Perasaan baru kemaren hari Senin. Sekarang sudah hari Sabtu. Waktu memang begitu cepat berlalu.
Allhamdullillah, kontrakan untuk Bang Bara dan keluarganya sudah didapat. Dan mulai besok, mereka bisa menempatinya. Untuk pekerjaan, Bang Bara juga bisa langsung bekerja. Hanya saja, mengingat fisiknya kurang sehat, Mas Adit menyarankan untuk beristirahat, dan masuk kantor jika sudah sehat. Suamiku ini sangat berjiwa besar. Aku sangat bangga padanya.
Berkali-kali Ida di telpon oleh suaminya, tapi dia tidak berani untuk mengangkatnya.
Bermacam nada ancaman memenuhi aplikasi warna hijau. Persis sekali, dengan apa yang Bang Bara lakukan padaku saat aku kembali pulang ke rumah orang tuaku.
Siang ini, kami tengah bersantai, Ningrum ikut menghambur
Malam ini aku sungguh merasa jenuh. Yang kutunggu tak kunjung kembali. Siapa lagi kalau bukan Mas Adit. Sedang anak-anak tadi siang dijemput Bang Jaya. Mereka hendak liburan seperti biasa. Kembar kekeh meski aku melarangnya untuk pergi. Mereka bilang, mereka harus ikut karena ada Kakek dan Neneknya. Ada juga Wahyu. Aku ingin ikut, tapi mengingat kehamilanku yang sudah semakin membesar ku-urungkan. Meski baru berusia enam bulanan, tetap saja seperti sembilan bulan. Berat rasanya kandunganku ini. Entahlah, perasaanku sangat tidak enak. Ponsel Mas Adit juga tidak dapat dihubungi. Tidak biasanya seperti ini. 'Ya Allah semoga saja tidak terjadi apa-apa.'"Mbak, gelisah amat?" tanya Ningrum Anak ini memang semakin kesini, semakin terlihat tabiat aslinya. Kalau bukan Bu Sum yang merekomendasikan, sudah kupecat dari rumah ini."Gak tahu ini, pikiranku gak te
"Kembar mana?" tanyaku pada Mas Adit kala aku terbangun. Perasaan, tadi masih pukul lima pagi, kenapa sekarang gelap lagi? Kulirik waktu sudah pukul sepuluh malam. Aku beranjak dari tempat tidur dan bergagas ke kamar kembar. Mas Adit sendiri mengikutiku dari belakang."Kembar!" Ini Bunda, Sayang! Kalian udah makan?" Kedua putriku tak menjawab satupun. Padahal, biasanya mereka langsung menghampiri jika namanya kupanggil."Kembar udah gak ada, Bund. Bunda harus ingat itu. Bunda yang sabar, yang ikhlas," ucap suamiku. Mas Adit merangkulku ke ruang tamu, dan mengajakku duduk di sana. Ada bekas semacam kue, mungkin sisa tahlilan tadi.Rasanya, aku masih tidak dapat percaya mereka pergi secepat itu. Aku merasa, keduanya masih ada, dan aku merasa ini hanyalah sebuah mimpi. Rumah terasa sepi tanpa mereka. "Kembar! Huhuhuhuhuhu!"
"Mas Adit!" pekiku … gemetar tubuhku hingga tak dapat berkata apapun. Kulihat Ningrum dengan pakaian seksi berada di kamarku."Ningrum kamu ngapain?!" tanyaku sedikit emosi melihat pemandangan ini."Bantuin, Mas Adit! Tadi dia berteriak minta tolong! Saat aku masuk, Mas Adit sendiri, udah terkapar di lantai."Bund …," lirih Mas Adit.Hhhoooeekkkk!Hhhoooeekkkk!Mas Adit memuntahkan isi perutnya tepat mengenai tubuh Ningrum. Aku sendiri kaget dengan serangan itu. Sedikit bergedik dan serasa ingin ikut muntah."Ih, jorok!" pekik Ningrum sambil bergidik. "Agh, kan baju aku jadi kotor gini, Mas Adit ni! Udah seksi gini, pake acara dimuntahin! Bukan dipandangin!" cetusnya. Kurasa perempuan ini sedikit setres."Minggir kamu!
POV NingrumUh! Kesel banget! Bukannya marahan malah mesra-mesraan. Bikin hati orang panas aja. Seharusnya mereka itu bisa menghargai aku bukan malah terang-terangan. Sebulan Mas Adit sibuk bolak-balik rumah sakit, kantor, klinik, tidak mempengaruhinya untuk berpaling dari Mbak Tiara. Dikasih makan enak, kopi nikmat, plus body singset, tidak pernah disentuh olehnya. Sengaja memakai pakaian seksi, malah dimuntahin. Segitu kokohnya perjuangan seorang Adit mempertahankan hasratnya. Padahal aku siap dengan senang hati, maka dari itu aku sengaja memancingnya. Tapi, tetap saja dia tidak melirik ikan segar yang kusodorkan. Dasar munafik! Lihat saja sampai kapan dia bertahan. Kuperhatikan, di klinik tadi sepertinya Ayu menyukai Mas Adit. Bukan hanya Ayu, Dokter Key juga suka melirik Mas Adit. Aku kalau jadi Mbak Tiara, pasti kukandang Mas Adi
"Pulang sama siapa, Rum? Kok gak diajak masuk?" tanyaku pada Ningrum."Biasa, Mbak. David Badrian si pemain bola!" Gak pernah mau kalau ku-ajak mampir. Selalu saja ada alasan untuk menolak," cetusnya."Itu David Beckham! Oneng!" celetukku."Iya itu, Mbak. Eh, Mbak Tiara ngapain di depan pintu?" Dia balik bertanya."Tadi Mas Adit izin ke rumah sakit ketemu Dokter Doko," jawabku sambil duduk di kursi. Ningrum ikut duduk di sampingku. Dia mendekat dan mulai bertanya."Mbak! Mas Adit sakit apa? Belakangan ini aku lihat agak kurusan, pucat pula wajahnya.""Mbak juga gak tau, Rum. Setiap Mbak mau ikut, dia selalu melarang. Mengucap seribu alasan agar aku tidak jadi ikut. Barusan i
POV NingrumMengetahui kebenaran tentang David, sungguh membuat jantungku serasa mau copot. Lagi dan lagi cintaku harus bertepuk sebelah tangan. Hari ini aku memegang rahasia besar. Rahasia cinta segitiga di antara Ilham, Tiara, dan Adit. Kenapa dia pergi dan tak mau menampakan diri. Ilham juga sedang menyewa detektif untuk menyelidiki kasus kecelakaan yang dialami Bang Jaya karena diduga ada yang mensabotase. Yang lebih mengejutkan, selama ini Mas Adit menutupi penyakitnya. Ya, kanker hati yang ia derita sudah cukup parah dan harus segera mencari orang yang siap mendonorkan hatinya. Mbak Tiara sendiri masih terbaring lemah di ruang ICU setelah menjalani operasi caesar. Sehingga membuatnya tidak bisa langsung bertemu dengan kedua putranya. Ya, Mbak Tiara melahirkan dua orang putra kembar.Masalah livernya yang merupakan salah satu efek dari Sindrom HELLP membuatnya harus tetap di IC
Sekarang tubuku sudah merasa lebih baik. Tapi, aku tidak melihat keberadaan Mas Adit. Bukankah Ibu dan yang lain bilang kalau Mas Adit baik-baik saja? Akhirnya kuberanikan diri bertanya pada Ibu. Aku memaksa karena perasaanku merasa tak enak. Dan Ibu pun jujur padaku kalau Mas Adit tengah melakukan oprasi bersama Ilham yang tak lain adalah Reno--sahabatku.Tidak ingin menunggu di ruang inap. Aku langsung meminta Ibu mengantarkan-ku ke ruang tunggu di mana suami dan sahabatku sedang dioperasi.Sampai di sana, aku mendengar Ningrum menangis sambil menggerundel tentang perasaannya pada Reno. Secara tidak langsung aku mendengar semuanya. Hingga akhirnya kutanyakan tentang kebenaran dari ucapannya itu. Dengan luruh air mata dia mulai bercerita. Cerita yang membuat tubuhku melemas seketika dan mataku mengeluarkan airnya.
Saat tiba di ruang ICU, satpam melarangku untuk masuk. Namun, setelah Ningrum menjelaskan pasien ingin bertemu, mereka mempersilahkan. Dia berjanji, setelah mengantarku masuk maka akan segera keluar.Jantungku berdebar, tapi aku mencoba untuk tenang. Ruangan yang berisi tiga tempat tidur dengan jarak yang tak terlalu dekat itu berdinding tirai penyekat. Di ruangan itu hanya berisi dua pasien. Yang satu Mas Adit, dan yang satu Reno.Saat tiba, kudekati wajah suamiku. Dia masih terlelap. "Yah, anak kita sudah lahir," bisikku di telinganya. Meski Mas Adit memejamkan mata, tapi ada air mata yang keluar dari pelupuknya. Mungkin itu adalah sebuah respon. Banyak alat yang terpasang di tubuhnya. "Yah, cepat sembuh. Kami menunggu. Anak kita sangat tampan. Persis seperti, Ayahnya." Aku masih berbisik di te