“Ayo!” ajak Adrian.
“Tidak! Aku masih kenyang. Kalian duluan saja,” tolak Xavier.
“Kenyang? Makan apa? Angin?” Adrian sedikit merunduk dengan wajah menengadah. Adrian berusaha membaca kejujuran Xavier melalui tatapan mata lelaki itu.
Adrian sedikit banyak mengenal Xavier. Entah kenapa, Xavier begitu lihai dalam menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya.
Ditatapi begitu, Xavier menghindar dengan menoleh, “Jalan, Adrian. Kakakmu bisa mengomel lagi.”
“Yakin? Atau mau aku bungkusin?”
“Aku cukup kenyang, thanks!” Lagi-lagi Xavier menolak dengan halus.
Adrian sedikit mengernyitkan dahi, seakan menemukan celah kebohongan dari jawaban Xavier. Dengan terpaksa, Adrian berhenti bertanya dan memaksa Xavier.
Bagi Adrian, meski keduanya berteman, tetap saja Xavier punya privasi yang tidak bisa dia langgar.
“Oke
Bab 11: Informasi yang Berharga dari Adrian“Kalian sudah kembali?” sambut Queen pada Naila dan Adrian yang baru saja kembali dari kantor.Wajah wanita itu tersenyum lebih lebar setelah melihat kehadiran Gabriel di belakang Naila dan Adrian. Wajah rupawan gabriel yang tidak dimakan usia meski rambutnya mulai memutih di kedua pelipis tidak melunturkan cinta Queen pada Gabriel. Bahkan, Naila dan Adrian kerap kali merasa cemburu dengan kasih sayang berlebihan yang ditunjukkan Queen pada Gabriel.“Terima kasih atas kerja kerasnya, Sayang,” ucap Queen sembari menghampiri Gabriel. Tas kantor Gabriel telah berpindah pada Queen dari tangan supir pribadi lelaki kaya itu.Melihat perhatian Queen pada Gabriel, Adrian yang diliputi cemburu menyikut Naila dan berdehem pelan. “Nyamuk, Kak. Ayo pergi dari sini, aku capek kalau harus jadi nyamuk terus.”“Makanya jangan ngejomblo terus, Adrian. Percuma kamu mewarisi gen keluarga Halim kalau c
Bab 12: Rasa Sakit dari Masa Lalu“Berondong?”Queen memicingkan mata setelah mendengar ucapan ambigu dari Adrian. Seumur hidupnya, belum pernah dirinya mendengar kata “brondong” disandingkan dengan Naila. “Mama ingat Xavier?” Adrian masih bermain teka-teki dengan Queen. Lelaki muda itu semakin bersemangat setelah melihat perubahan raut wajah dari Mamanya. Queen ingin sekali memberondong putranya dengan berbagai pertanyaan yang bermunculan di benaknya. Namun Adrian hanya tersenyum saat melihat raut wajah penasaran dari Queen, tanpa berniat bercerita lebih jauh. “Xavier? Temanmu dari kampus itu? Bukankah kalian magang bersama di kantor Papa? Lalu apa hubungannya dengan Kak Naila?” “Eits, Mama sabar dulu. Xavier anak yang baik, mah. Percaya deh sama Adrian,” ucap Adrian.Queen mendelik dengan ekor mata. Penjelasan ambigue dari Adrian membuat Queen bertambah penasaran. Ingin sekali dia memberondong Adrian dengan berbagai pertanyaan yang lebih dalam. Namun, niatnya terurung saat menda
Bab 13: Terungkapnya Kisah dari Masa LaluXavier duduk dengan posisi bersedekap, menatap kosong melalui jendela kosannya pada langit nan gelap di luar sana. Cahaya remang dari sinar rembulanlah yang menjadi satu-satunya penerangan untuk Xavier, serta perasaan bersalahnya pada Aira dan Jey.Xavier menurunkan kedua kaki perlahan demi menghindari bunyi berderit dari kursi tua yang dia duduki. Perasaannya yang hampa berubah sakit saat melihat bibinya Aira, terlelap di ranjang lapuk miliknya.“Mereka tidur di kasur mahal dengan ranjang berukir, Bi. Kenapa hanya Bibi dan Paman yang bernasib seperti ini?” gumam Xavier tanpa mengalihkan tatapannya pada Aira dan Jey.Kkrrieet!Xavier segera berbalik saat melihat Jey bangun dari tidur. Pria berusia empat puluh tujuh tahun itu mengusap wajahnya yang masih dikuasai kantuk yang hebat. Lalu meluruskan kedua kakinya yang keram karena tidur di ranjang pendek yang tidak sesuai dengan tinggi t
Bab 14: Amarah NailaNaila duduk dengan kaki tersilang di kursi putar yang diperuntukkan oleh perusahaan khusus untuknya. Raut wajah Naila terus mengernyit, tangannya terkepal dan tatapannya lurus ke satu arah.Satu kaki Naila yang menggantung bergoyang-goyang, menandakan pemiliknya sedang kebingungan.Naila mengepalkan tangan lebih keras hingga menghentikan aliran darah di balik kulitnya yang seputih salju. Kini, tatapan Naila jatuh pada Dian yang berdiri tegak dengan kedua tangan berpangku di depan tubuhnya.“Kenapa bocah-bocah ini ada di kantorku, Dian?”Dian sedikit tersentak saat menerima pertanyaan yang seharusnya sudah bisa dia prediksi. Dian membenarkan letak kacamata tebal yang sedikit turun dengan telunjuk, sedangkan pikirannya sibuk mengembara, mencari kombinasi jawaban terbaik agar atasannya puas.Naila menatap bergantian pada tiga meja yang berderet di sisi kiri kantornya yang luas. Tiap-tiap meja telah dihu
Bab 15: Pemuda Penggoda“Aku tidak memintamu memandang rendah orang lain seperti ini, Putriku!” ucap Gabriel tepat di hadapan Naila.Gabriel menautkan tatapannya pada kedua manik mata Naila. Rasa kecewa yang terlukis di bola mata Gabriel membuat Naila meneguk salivanya.“Pa? Aku tidak memandang rendah!” Gadis itu mengajukan pembelaan.“Kamu memang memandang rendah pada mereka, Naila!” Gabriel membalas Naila dengan suara yang tinggi. Naila tersentak begitu melihat balasan jawaban dari Gabriel. Tercetak jelas di wajah lelaki itu, jika kekecewaan dan rasa marah telah memenuhi jiwanya. “Adrian adikmu, Hilda juga sepupumu sendiri. Lalu siapa yang membuatmu merasa terganggu? Xavier? Anak itu? Apa aku dan mamamu pernah mengajarkanmu untuk bersikap sombong seperti ini?” Gabriel melanjutkan kalimatnya. Naila tidak menyangka akan mendapat respon seperti ini dari Gabriel. Puluhan tahun hidup seba
Bab 16: Egoisnya Naila Pemuda itu mengingat jelas perjanjian yang dia ikrarkan dengan Naila sebelum menjatuhkan pilihan untuk mengikuti keinginan gadis itu. Namun saat ini dia begitu menyesali keputusan yang dia buat, meski awalnya dengan niat untuk membahagiakan gadis itu.Xavier menatap hampa pada butik megah yang didominasi warna kuning yang merupakan efek dari lampu di sana. Sudah hampir seharian dia ikut berkeliling menemani Naila. Tidak sedikit pun juga ada rasa senang yang terlintas di benaknya.Bagi pemuda itu, bolos bukanlah belanja seharian. Bolos bukanlah bermain dengan menggesek kartu kredit di mesin EDC hingga limitnya habis. Bolos juga bukan soal berkeliling di mall lalu keluar masuk toko-toko mahal yang harga satu barangnya saja cukup untuk mengisi perut Xavier selama sebulan.Xavier menempati sofa bundar yang nyaman di salah satu sudut ruangan. Bosan menunggui Naila yang begitu sibuk berganti-ganti pakai
Bab 17: Moment Pertama“Sayang ... aku sudah membeli semua kebutuhanmu dari butik, termasuk lingerie merah yang kamu inginkan. Bukankah sudah waktunya untuk pulang? Aku sudah lapar, dan aku ingin segera memakan dirimu, malam ini,” ujar Xavier dengan suara yang sedikit menggoda.Naila menatap Xavier dengan tatapan yang menghunus tajam. Baru saja dia dipertemukan kembali dengan seniornya dulu di kampus, tapi saat ini dirinya seperti ditelanjangi oleh Xavier dengan ucapan mesum yang dilontarkan pemuda itu.“Siapa dia, Nail?” Pria blasteran yang melihat kekagetan di wajah Naila segera membuka suara. “Aku ....”“Adikku, Bram!” Naila siaga memotong sebelum Xavier kembali melayangkan ucapan yang lebih memalukan.“Ah ... kamu meminta adikmu untuk membeli ....” Bram menggantung kalimatnya. Namun kedua ujung telunjuknya bergerak seiras membentuk segitiga demi mendeskripsikan kata lingerie. “Tidak! Bukan! Omong kos
Bab 18: Apa Salahnya?Rumah mewah milik keluarga Halim terasa lebih lengang. Beberapa pekerja yang biasanya aktif mengurus rumah megah itu sebagian besarnya telah beristirahat. Hanya beberapa yang terlihat dengan mata berlalu lalang di sana, entah bersiap-siap untuk tidur, atau bergantian dengan yang lain untuk berjaga.Berbeda dengan para pekerjanya yang telah memilih untuk menikmati malam, merebahkan punggung serta meluruskan kaki yang kelelahan menopang tubuh. Para anggota keluarga pemilik rumah tersebut masih terjaga. Nyonya Halim yang enggan beranjak dari pintu depan rumah terus saja bolak-balik. Wajahnya terlihat gusar, sesekali menghela nafas demi menetralkan kegelisahan yang melanda dirinya. Gaun malamnya yang tertiup angin setiap kali dia bergerak, juga rambutnya yang tersanggul asal di puncak kepala tetap saja membuatnya terlihat mempesona. Begitu juga dengan sang suami, hanya berbalut piyama bernuansa navy yang be