Dengan berat hati Edzard berpamitan kepada kedua orang tua Rere. Lelaki itu juga menyempatkan masuk ke dalam kamar sang istri. Wanita tersebut pura-pura memejamkan mata saat mendengar pintu terbuka. Edzard melangkah mendekati, dia naik ke sisi ranjang bagian samping. Menatap istri dan juga sang putri bergantian. Berat sekali rasanya untuk berpisah sekejap, sungguh memilukan. Namun, apa daya nasi sudah menjadi bubur, semua terjadi karena ulah sendiri, dan dia sedang menuai apa yang diperbuat.
"Ayah berpisah dengan kamu dan ibu kamu sebentar, Larisa Sayang. Ayah menyayangi kalian," ucap Edzard mengelus pipi gembul bayi yang terlelap tidur itu. Dia mengecup beberapa kali pipi dan juga kening. Beralih menatap Rere, Edzard mengelus pipi mulus itu. "Maafkan aku Sayang, aku belum menjadi suami yang sempurna, belum menjadi imam yang baik, belu
Hanya dengan melihatnya saja sudah membuat muak. Rasa itu sungguh sakit tidak terkira. Jika tidak memikirkan nasib keluarga, Rere sudah pasti memilih berlalu pergi menghindari luka dan sakit. Rere merasa wanita di hadapannya itu tidak tahu malu, tersenyum tanpa dosa. Hingga Rere berpikiran buruk, akankah wanita itu menertawakan dirinya karena dia telah menyerah, memilih untuk berpisah. Senyum itu apa kah tanda kemenangan untuknya? Begitu tanya Rere pada diri sendiri. Wanita itu mengepalkan kedua tangan, menganggap akting yang dilakonkan wanita itu adalah terbaik, bersikap biasa saja setelah memporak-porandakan kehidupan rumah tangga seseorang. Sungguh luar biasa bukan."Apa kabar Re," sapa wanita tersebut terdengar menjengkelkan di rungu Rere.'Asta
Rere menangis sesengukan di dalam mobil, dia menoleh ke arah luar jendela mobil. Namun, terlihat gelap hanya lampu penerang jalan, malam sudah larut. Kanan kiri jalan terlihat samar pepohonan dengan rumah-rumah kecil yang berjarak satu sama lain. Ada satu penyesalan di hati gadis itu, perasaan yang tidak mampu terlukiskan dengan kata, harus kah dia berlari sejauh mungkin. Sungguh sesuatu hal yang memang menyesakkan sakit, sedih bercampur menjadi satu. “Pak, bisa lebih cepat lagi?” tanya Rere kepada sang sopir. “Tidak bisa Nyonya, banyak tikungan tajam,” kata sang sopir. “Ah, baiklah, hati-hati saja Pak,” kata Rere menggigit bibir bagian bawah. Menahan gejolak rasa yang benar-benar tidak terkira. “Nyonya ingin segera bertemu Tuan?&rd
Kediaman AnantaBeberapa waktu terasa senyap, tidak ada satupun yang berbicara. Mereka sibuk dengan perasaan dan kata hati masing-masing. Begitu juga dengan Rere masih menatap tajam Evelyn. Lebih menjengkelkan Evelyn mengulas senyum ketika bertemu pandang dengannya. Ingin dia menampar wajah menjengkelkan tersebut. Makanan yang dikunyah terasa sulit sekali tertelan, banyak beban menumpuk hingga tidak mampu menikmati lezatnya aneka hidangan. Seolah selera rasa menghilang hanya dengan melihat wajah wanita yang membuat luka.Setelah acara makan malam, masih di tempat yang sama. Di ruang makan, dengan sajian yang telah berganti makanan penutup. Ada salad buah, dan ada juga teh panas putri yang masih mengepul, aroma wangi teh celup itu menguar menjalar ke ruangan. Ananta memberikan kode kepada beberapa
Kesalahpahaman berakhir, suatu hal mungkin memang akan menjadi salah paham, menjelaskan pun tidak akan ada artinya lagi jika tanpa bukti. Bagi Edzard sendiri cukup sekali dia menjelaskan, jika semakin mengelak pun malah akan membuat dirinya seolah berkilah. Dan di samping Edzard lah Rere sekarang berada, setelah banyak sekali luka yang mampir menghampiri. Walau tidak ada sisa sekali pun di hati sang suami, Rere tetap menyusul Edzard di villa. Dia menghapus linangan air mata dengan tangan. Tidak inhin terlihat menyedihkan, suara binatang malam terdengar mengusik, siapa peduli. Fokus Rere ada pada wajah lelaki yang dia cintai, ah sebesar itu rasa cinta Rere hingga membuat dirinya begitu tidak rasional. Bergegas pergi menghampiri Edzard ke villa tanpa persiapan. Menyesal pun tidak guna, tidak ada lagi kata sangsi dalam cinta yang telah terpatri. Bukti nyata yang Rere pasrahkan, atas rasa yang memperdaya dirinya tersebut. Kebahagia
Terlahir dengan tubuh mungil dan imut, sangat terlihat manis benarkah begitu? Namaku Larisa Edzard, putri semata wayang Edzard Devan dan Rere Ayu Ananta. Bagi sebagian orang imut memang menggemaskan tetapi tidak denganku. Banyak cobaan innalillahi memalukan jika teringat. Pernah satu kali aku putus dengan pacar hanya karena kedua orang tuanya menganggap aku, anak di bawah umur. Aku diusir dengan tidak hormat dari rumahnya, sungguh memalukan. Helo, apa tidak bisa membedakan wajah anak di bawah umur dengan gadis berusia sembilan belas tahun ini. Rasanya aku ingin sekali membakar rumah orang tersebut. Seperti sebuah kutukan yang tidak mendasar, memalukan dan juga membuat gundah. "Kamu itu imut, Larisa, dan itu anugrah," kata Elizabeth Kenzo, sahabat terbaik yang usianya satu tahun lebih muda dari aku namun, tubuhnya tinggi semampai, dengan body bak gitar spanyol, aduhai-lah pokoknya. "Imut dilihat dari
Beruntung memiliki sahabat yang mau menerima apa adanya. Toh kedua orang tua kami, juga saling kenal dan saling berhubungan baik, itu sebabnya kami pun menjadi dekat. Keberadaan mereka dalam suka maupun duka adalah hal terindah yang saat ini aku syukuri sebagai anak baru gaul yang masih labil. Terkadang yang suka khilaf dan berbuat nakal namun, tetap pada jalurnya setelah mendapat ceramah panjang lebar dari Delon. Semesum atau pun laknat kami masih tahu batasan yang tidak boleh dilanggar. Saat ini kami sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Shopping dan berakhir makan. Sesekali cuci mata memandang orang-orang yang lewat. Terutama dua cowok brengsek yang duduk dengan mata melotot melihat body semok bohay yang berjalan bak model. Aku dan Elizabeth nyengir dengan perasaan geli, merinding rasanya. Membayangkan apa tidak lelah wanita semok tersebut berjalan lemah gemulai bak di atas catwalk. Rasanya aku ingin menendang p
Aku menangis sesengukan hingga terlelap, ketika bangun mata terasa perih dan bengkak. Kepala terasa pening seketika. Ah, rasanya malas untuk keluar kamar, bahkan tubuh ini masih mengenakan mantel handuk. Aku beringsut duduk lalu mengedarkan pandang, barang-barang berserakan di lantai tidak ada lagi, ibu pasti sudah merapikan tempat ini. Kuhela napas panjang, buku-buku di rak tertata rapi dan masih dalam keadaan banyak, kurasa ibu tidak membuangnya. Membayangkan wajah mara ayah membuat aku sakit, aku tahu kesalahan ini sangat fatal, bandel, nakal itulah Larisa Edzard. Dada ini semakin sesak membayangkan tutur kata ayah, ketika hendak mencarikan calon suami. Semengerikan itu kah kesalahan yang aku perbuat hingga membuat ayah hendak menikahkan aku. Ah, rasa di dada semakin sesak, ayah yang selama ini baik, penuh canda, bertutur lembut nan hangat. Berubah seperti monster ketika marah,sungguh mengerikan. Tatapan mata tajam seperti menguliti
Keributan kecil di depan sebuah club malam membuat kerumunan orang-orang memandang ke arah kami. Sebagian besar menatap aku sangsi ah, rasanya seolah dikuliti, sungguh menyebalkan. Ingin aku cabik-cabik saja wajah mereka hang menertawakan aku. Hampir aku menangis saking malu andai saja tidak ada Delon dan juga Elizabeth yang menghampiri. Aku mengeluarkan kartu tanda penduduk, menyerahkan kepada petugas sialan itu. Dari usia kini beralih ke undangan. "Dengar ya, Dek, kami hanya menjalankan tugas, club ini khusus bagi orang-orang tertentu saja," kata seorang lagi. Oh, amarahku sudah hampir meledak rasanya. "Dan hanya bisa masuk jika ada undangan per orangan," lanjut yang satunya. Aku menenangkan diri, menahan emosi yang seperti banjir bandang siap meluluh