Berpisah, tentu bukan hal yang pernah Edzard bayangkan sebelumnya dengan Rere. Janji untuk menjadikan dia wanita satu-satunya dalam mahligai pernikahan tidak lantas membuat Rere bersabar. Ah, mungkin waktu yang berlalu memang tidak pernah mampu diputar kembali. Cinta yang tumbuh membutakan membuat Rere tersadar dari sakit. Dia lalu bangkit dan memilih berpisah. Lalu Edzard, lelaki tersebut terdiam, seperti baru mendapatkan bogem mentah yang memukul tubuh. Ringsek, tidak bersisa, sang istri tidak bersalah, yang bersalah dirinya. Lalu apa yang harus diperbuat agar sang istri mau memaafkan, mungkin itu pernyataan yang sulit. Digadang-gadang sakit yang mendera tidak sebanding dengan duka yang dia torehkan kepada Rere.
Lelaki itu menahan emosi yang teramat, memijat kening yang terasa berdenyut dengan jemari, dia biarkan Rere berceloteh mengeluarkan segala unek-unek yang mungkin membenakan. Marah, yah Edzard membiarkan dang istri melam
Sebuah kamar yang cukup luas untuk ditempati seorang anak. Ada bocah lelaki yang berlari ke sana kemari mengejar bola yang menggelinding. Pintu kamar terbuka, seorang lelaki masuk kemudian menatap wanita yang masih tersenyum mengekor sang balita yang sedang asik melempar bola masuk ke sebuah keranjang. Dia menatap miris dengan ekspresi yang tidak dapat digambarkan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, yang pasti mereka terseret arus pada pusara masalah keluarga seseorang. "Evelyn, kau baik-baik saja?" Suara bariton mendekat. "Alow apa ecil (halo papa kecil)," sapa putra Evelyn dengan yang masih cadel. "Yo, jagoan, mau main bola?" tanyanya, dia menunduk ber
Sang surya mulai bersinar kemerahan, keperkasaan telah berganti dengan pemandangan yang membuat orang terpesona dengan kecantikan. Seolah lupa dengan sosok yang panas menyengat di siang hari nan cerah. Pendar cahaya jingga menyeruak di langit sore, senja yang begitu mempesona. Namun, cerahnya mentari senja berbanding terbalik dengan perasaan Edzard yang campur aduk. Antara gugup dan bingung, walau bagaimana yang berada di hadapannya adalah sang mertua. Kedatangan kali ini pun bukan untuk berkunjung melainkan untuk mengantar sang istri. Di mana rumah tangga yang dia jaga sekarang masih terkoyak tidak bersisa. Edzard dan juga Rere duduk di kursi ruang tamu berhadapan dengan kedua orang tua wanita tersebut. Rere menangis sesenggukan membuat Nyonya Ananta langsung bangkit dari duduk dan membimbing sang putri masuk ke dalam kamar. Edzard menghela napas panjang melihat punggung sang istri dan juga putrinya yang merengek. Tuan Ananta menatap menantunya sangsi
Dengan berat hati Edzard berpamitan kepada kedua orang tua Rere. Lelaki itu juga menyempatkan masuk ke dalam kamar sang istri. Wanita tersebut pura-pura memejamkan mata saat mendengar pintu terbuka. Edzard melangkah mendekati, dia naik ke sisi ranjang bagian samping. Menatap istri dan juga sang putri bergantian. Berat sekali rasanya untuk berpisah sekejap, sungguh memilukan. Namun, apa daya nasi sudah menjadi bubur, semua terjadi karena ulah sendiri, dan dia sedang menuai apa yang diperbuat."Ayah berpisah dengan kamu dan ibu kamu sebentar, Larisa Sayang. Ayah menyayangi kalian," ucap Edzard mengelus pipi gembul bayi yang terlelap tidur itu. Dia mengecup beberapa kali pipi dan juga kening. Beralih menatap Rere, Edzard mengelus pipi mulus itu. "Maafkan aku Sayang, aku belum menjadi suami yang sempurna, belum menjadi imam yang baik, belu
Hanya dengan melihatnya saja sudah membuat muak. Rasa itu sungguh sakit tidak terkira. Jika tidak memikirkan nasib keluarga, Rere sudah pasti memilih berlalu pergi menghindari luka dan sakit. Rere merasa wanita di hadapannya itu tidak tahu malu, tersenyum tanpa dosa. Hingga Rere berpikiran buruk, akankah wanita itu menertawakan dirinya karena dia telah menyerah, memilih untuk berpisah. Senyum itu apa kah tanda kemenangan untuknya? Begitu tanya Rere pada diri sendiri. Wanita itu mengepalkan kedua tangan, menganggap akting yang dilakonkan wanita itu adalah terbaik, bersikap biasa saja setelah memporak-porandakan kehidupan rumah tangga seseorang. Sungguh luar biasa bukan."Apa kabar Re," sapa wanita tersebut terdengar menjengkelkan di rungu Rere.'Asta
Rere menangis sesengukan di dalam mobil, dia menoleh ke arah luar jendela mobil. Namun, terlihat gelap hanya lampu penerang jalan, malam sudah larut. Kanan kiri jalan terlihat samar pepohonan dengan rumah-rumah kecil yang berjarak satu sama lain. Ada satu penyesalan di hati gadis itu, perasaan yang tidak mampu terlukiskan dengan kata, harus kah dia berlari sejauh mungkin. Sungguh sesuatu hal yang memang menyesakkan sakit, sedih bercampur menjadi satu. “Pak, bisa lebih cepat lagi?” tanya Rere kepada sang sopir. “Tidak bisa Nyonya, banyak tikungan tajam,” kata sang sopir. “Ah, baiklah, hati-hati saja Pak,” kata Rere menggigit bibir bagian bawah. Menahan gejolak rasa yang benar-benar tidak terkira. “Nyonya ingin segera bertemu Tuan?&rd
Kediaman AnantaBeberapa waktu terasa senyap, tidak ada satupun yang berbicara. Mereka sibuk dengan perasaan dan kata hati masing-masing. Begitu juga dengan Rere masih menatap tajam Evelyn. Lebih menjengkelkan Evelyn mengulas senyum ketika bertemu pandang dengannya. Ingin dia menampar wajah menjengkelkan tersebut. Makanan yang dikunyah terasa sulit sekali tertelan, banyak beban menumpuk hingga tidak mampu menikmati lezatnya aneka hidangan. Seolah selera rasa menghilang hanya dengan melihat wajah wanita yang membuat luka.Setelah acara makan malam, masih di tempat yang sama. Di ruang makan, dengan sajian yang telah berganti makanan penutup. Ada salad buah, dan ada juga teh panas putri yang masih mengepul, aroma wangi teh celup itu menguar menjalar ke ruangan. Ananta memberikan kode kepada beberapa
Kesalahpahaman berakhir, suatu hal mungkin memang akan menjadi salah paham, menjelaskan pun tidak akan ada artinya lagi jika tanpa bukti. Bagi Edzard sendiri cukup sekali dia menjelaskan, jika semakin mengelak pun malah akan membuat dirinya seolah berkilah. Dan di samping Edzard lah Rere sekarang berada, setelah banyak sekali luka yang mampir menghampiri. Walau tidak ada sisa sekali pun di hati sang suami, Rere tetap menyusul Edzard di villa. Dia menghapus linangan air mata dengan tangan. Tidak inhin terlihat menyedihkan, suara binatang malam terdengar mengusik, siapa peduli. Fokus Rere ada pada wajah lelaki yang dia cintai, ah sebesar itu rasa cinta Rere hingga membuat dirinya begitu tidak rasional. Bergegas pergi menghampiri Edzard ke villa tanpa persiapan. Menyesal pun tidak guna, tidak ada lagi kata sangsi dalam cinta yang telah terpatri. Bukti nyata yang Rere pasrahkan, atas rasa yang memperdaya dirinya tersebut. Kebahagia
Terlahir dengan tubuh mungil dan imut, sangat terlihat manis benarkah begitu? Namaku Larisa Edzard, putri semata wayang Edzard Devan dan Rere Ayu Ananta. Bagi sebagian orang imut memang menggemaskan tetapi tidak denganku. Banyak cobaan innalillahi memalukan jika teringat. Pernah satu kali aku putus dengan pacar hanya karena kedua orang tuanya menganggap aku, anak di bawah umur. Aku diusir dengan tidak hormat dari rumahnya, sungguh memalukan. Helo, apa tidak bisa membedakan wajah anak di bawah umur dengan gadis berusia sembilan belas tahun ini. Rasanya aku ingin sekali membakar rumah orang tersebut. Seperti sebuah kutukan yang tidak mendasar, memalukan dan juga membuat gundah. "Kamu itu imut, Larisa, dan itu anugrah," kata Elizabeth Kenzo, sahabat terbaik yang usianya satu tahun lebih muda dari aku namun, tubuhnya tinggi semampai, dengan body bak gitar spanyol, aduhai-lah pokoknya. "Imut dilihat dari