Sesosok tubuh tinggi tegap menatap dengan ekspresi kebingungan. Aku tahu benar tatapan Matanya menyiratkan rasa khawatir. Sosok penyayang, pelindung terbaik yang aku miliki. Diam mematung, aku melihat ayah di ambang pintu dengan mata melebar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ayah. Haruskah aku berbohong saja jika Om Aarav akan memperkosaku, sepertinya itu ide brilliant. Namun, ternyata nyaliku ciut untuk berucap. Mengingat aku menikmati apa yang Om Aarav lakukan, itu bukan pelecehan, tapi perbuatan suka sama suka. Harga diriku memang hancur sudah. “Tidak ada apa-apa, Ayah,” jawabku. “Hei, matamu terlihat bengkak, kau menangis? Ada apa, katakan pada ayah apa Aarav menyakitimu?” Ayah melangkah cepat mendekat lalu duduk di pojok ranjang. Tangan berotot itu meraih daguku, tatapan cemas tergambar jelas, ayah memeluk tubuh ini dengan sangat hangat, nyaman. Aku tidak kuasa lagi untuk menangis, meski aku tidak bisa bercerita banyak tapi, setidaknya aku ingin menumpahkan sesak dada. Aya
Edzard menggandeng Rere masuk ke dalam kamar kamar, lelaki itu terlihat buru-buru hingga membuat Rere mengernyitkan kening. Ingin dia bertanya namun urung lantaran Edzard sudah lebih dahulu menyambar bibirnya setelah menutup pintu kamar. Lelaki tersebut terlihat giat menarik mantel tidur sang istri hingga lolos tersisa tangtop setinggi lutut. Rere membalas perlakuan sang suami dengan menyilangkan leher. Edzard sedikit mendorong ke belakang tubuh sang istri hingga punggung wanitanya itu terkantuk tembok. Kepala Edzard menelusup ke ceruk leher sang istri. Bibirnya menyentuh setiap inci leher sang istri, membuat wanita tersebut mendesah panjang, kedua tangan Edzard meremas bukit kembar sang istri. Menarik sisa pakaian yang Rere kenakan, kemudian menggunakan bibirnya untuk menyentuh ujung dada. Edzard seperti bayi yang tengah menyusu, salah satu tangan digunakan untuk menahan tubuh sang istri sedang tangan yang satunya sudah sampai di bagian bawah, menyusuri lembah dan jarinya bermain kelu
Kenzo menatap tajam ke arah Edzard, kedua lelaki tersebut masih bersitegang. Mereka tengah membahas masalah pernikahan Larisa yang bagi Kenzo terkesan sangat mendadak. Edzard menyilangkan tangan, mendengarkan protes Kenzo. Lelaki tersebut mencoba untuk tenang walau sebenarnya ingin sekali memukul kepala sang sahabat agar berhenti mengomel. Helene terlihat kebingungan, merasa risih dengan Rere yang sedari tadi hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum. “Zard, otak kamu hilang ke mana?” “Astaga Ken, kalau otak aku hilang aku gila,” jawab Edzard nyeleneh. “Zard, aku sedang tidak bercanda, kalian berdua apa yang kalian pikirkan hingga akan menikahkan Larisa dengan Aarav, perbedaan usia mereka terpaut jauh, dan kalian tahu, Aarav itu lelaki brengsek,” keluh Kenzo. “Kalian duduklah sambil berbicara, lelah jika lama berdiri!” ajak Rere mempersilahkan tamu yang sudah berada di ruang tengah, ruang keluarga. Mereka kemudian duduk di sofa panjang, “Ken, dari mana kau
Kesempatan itu datang namun, ketika kembali Larisa melihat kedua orang tua kandungnya. Ada harapan besar tersirat dari kediaman mereka. Hal tersebut membuat dirinya tidak tega untuk berbuat seperti apa yang sebelumnya dia bayangkan, sakit itu terasa lebih jika sampai Risa melihat kekecewaan kedua orang tuanya. Harapan mereka membumbung tinggi, mungkin pernikahan adalah jalan terbaik. Sejauh Larisa mengintip di balik tembok sebelum dirinya berjalan masuk ke dalam ruangan. Dia sudah mendengar kedua orang tuanya tidak menceritakan apa yang terjadi di hotel. Mereka masih menutup erat perbuatan memalukannya. “Saya, menyukai Om Aarav, dan tentang pernikahan ini saya menyetujui usul Ayah,” jawab Larisa, senyum simpul menghias bibir. Senyum kebohongan yang dia tampilkan sebaik mungkin. Dia menoleh ke arah Helene dan Kenzo bergantian. Keduanya nampak kebingungan, ah itu sudah pasti terjadi. Elizabeth mungkin menceritakan hal lebih mendramatisir dari kejadian yang sebenarnya.
Aarav yang menolak mentah-mentah kemudian dengan semangatnya dia datang dan juga menginginkan pernikahan tersebut, tentu saja itu membuat Adelard dan juga Evelyn kebingungan. Sepasang suami istri tersebut saling pandang, hendak menanyakan hal mengganjal namun ragu, akibatnya sampai sarapan dihidangkan datang mereka masih berkode mata untuk saling lempar bertanya. Evelyn mengerucutkan bibir, Adelard menghela napas panjang. “Kau serius akan menikahi Larisa?” tanya Adelard kemudian. Aarav berhenti mengunyah nasi goreng, dia memandang sang ayah, “Bukankah kalian yang mendesak aku untuk mendekati Larisa?” Aarav balik bertanya. “Jika kau hanya akan menyakiti perasaan gadis muda itu, lebih baik kita urungkan rencana pernikahan kalian,” kata Evelyn. Aarav tampak berpikir sejenak, dia terbayang akan wajah ayu gadis mungil penggoda iman tersebut. tubuhnya tidak sebahenol wanita yang pernah dia kencanii, inytinya bukan type idaman lelaki tersebut. namun, entah mengapa
Di sebuah kamar luas, di mana dinding bercat putih, ada pintu jendela besar di depan balkon, tertutup tirai warna gold melambai tersapu angin lantaran jendela tidak ditutup. Hari sudah malam, semburat cahaya rembulan masuk menghujani membuat punggung polos berkeringat itu mengkilat. Sebuah ranjang ukuran besar berderit seiring gerakan di atasnya. Sepasang suami istri tengah berada dalam balutan peluh, bergumul. Posisi bersetubuh dengan gaya dogy. Sang pria menggerakkan pinggul keluar-masuk, sesekali dengan cepat lalu kemudian melambat. Tangan kanan menyelusup dari samping pinggul sang istri untuk menyentuh bagian kecil yang menonjol di bagian inti sang istri. Jemarinya bergerak dengan aktif, membuat sang wanita menggeliat dan berteriak. “Sayang, aku sudah tidak kuat lagi!” teriak wanitanya, dia menggigit bibit bagian bawah, menahan segala rasa melayang. Rambut panjang bergelombang itu terurai ke depan sebagian, buah dada yang menggantung bergoyang seiring sodokan lelaki ter
Lampu gantung led kristal bakarat, berwarna putih susu dengan kristal semakin berkilau. Lampu plafon menambah ruang tamu nan luas itu terlihat menyala benderang. Adelard sudah bersiap menunggu sang istri dengan anak-anaknya di bawah, ruang tengah. Kedatangan Evelyn dengan dress scuba dan riasan elegan yang semakin memancarkan kecantikan, membuat tertegun. Kaki jenjangnya dengan hells senada dress yang dikenakan. Wanita itu menuruni anak tangga satu demi satu, nampak sangat sexy. Paha mulus itu berkilat bersih terpancar sorot lampu. Sang suami menelan saliva, bukan hanya Adelard namun, kedua putranya pun terbengong, terpesona akan kecantikan sosok wanita berusia empat puluh enam tahun tersebut. “Wah, Ibu, kau luar biasa, tidak kalah dengan anak perawan,” ucap Delon. “Hei, mari kita berangkat sudah hampir jam sembilan, kita sudah terlalu lambat,” keluh Aarav. “Kalian berdua berangkat terlebih dahulu, nanti kami menyusul,” ujar Adelard tanpa menoleh, dia mema
Di tempat lain Kenzo Julian sudah berdiri dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Dia dan keluarga kecilnya sudah berada di kediaman Edzard, lebih tepatnya di serambi rumah. Sang empunya rumah hanya bisa pasrah melihat tingkah kekanakan yang dilakukan. Lelaki tersebut begitu posesif terhadap putrinya kini. Mereka akan menghadiri pesta rumah baru putra Akbar, namun menjadi demikian. “Larisa berangkat bersamaku,” ujar Kenzo, “aku yakin cecunguk itu pasti ada di sana, dengan kedua mata ini aku awasi dia,” lanjutnya. “Ken, keluarga Adelard akan berkunjung besok, tidakkah kau berpikir ulang tentang perbuatan kekanakanmu?” tanya Edzard. “Tapi Om Edzard, kita tidak boleh menyerahkan begitu saja Larisa kita yang imut ini kepada lelaki hidung belang tersebut dengan mudah. Biarkan kami menjaga Risa dari pandangan mesum Om Aarav,” timpal Rafael yang duduk di kursi rotan bercat putih tersebut. “Kita buat lelaki itu tidak berkutik, siapa tahu dia menyerah untuk menika