Di kelas, saat pelajaran berlangsung, Gian masih terkejut sekaligus memikirkan mengenai apa yang tadi dilakukan Evita padanya. ‘Apakah itu bisa disebut sebuah pelecehan terhadapku? Tapi, rasanya nyaman.’Lalu, Gian menatap tangan kanannya yang tadi sudah menyentuh sesuatu yang sesungguhnya tak boleh dia sentuh dengan bebas karena dia dan Evita tak memiliki hubungan khusus apapun.Ya ampun, dia sudah menyentuh dada perempuan! Bagaimana jika Alicia sampai mengetahui ini? Akan membahayakan hubungan mereka, kan?Kemudian, tatapan Gian tertuju ke kekasihnya, duduk di baris tak jauh darinya. Seketika dia merasa bersalah. ‘Apakah aku juga harus memegang dada Cia agar aku tidak merasa sebersalah ini?’Tapi, makin dipikirkan, Gian justru makin merasa bersalah. Andaikan dia bisa menampar otaknya, ingin sekali dia bisa melakukan itu.Ketika pulang sekolah, Gian mendapati sikap dingin para siswi yang biasanya ribut berebut ingin mengantarkan dia. Karena itu, Gian berjalan sampai menemukan angkot
Gian membelalakkan mata dengan takjub akan apa yang dikatakan Elang. Selama ini, Gian menjadikan Elang sebagai penasehat terbesar dia sekaligus guru dan mentor.“Jadi … tak apa membiarkan mereka seperti itu, Elang?” Gian memastikan sekali lagi. Dia tidak ingin terlihat bodoh dan payah.Elang memutar bola matanya dan menjawab, “Tentu saja tak apa! Kau ini bodoh atau tolol, sih? Sudah susah payah si tua idiot itu memberikan semua ilmu dan kekuatannya ke kamu, tapi kau malah menyia-nyiakannya begitu saja!”“Menyia-nyiakan? Kenapa begitu? Aku hanya menolak kemauan aneh mereka saja, tentu itu sudah sesuai dengan moral masyarakat, kan?” Gian mengira sikap penolakannya sudah benar sesuai dengan adab yang ada di masyarakat.Elang melompat berdiri sambil menghardik dengan cicitan lucunya ke Gian, “Moral apanya, astaga! Kau ini sungguh terlalu hijau, Bocah! Kau bertahun-tahun menjadi itik buruk rupa. Diejek jelek, burik, dan berbagai macam ejekan lain, kau yang tahu sendiri. Nah, ketika kau sud
Gian panik, bagaimana jika dia tidak bisa menenangkan bagian selatannya itu? Tapi, akan lebih gawat lagi apabila Wina mengetahuinya.Baiklah, baiklah, dia harus tenang terlebih dahulu. Tak boleh panik.Maka, dia mulai melakukan olah pernapasan sambil duduk dan menatap ke luar jendela, memandangi langit kebiruan di atas sana, membayangkan alam, membayangkan Elang.Ah, mendadak dia menyesal tidak membawa Elang bersamanya saat ini. Kalau ada Elang, dia pasti tidak akan sebingung ini. Mungkin dia harus menyertakan si tikus putih apabila memiliki acara khusus semacam ini.Tanpa terasa, gundukan di selatan tubuh Gian mulai mengempis dan surut ketika Gian berfokus pada panorama dan Elang.Klak!Pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah Wina dari sana, namun hanya berbalut handuk dan mungkin sudah memakai pakaian dalam di balik handuk.Tapi … bukankah itu namanya ingin menyengsarakan Gian lagi? Pemuda ini baru saja berhasil menenangkan pusaka jantannya!Untuk menghindari kejadian seperti tadi,
“Gian? Tunggu apa lagi? Lekas lepas bajumu dan ganti dengan yang tadi kita beli.” Suara Wina menyadarkan Gian yang melamun.“Ha? Oh! Um … itu … aku ganti di kamar mandi saja, yah!” Gian tidak menunggu sahutan dari Wina dan menyambar kotak pakaian untuknya, membawa kabur secepatnya ke kamar mandi.Lea sampai terkikik geli usai Gian masuk ke kamar mandi. “Kalian … hi hi hi … kalian belum begituan, yah?” tanyanya secara frontal ke Wina. Itu karena mereka memang akrab dan Wina sering memanggil dia untuk merias.Wina terkekeh dengan wajah sedikit malu. “Belum, Kak. Dia … kami … masih sama-sama malu.”“Tak apa. Itu malah bagus. Pertahankan saja hubungan sehat semacam itu.” Lea menyentuh lembut lengan telanjang Wina.Di dalam kamar mandi, Gian menatap bingung setelan jas yang ada di depannya. Dia tak paham tata cara dan langkah demi langkah pemakaiannya.Tapi, karena tak ingin keluar dalam kondisi setengah telanjang, dia nekat memakai saja berdasarkan naluri.Ketika Gian keluar dari kamar ma
Wina mengabaikan tatapan cemburu dari pemuda yang ada di samping panggung dan menggamit lengan Gian, berdua mereka naik ke panggung.Sambil melebarkan senyumannya, Wina berkata sambil melepaskan gamitan pada lengan Gian, “Selamat ulang tahun, Arin.”Mata Gian lekas tertuju pada nama yang tertulis di dekorasi, Arindya Subono.“Wah, terima kasih sudah datang, Wina.” Arin menyambut pelukan basa-basi Wina sambil menempelkan pipi satu sama lain. “Eh? Siapa ini?” tanya Arin sembari menatap Gian dari atas sampai bawah begitu pelukan dilepas.“Oh, ini orang paling spesial aku.” Wina kemudian mengulum senyumnya sambil tersipu.Mata Arin melebar mendengar ucapan malu-malu Wina. “Eh? Pacar?”Wina tak menjawab dan hanya tersipu saja seakan-akan menyiratkan bahwa apa yang dikatakan Arin bisa saja benar.Kemudian, giliran Gian memberi ucapan salam ke gadis yang sedang berulang tahun, “Halo, aku Gian, selamat ulang tahun, yah! Semoga selalu diberikan kebahagiaan.”“Terima kasih.” Arin menerima ulura
Karena ternyata Gian tidak masalah mengenai itu, Wina hanya bisa mempercayai Gian bahwa remaja itu pasti sanggup menangani para pemuda menyebalkan di depannya.Alhasil, Wina dan Gian digiring ke sebuah sudut ruangan yang tadi digunakan saudaranya Arin untuk duduk bersama gerombolannya.Dari pakaiannya saja, Gian sudah mengerti bahwa mereka anak-anak orang kaya. Mereka begitu luwes dan nyaman dengan pakaian mahal mereka, berbeda dengan dirinya yang masih terkesan kaku dalam setelan jas ini.“Namanya siapa tadi?” tanya salah satu dari mereka.“Gian.” Gian memperkenalkan diri sambil julurkan tangan ke pemuda itu, tapi tidak ditanggapi. Uluran tangannya diabaikan dengan sengaja. Tak apa, dia tidak mengambil hati untuk hal remeh semacam itu.“Aku Logan.” Saudaranya Arin mengatakan namanya. “Mereka Tristan, Armand, Brian, Khaled, dan Kristo.”Para pemuda yang namanya disebut, hanya mengangkat dagu mereka sebagai ganti tangan untuk mengucap salam ke Gian. Tapi mereka melakukan dengan gaya cu
Arin yang melihat kesempatan bagi saudaranya untuk unjuk kemampuan dan kekuatan di depan Wina, merasa bersemangat dan menyediakan meja khusus untuk mereka bisa bertanding panco.Tamu undangan adalah teman Arin dan anak-anak relasi bisnis ayahnya, maka dia tidak begitu peduli dengan mereka. Dia merasa pertunjukan adu kekuatan tangan ini lebih menarik.Gian sudah bersiap di tempatnya. Dia adalah yang ditargetkan, maka dia akan berada cukup lama di kursinya. Tidak masalah, karena dia yakin dia akan memenangkan semua babak dan mempecundangi mereka semua.Sementara itu, Wina tetap berdiri di samping Gian dan membiarkan saja remaja itu bertanding dengan gerombolan Logan.“Ayo!” Logan percaya dirinya meningkat tinggi karena dia merasa tubuhnya jauh lebih bugar dan besar ketimbang Gian. Dia duduk di seberang Gian. Di matanya, Gian adalah ikan mati yang mudah dipotong.Ketika Gian mengulurkan tangan untuk memulai pertandingan, Logan dengan angkuhnya berkata, “Tunggu sebentar! Aku harus menggun
Mendengar kata taruhan, seringai di wajah Gian semakin lebar. Apakah mereka semua ini ingin menjadi ikan yang di atas talenan? “Baiklah. Apa taruhannya?” “Kalau aku menang, kau harus bersujud di depan kami, satu demi satu! Lalu, lepas jasmu dan sisakan pakaian dalam saja di tubuhmu!” Logan menyeringai sambil mengatakan sesuatu yang sekiranya bisa memalukan bagi Gian. “Baiklah!” Gian menganggukkan kepala dan bertanya, “Lalu, bagaimana kalau kau kalah?” “Mana mungkin aku kalah!” teriak Logan. “Tidak adil kalau kamu tidak mengatakan taruhannya untuk dirimu, Logan.” Wina kini berbicara mewakili Gian. “Bagaimana kalau kau kalah, kau yang melakukan apa yang tadi kau ucapkan? Bukankah itu adil?” Gian menyambung. Menggigit gerahamnya dengan kesal, Logan menolak. “Tidak mau! Kalau aku kalah … aku … aku akan berikan ini!” Dia mengambil kunci mobil mahalnya di saku celana dan dihempaskan ke atas meja. Mata Gian berbinar. Kenapa ternyata begitu mudah mendapatkan harta hanya dengan adu panco