seluruh tubuh Naila. Jeans hitam yang membentuk lekuk tubuh, serta blus pendek sebatas pinggang membuat gadis itu terlihat sangat menawan. Belum lagi rambut Naila yang tergerai bebas, dengan ujung rambut yang sedikit curly serta riasan yang terlihat segar. 

Xavier bangun dari duduknya saat melihat kejanggalan dari penampilan Naila. Lelaki itu meraih jaketnya yang tersampir di lengan kursi dan membawanya serta menemui Naila. 

Tanpa permisi, Xavier menunduk. Kedua lengan jaketnya Xavier simpul dengan kuat di pinggang Naila, membuat Naila berjengit kaget dan mendorong Xavier dengan keras. 

“Apa-apaan ini, hah?” Suara Naila melengking tinggi. Hilda dan Adrian yang ada di sana ikut tersiksa dengan jeritan dari Naila. 

“Jangan keluar rumah dengan jeans super ketat dan baju pendek begitu. Tubuh bawahmu jadi tontonan gratis bagi laki-laki,” jelas Xavier lalu kembali ke meja makan. Meninggalkan Naila dengan ekspresi melongo tidak percaya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status