Bab 17: Moment Pertama
“Sayang ... aku sudah membeli semua kebutuhanmu dari butik, termasuk lingerie merah yang kamu inginkan. Bukankah sudah waktunya untuk pulang? Aku sudah lapar, dan aku ingin segera memakan dirimu, malam ini,” ujar Xavier dengan suara yang sedikit menggoda.
Naila menatap Xavier dengan tatapan yang menghunus tajam. Baru saja dia dipertemukan kembali dengan seniornya dulu di kampus, tapi saat ini dirinya seperti ditelanjangi oleh Xavier dengan ucapan mesum yang dilontarkan pemuda itu.
“Siapa dia, Nail?” Pria blasteran yang melihat kekagetan di wajah Naila segera membuka suara.
“Aku ....”
“Adikku, Bram!” Naila siaga memotong sebelum Xavier kembali melayangkan ucapan yang lebih memalukan.
“Ah ... kamu meminta adikmu untuk membeli ....” Bram menggantung kalimatnya. Namun kedua ujung telunjuknya bergerak seiras membentuk segitiga demi mendeskripsikan kata lingerie.
“Tidak! Bukan! Omong kos
Bab 18: Apa Salahnya?Rumah mewah milik keluarga Halim terasa lebih lengang. Beberapa pekerja yang biasanya aktif mengurus rumah megah itu sebagian besarnya telah beristirahat. Hanya beberapa yang terlihat dengan mata berlalu lalang di sana, entah bersiap-siap untuk tidur, atau bergantian dengan yang lain untuk berjaga.Berbeda dengan para pekerjanya yang telah memilih untuk menikmati malam, merebahkan punggung serta meluruskan kaki yang kelelahan menopang tubuh. Para anggota keluarga pemilik rumah tersebut masih terjaga. Nyonya Halim yang enggan beranjak dari pintu depan rumah terus saja bolak-balik. Wajahnya terlihat gusar, sesekali menghela nafas demi menetralkan kegelisahan yang melanda dirinya. Gaun malamnya yang tertiup angin setiap kali dia bergerak, juga rambutnya yang tersanggul asal di puncak kepala tetap saja membuatnya terlihat mempesona. Begitu juga dengan sang suami, hanya berbalut piyama bernuansa navy yang be
Bab 19: Cibiran Adrian Mentari di bulan Januari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis selembut salju. Kaca jendela lebar yang menjadi pemisahnya, seakan tidak mau tahu jika mentari begitu rindu pada isi ruangan itu. Sesekali, kicau burung dengan surai kuning menjadi lagu di pagi yang syahdu. Dibuai angin sejuk, lalu aroma embun yang lebih manis dari madu. - Bemine-- -Pagi itu, ditemani semburat matahari yang mencuri masuk lewat jendela kamar, gadis dengan tubuh langsing berbalut piyama abu-abu masih memejamkan mata. Enggan beranjak dari buaian selimutnya yang selembut sutra.Kedua matanya terlihat bengkak, mata panda melingkari kelopak bawah, serta rambut lurus yang berakhir khusut.Semalam sudah, pemilik dari kamar itu mengajukan perang dingin dengan pria berperawakan tegap dengan kekayaan melimpah ruah itu. Ngambek, karena dimarahi di
Bab 20: Seseorang MenghilangGadis bernama Hilda yang duduk manis di depan Adrian begitu sibuk memainkan gawai yang berbalut case merah muda kesayangannya. Sesekali gadis itu terkekeh, lalu melanjutkan meng-scroll layar gawainya, memantau satu per satu perubahan yang terjadi di dunia ini melalui layar gawainya.Adrian yang sedari tadi menikmati sepiring nasi goreng yang masih hangat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Keberadaan Hilda seorang tidak bisa mengisi kekosongan yang disebabkan oleh ketidakhadiran Xavier.Makan siang di restoran seberang kantor, meski memilih menu spesial sekalipun, tetap saja terasa hambar jika tanpa Xavier.Berbeda dengan Hilda, Xavier hampir tidak pernah memainkan gawai seperti yang dia dan Hilda lakukan. Apalagi menjadi budak dari benda pipih persegi panjang yang semakin hari semakin mahal saja harganya. Itulah yang menyebabkan pemuda itu tidak bisa memainkan game seperti Adrian. Bahkan tidak mengerti atura
Bab 21: Seseorang yang BerubahSudah masuk hari ketujuh, seminggu berlalu dengan begitu cepat, namun Xavier masih saja absen dari tugas magang. Tidak hanya absen, pemuda itu seperti lenyap ditelan bumi, tidak ada jejak sama sekali yang menyiratkan jika pemuda bermanik mata hazel itu masih bernafas.Jangan tanyakan bagaimana risaunya Adrian, pemuda itu kalang kabut mencari jejak Xavier hingga menanyai satu per satu teman di kampus, dan sayangnya Xavier tidak pernah terlihat di sana. Fokus kerjanya ikut rusak, meski sebenarnya Adrian tidak pernah fokus dalam mengerjakan tugasnya sebagai anak magang.Tidak hanya fokusnya yang berantakan, Adrian mulai berhalusinasi, sesekali mendengar Xavier menyapa dirinya seperti biasa. Hal yang membuat Hilda mulai gelisah dan sedikit ketakutan.Pemuda yang terlahir dari rahim wanita bernama Queen itu merebahkan kepala di meja, enggan mengangkat wajah, menggerakkan mouse yang terduduk di meja kerja, apalagi
Bab 22: Malam Panjang Bersama XavierKegusaran yang semakin menjadi membuat Naila berubah bak seonggok patung di singgasananya yang bisa berputar. Dirinya sendiri belum bisa sepenuhnya menyadari bentuk perubahan yang diucapkan Gabriel tadi, sehingga membuatnya berusaha menemukan penyebab dari alasan perubahan yang terjadi.Lama Naila terdiam dengan segala macam pikiran yang memenuhi kepalanya. Berbagai pertimbangan mulai bermunculan, yang sukses membuatnya sibuk menerka-nerka sendirian.Bagaimana mungkin pertemuan dengan Xavier telah membawa begitu banyak dampak dalam hidupnya? Dia Naila, gadis yang menghabiskan hari dengan menerima umpatan orang-orang terhadapnya itu tidak akan mungkin berubah dengan begitu cepat.Merasa putus asa, gadis itu menekan keningnya yang berdenyut dengan ibu jari dan telunjuknya, memijat pelan sembari mengingat-ngingat, setiap moment yang sudah dia lalui dengan pemuda itu. Naila juga ingat, jika tidak ada satu
Bab 23: Rencana NailaNaila memicingkan mata ke arah dua pemuda dan pemudi yang lebih lemas dari pada kue beras. Keduanya bak manusia tanpa tulang. Duduk bersandar di kursi saja seakan tidak bertenaga, apalagi diminta untuk berdiri. Alhasil, mereka berdua hanya rebahan di atas meja, tanpa melakukan apa-apa.“Tsk! Dasar anak-anak malas. Selama ini mereka bergantung sama Xavier. Jadinya begini kalau yang digantungi hilang,” omel Naila dari kursi putarnya.Didengarnya Adrian menghela nafas, lalu disusul oleh Hilda di sebelah pemuda itu. Naila hanya bisa menggelengkan kepala, tanpa tega untuk memarahi keduanya, karena keadaan yang memaksa kedua bersaudara itu jadi hilang arah dan tujuan.Naila melirik kalender kecil di meja kerjanya, dan melihat dua tanggal yang ditandai dengan spidol biru oleh Dian.“Besok aku harus ke luar kota?” Naila menanyai Dian yang duduk di meja kerjanya.Merasa ada yang memanggil
Bab 24: Rumah Sederhana Milik Siapa?Mobil yang disetiri Naila memasuki pedesaan yang berada di pinggiran Kota Bandung. Ketiganya hanya bisa melirik ke luar dari jendela mobil, saat mendapati suasana baru yang hanya bisa dilihat dari layar TV kini tersaji di depan mereka.Perlahan, Naila membawa pelan mobilnya, menyisiri setiap sudut dari desa yang terlihat lengang. Tidak banyak penduduknya yang lalu lalang, dan tidak ada hewan-hewan yang berkeliaran.Meski sebuah pedesaan, desa yang didatangi ketiganya sudah termasuk maju dan tersentuh peradaban. Sawah-sawah di kiri dan kanan jalan sudah dijamah oleh teknologi-teknologi terbaru yang mempercepat pekerjaan. Tidak sampai di situ, sekolah-sekolah yang berderet di sana, bukanlah sekolah biasa dengan atap yang rusak atau lapangan yang seadanya, melainkan sekolah-sekolah yang mampu bersaing dengan sekolah di kota tempat ketiganya berada. Gedung tingkat dua dan lapangan yang bagus.Naila menghel
Bab 25: Keluarga Jim“Kak?” bisik Adrian.Pemuda itu merasa heran dengan wanita yang hanya berdiri diam di pintu rumahnya. Tidak hanya diam, bahkan wanita berparas ayu itu tidak kunjung menjawab pertanyaan Naila.“Apa kami salah alamat, Bu?” tanya Naila lagi.Gadis itu menahan sebal karena wanita yang ditanyai masih enggan membuka mulut. Bibirnya terbungkam rapat, namun kedua matanya berbicara jika perasaannya sedang terluka.Melihat gelagat aneh dari wanita itu, Naila memutuskan untuk berbalik, lalu berucap kepada kedua adiknya, “Sepertinya kita salah rumah, cepat pergi!”“Enggak, Kak?! Aku belum ketemu Xavier,” rengek Adrian. Pemuda itu semakin memeluk kuat gitar tua yang diisukan sebagai milik Xavier.Naila mendelik tajam, dirinya tidak menerima apapun bentuk bantahan baik dari Adrian maupun Hilda. Hanya satu ingin Naila saat ini, sesegera mungkin untuk pergi dari rumah orang asing.“Kalian mencari putraku?” Sontak saja Adrian mengangguk. Sahutan pelan dari arah punggung Naila memb