Aarav tertawa, membiarkan wanita itu meraba miliknya di balik celana. Wanita tersebut begitu antusiasme. Aarav juga merasa percaya diri, dia menatap dalam wanita yang menggoda itu. Bagian miliknya adalah dambaan wanita. Banyak diluaran sana yang menginginkan untuk ditidurinya lagi, performa yang bagus serta ukuran yang begitu besar tidak seperti pada umumnya, pasti desas-desus itu sudah terdengar di kalangan wanita dari mulut ke mulut. Ah, gosip hot memang menjadi trend luar biasa.
"Aku sangat tidak sabar benda ini mengobrak-abrik milikku," kata wanita tersebut.
Aarav terkekeh, "Mau ke bawah sana untuk berolah raga?" tawar Aarav mengacungkan jari menuju ke arah beberapa orang bergerak mengikuti alunan dentuman musik.
Wanita itu menggeleng, "Aku ingin langsung beecumbu denganmu," ujarnya.
"Dasar tidak sabaran," keluh
Emir meletakkan tubuh Larisa di ranjang sebuah kamar yang telah dia sewa sebelumnya. Kamar untuk beristirahat, Emir tidak bisa begitu saja pamit pulang ke rumah lantaran menghargai para teman-teman atas suka cita merayakan hari kelahiran pemuda itu. Mana mungkin mereka memberikan izin dirinya pulang lebih awal. Pantang pulang sebelum pagi, begitu selalu semboyan mereka. Bermain sepuas hati, berkaraoke, bahkan kadang juga minum sampai puas. Siapa yang menyangka kamar tersebut kini akan ditempati Larisa. Gadis ceroboh itu selalu seenaknya namun, Emir sudah terlanjur cinta, mau bagaimana. Pertemuan kembali setelah sekian lama berpisah lantaran dia harus ikut kedua orang tuanya yang sedang menjalankan bisnis di negara lain. Kini saat pulang, tidak ingin Emir menunda lagi untuk menyatakan cinta pada Larisa. Berlian mahal dia bawakan sebagai hadiah untuk wanita yang sejak masih kecil dia cinta. Cinta monyet, cinta pada pandangan pertam
Bugh! Bagh! Pukulan keras mendarat di pipi Emir beberapa kali, pemuda itu terhuyung-huyung hampir terjerembab. Emir menegakkan tubuh menatap nyalang lelaki brengsek yang tiba-tiba memukulnya. Dia tidak mengenal lelaki itu namun, sikapnya sok sekali, membuat Emir naik pitam. Pemuda itu bersiap melawan, dia berjalan cepat lalu melayangkan tinju, gagal, lawannya jauh lebih sigap menghindar. Pukulan Emir mengambang di udara. "Sial!" pekik Emir, dia menegakkan tubuhnya kembali, merasa geram dipermainkan lelaki brengsek itu. Aarav sendiri tertawa mengejek pemuda yang dia anggap sok itu. Yah, andaikata Emir mau mengalah lalu memilih pergi duel sengit itu tidak akan terjadi. Namun, Emir bukan pria brengsek yang mau meninggalkan Larisa bersama lelaki yang tidak tahu asal-usulnya. "Untuk terakhir kali, aku minta kau pergi dari sini, atau kau mau aku adukan pada Edzard atas tinda
Sampai di depan rumah, Aarav bergegas menggendong kembali tubuh Larisa. Sesekali dia menatap gadis yang mulai gusar tersebut. Lelaki tersebut masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa, kemudian berbelok ke arah samping menuju kamar tamu. Pelan, begitu lembut Aarav memperlakukan Larisa. Gadis kecil yang dia tahu tumbuh kembangnya. Aarav tersenyum, mendadak dia berpikir. Apakah akan seribet itu jika dia memiliki anak nanti. Ah, membayangkan pernikahan membuat dada Aarav nyeri. Cinta yang tumbuh bukan pada tempatnya membuat dia harus rela dan ikhlas. Dia tidak ingin mengejar bukan karena tidak mampu menaklukan. Namun, posisinya berada di titik salah, yang dicinta tidak mencintainya, wanita itu bahagia mencintai yang lain.Larisa meracau, entah apa yang digumamkan gadis itu Aarav tidak tahu. Lelaki itu terkekeh, keadaan mabuk saja bisa seimut itu
Napas Aarav memburu, dia benar-benar kehilangan kendali. Hampir saja lelaki itu memangsa gadis tidak berdaya di hadapannya. Terlebih tidak ada perlawanan dari Larisa kecuali tubuhnya yang menggeliat. Gila, apa yang dilakukan Aarav benar-benar kegilaan. Seharusnya dia lebih bisa menjaga diri terlebih dengan gadis kecil itu. Namun, belenggu godaan telah merangsek, masuk memenuhi pikiran. Beruntung, dering ponsel di saku celana membuatnya terusik, kembali ke alam sadar. "Astaga apa yang baru saja aku lakukan, untung ponsel berbunyi," keluh Aarav meraup wajahnya gusar. Dia bangkit berdiri, menghela napas dengan teratur, menepuk pipi yang terasa memanas, menekan kembali hasrat yang menyeruak. "Tenanglah, Aarav kau memang salah tetapi bukan itu, ada hal yang lebih penting sekarang," desis Aarav. Dia merapikan selimut milik Larisa, menatap kembali ke arah bibir yang terlihat mungil bengkak. "Maaf, aku terlalu bersemangat," keluh Aarav tanpa b
Aarav menyipitkan kedua mata, mengamati sosok yang mengetuk kaca mobilnya. Hari sudah gelap, lampu jalan pun samar menerangi tempatnya memarkirkan mobil. Seorang wanita dengan pakaian sexy nampak samar. Aarav membuka pintu lalu keluar, wanita tersebut tersenyum nakal. Lalu tangan kanannya meraba dada berbalut jas tersebut. "Mengapa kau lama sekali baru kemari lagi, aku menanti dirimu dari tadi, Bos," ujar wanita tersebut manja. Dengan suara dibuat sesexy mungkin. Aarav menghela napas panjang, dikira Aarav akan tergoda. Sungguh sayang, entah mengapa mendadak lelaki tersebut merasa tidak bernafsu meski disuguhkan dengan wanita bertubuh sintal aduhai di hadapannya. Aarav memijat keningnya, menatap wanita dengan dress pendek, super ketat dari at
Mobil akhirnya berhenti setelah Aarav mengancam sang adik. Lelaki itu duduk kelelahan dengan punggung bersandar di punggung jok. Napasnya memburu, dia menatap sang adik dengan tatapan tajam. Delon meringis tanpa berdosa. Beberapa saat hening seketika, mobil kembali dinyalakan. Delon menyetir, melajukan mobil keluar dari area club malam itu. "Kau benar-benar menjengkelkan, dasar!" ujar Aarav setelah mulai tenang. "Rasanya aku ingin melempar dirimu ke tempat sampah," lanjutnya. "Huhu … aku takut," cicit Delon dengan ekspresi pura-pura takut. Aarav mengenakan sabuk pengaman. Tidak mungkin bagi dirinya marah terlalu lama, meski saat bercanda Delo
Aarav menyetir mobilnya masuk ke dalam kediaman sang ayah, menoleh sebentar ke arah adiknya yang masih sibuk bermain ponsel. Beberapa ingatan yang beberapa saat lalu terjadi membuatnya terkekeh. Ketika dirinya membabi buta memukuli seorang pemuda demi seorang gadis ingusan. Lalu ingatan beralih ke adegan ciuman panas untuk Larisa, ah itu membuatnya tersipu malu. Delon berhenti memainkan ponsel menatap sang kakak dengan penuh tanda tanya. Bertanya dalam hati apakah lelaki tersebut kesambet demit yang baru saja dugem atau mungkin lelaki itu sudah setengah akal sehatnya lantaran kelamaan menjomblo. Entahlah, Delon pun tidak tahu, dia masih terbengong seper sekian detik sampai Aarav menatap sang adik dan berhenti tertawa. “Mengapa kau menatap diriku seperti itu?” tanya Aarav. “Enggak apa, Bang,” jawab Delon, ketar-ketir melihat tatapan tajam Aarav.  
Kalimat yang terlontar dari mulut sang ayah bak petir menyambar di siang bolong. Terkejut sudah pasti Aarav sampai menyemburkan teh yang belum sempat dia telan tersebut, dia terbatuk-batuk seketika. Mana dia menduga jika sang ayah menyebutkan nama bocah imut itu. Lelaki itu mengelap mulut basahnya dengan ujung jas warna putih yang dia kenakan. Dia terkekeh tanpa henti. Berpikir sebelumnya sang ayah akan menyebutkan nama dari sederet usaha wanita yang sukses atau setidaknya anak pejabat. “Astaga, Ayah, berhenti main-main, jangan bercanda,” keluh Aarav. “Aku tidak bercanda, menikahlah dengan Larisa, Edzarsd sedang mencari calon menantu. Aku rasa tidak ada wanita baik di luar sana kecuali dari keluarga yang sudah kita kenal baik seluk-beluknya,” terang Adelard. “Aku sangat terkejut Ayah merekomendasikan si imutku,” cicit Delon, “untuk