Lynea menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung mendengar kasur lipatnya sudah dibuang oleh Enrico. Apa-apan ini? Batinnya menjerit kesal. Belum lagi mendengar bahwa ia diharuskan tidur dengan suaminya malam ini, satu ranjang.
Lebih lama dalam permainan ini, aku bisa gila! Kembali Lynea mengutuk dalam hati. Tentu saja ia tidak merasa nyaman tidur bersebelahan dengan Enrico yang telah memasang tembok tinggi di antara mereka.
Bagaimana bisa terbaring kemudian terlelap dengan seseorang yang sudah mengatakan tidak ingin bersamanya? Dengan seseorang yang menikmati bibir perempuan lain persis di depan matanya? Seorang lelaki pembohong! Batin Lynea kembali mencibir.
“Aku tidur di kamar tamu saja kalau begitu!” tolak Lynea cemberut.
Langkah kaki jenjang miliknya bergegas mengarah ke pintu kamar. Pikiran melayang tidak karuan dengan berbagai pertanyaan mengapa Enrico melakukan ini semua?
“Jangan keluar kamar! Aku bilang tidur di sini, bersamaku!” teriak
Ketika perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang, maka berbagai emosi menyertai. Bila perubahan yang terjadi adalah kebahagiaan, maka senyum dan tawa akan menghiasi hari. Namun, bila perubahan itu seperti yang dirasakan Enrico saat ini, tidak bisa berjalan lagi, entah apa yang kemudian bisa terjadi.Setiap malam ia tidak bisa tidur. Rasa nyeri yang kerap membersamai ditambah hati telah hancur berkeping membuat pikiran tidak tenang. Harga diri kini dirasa berserakkan dan sudah hilang terbawa angin senja.Di sana, dalam khayalnya, sesosok wanita gemulai sedang tersenyum manis. Rambut dan matanya berwarna hitam, namun terlihat begitu terang bercahaya. Ketika ia akan menghampiri, sosok itu menjauh dan tertawa terbahak-bahak.Kakinya yang cacat tak bisa lagi berjalan diolok-olok oleh wanita itu. Pandang merendahkan, suara yang mencibir, dan lambaian tangan mengakhiri perjumpaan mereka. Enrico hanya mampu tergeletak tanpa daya di atas lantai.Sementara itu,
Suasana di kamar Enrico semakin terasa semrawut sejak kedua perawat berhenti. Elena sebelumnya berjanji akan merawat kini hanya bisa kebingungan. “Iya, pakaikan bajunya Enrico. Lengannya belum terlalu kuat untuk memakai pakaian sendiri. Kenapa? Kamu kesulitan?” ulang Lynea. “Eh, bukan kesulitan. Aku hanya tidak tahu harus memulai dari mana?” tanggap Elena berkilah. “Dimulai dari mana? Ya, Tuhan! Kenapa jadi sulit sekali?” Lynea sungguh kesal. “Sudah! Keluar semuanya! Aku yang akan mengurus semua ini!” lanjutnya setengah berteriak. Elena segera keluar mendengar ucapan Lynea tersebut. Tanpa menunggu perintah kedua kalinya ia langsung menjadi orang pertama yang sampai di pintu kamar. “Aku bisa memakai baju sendiri! Tinggalkan aku!” ucap Enrico ketus. Ia berusaha memposisikan dirinya untuk duduk bersandar tetapi terus gagal. Kedua lengan yang masih lemah ditambah rasa nyeri area punggung membuat semuanya semakin sulit. “Tidak usah
Elena menemani Enrico fisioterapi seperti biasanya. Dalam perjalanan lelaki itu menceritakan kedatangan Charles kemarin. Keharusan muncul di perusahaan menemui para direktur, direksi, dan pemegang saham adalah sesuatu yang terlalu berat.Bagaimana mungkin mengatur perusahaan sedemikian besar bila ia tidak mampu mengatur dirinya sendiri? Memakai celana saja tidak bisa apalagi membuat strategi memenangkan pasar?Berbagai pikiran negatif ia ceritakan kepada Elena. Bersama kekasihnya ini, entah mengapa ia tidak terlalu mementingkan harga diri. Enrico merasa nyaman untuk terlihat rapuh bahkan lemah. Seakan apa pun adanya diri, wanita itu tidak akan peduli atau berubah pandang kepadanya.“Aku tidak mau ke kantor menampakkan diri dalam kondisi seperti ini. Aku malu!” seru Enrico di dalam mobil.“Kenapa malu? Kamu pemilik perusahaan. Ada yang menghinamu, pecat saja!” sahut Elena santai masih terus memainkan ponselnya.“Mereka
Pepatah jaman dahulu mengatakan, ada beberapa hal yang sebaiknya dibiarkan saja untuk tidak diketahui. Seandainya Lynea menuruti pepatah tersebut, hari ini tentu tidak akan menjadi hari terberat dan paling menyedihkan dalam hidupnya. Ketika tangannya membuka pintu mobil dengan cepat, apa yang ia lihat di dalam sana membuat jantungnya berhenti berdetak. “Aaaa!” jerit Elena ketika pintu terbuka dan mengekspos tubuh telanjangnya yang masih berada di atas pangkuan Enrico. “Enrico ka-kamu …,” gagap Lynea tak mampu berkata apa-apa lagi. Napasnya seketika itu tersengal. Pemandangan di hadapan seperti mimpi buruk dan menakutkan. Bahkan lebih mengerikan daripada orang yang disiksa ketika ia lihat di restoran. Tubuh membeku dan wajah terkejut telah berubah datar. Ekspresi benci, muak, dan mual menjadi satu terpancar dari sorot mata Lynea yang sedang beradu pandang dengan suaminya. Enrico tidak bisa berkata apa-apa ketika mata polos sang istri memandangi
Seorang lekaki “gentleman” tidak akan mengambil keuntungan dari seorang wanita yang sedang mabuk atau patah hati. Itulah yang sedang dilakukan Gabriel saat ini. Berusaha sekuat mungkin untuk menundukkan nafsunya. Sungguh, melihat dada Lynea dengan ukuran yang lebih besar dari kebanyakan wanita terpampang nyata di hadapannya membuat darah terasa berdesir lebih cepat. Perasaan panas menjalari wajah, leher, dan terus turun sampai ke benda di antara pusar dan paha. Namun, rasa sayang tidak harus ditunjukkan dengan cara bercinta seperti ini. Hati Lynea yang ia ketahui terluka -kemungkinan besar karena Enrico- sedang rapuh. Ia tidak ingin membiarkan kerapuhan itu mengarah pada tahap selanjutnya dalam percintaan mereka. “Kenapa selalu kamu kaitkan dengannya?” kesal Lynea. Hem yang masih terbuka memamerkan dada seksinya segera ia kancingkan. “Kemarilah, Lyn.” Gabriel merangkul pundak wanita cantik di sampingnya. “Aku tidak mau melakukan ini ka
Ruangan rapat dewan direksi terasa sunyi dan mencekam dengan berbagai kenyataan yang baru saja terbuka. Mulai dari kondisi Lynea yang sedang hamil juga mengenai hubungan Enrico dan Elena dimana semua orang pasti menganggap mereka sepasang kekasih.Alonzo melirik tajam pada Elena dengan maksud agar wanita itu menutup mulutnya saja daripada berbicara lebih banyak dan membongkar segala sesuatunya. Namun, Elena tidak peduli akan tatapan itu. Ia justru semakin merasa jumawa untuk melawan siapa saja yang duduk di ruangan itu dan menatapnya sinis.“Memangnya kami tidak boleh berteman? Bukankah Alessia sendiri masih suka jalan dengan Patrick? Kalian ingat bukan? Mantan Alessia yang hanya seorang pemain teater itu?” cibir Elena mengejek sahabat yang kini telah menjadi musuh.“Diam kamu!” bentak Alessia malu juga takut. Hubungannya dengan lelaki itu adalah rahasia karena Belezza sangat tidak menyetujuinya.Tanpa butuh waktu lama, ibunya tela
Menggapai sisi ruang batin memang tidak mudah. Kadang hati tak mampu memahami sesuatu yang tidak ditampakkan. Namun, rasa tidak akan berbohong. Sebuah cinta bisa saja dipendam sampai ke dasar bumi sekalipun dan tetap saja getarannya akan terasa ketika dua insan itu bertemu kembali.Enrico dan Lynea sama-sama duduk di kursi belakang mobil Maybach biru tua keluaran terbaru. Tatap mata dibuang ke luar, enggan untuk menyorot kedekatan diri masing-masing. Penyesalan di bait asa sang Pangeran De Luca terlihat di raut wajahnya. Sementara Lynea, menatap hanya pada kenang dan bayangan akan apa yang telah hilang dari mereka.Tak ada sepatah kata pun terucap selama lebih dari tiga puluh menit perjalanan. Hanya ketika perut Lynea kembali terasa nyeri dan ia reflek mengaduh, baru terjadi percakapan di antara keduanya.“Lyn? Kamu baik-baik? Lebih cepat lagi, Kevin!” Enrico menghardik supirnya.Alonzo menoleh ke belakang. Gurat kekhawatiran jelas terpampang
Perasaan yang timbul tenggelam karena kebodohan diri sendiri menghadirkan banyak penyesalan. Dunia tidak terasa indah lagi dan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk merubahnya. Semakin tenggelam tanpa bisa naik lagi ke permukaan. Entah gengsi, entah harga diri. Apa pun itu telah membuat berbagai kebodohan terlempar ke luar. Begitu sulit untuk menyatakan cinta pada Lynea dan memohonnya kembali. Namun, begitu sulit pula melepaskannya dalam pelukan lelaki lain. Berbagai pikiran kelam mulai menghampiri. Mulai ingin menghilang dari kancah dunia De Luca sampai keinginan untuk menghilangkan nyawanya sendiri perlahan melintas. Kini, ledakan emosi mengakibatkan serpihan kaca mobil melukai tangannya. Bagaikan singa yang sedang terluka, matanya tajam menusuk ke arah lawan. Napas memburu siap untuk mengaum sekencang mungkin. Tubuhnya condong pada istrinya. Wajah mereka berdekatan sampai Lynea bisa merasakan napas kasar sang suami. Kalimat terakhir dari Lynea menambah