"Pasti Abang sakit hati sekali ya Bang, sama seperti Nayla, Bang. Saya juga sakit ketika tahu perasaan saya dahulu," ucap Nayla.
Kenzo yang sedari tadi memperhatikan gadis itu di ambang pintu walk in closet berjalan mendekat. Ada sebilah rasa bahagia memancar. Harapan cinta yang mungkin datang terlambat. Andai saja, andai saja rasa itu terungkap lebih awal. Kenzo semakin berjalan mendekati gadis itu. Gadis yang masih menangis memeluk bingkai potret masa lalu. Lelaki itu meraih oundak Nayla. Gadis itu sontak terkejut, dia membalikkan badan. Buru-buru satu tangannya menghapus air mata meleleh. Kenzo dapat melihat pipi sembab itu dia tersenyum kecut. Kedua tangan berototnya meraup wajah Nayla lalu menghapus sisa air mata yang masih meleleh. Kenzo menundukkan kepala, mereka saling pandang dalam diam wajah Kenzo semakin mendekat, hingga tidak ada jarak lagi
Sore hari, Edzard baru saja pulang ke rumah dengan kedua istrinya. Nampak rukun dan bahagia, yah, terlihat demikian. Namun, siapa yang tahu hati seseorang. Sakit itu terlalu nyata untuk dirasakan bagi kedua wanita yang berada di sisi Edzard. Lelaki itu paham benar, tidak selamanya dia bisa adil, sudah pasti dia menyakiti hati istri pertamanya juga hati istri kedua, evelyn wanita yang dia cinta. Edzard berencana untuk mandi, dia masuk ke dalam kamar mandi kamarnya yang juga kamar Evelyn. Saat keluar Evelyn menyambutnya dengan senyum, dia menyerahkan pakaian yang dia tenteng di tangan. Wanita itu terpesona akan ketampanan lelaki yang sah menjadi suaminya tersebut. Rambut basah Edzard, air yang di ujung rambut tersebut menetes membasahi wajah gagahnya. Evelyn tersenyum ketika Edzard meraih pakaian di tangannya. Harum shampoo juga sabun bercampur menguar mengusik indra penciuman. "Kau melamun, Sayang?" tanya Edza
Tetesan embun di pucuk dedaunan, jatuh ke tanah bersama semaraknya angin membuat gemerisik dedaunan di atas pohon. Burung mulai berkicauan, Rere terlihat duduk di depan meja riasnya, dia nampak manis dalam balutan dress warna navy berlengan motif terompet, setinggi di bawah lutut. Edzard sendiri tengah mengancingkan kemeja. Rere hang melihat segera berdiri menghampiri sang suami. "Terima kasih, Sayang," ucap Edzard, dia mengecup kening Rere usai wanita itu menyimpul dasi untuknya. Rere mengangguk, senyum sumringah mengembang di bibir. Edzard membimbing Rere dan mendudukkannya di depan meja rias. Dia membantu Rere mengeringkan rambut dengan pengering. Setelah kering, Edzard juga menyisir rambut istri pertamanya dengan pelan. Yah, begitu yang Edzard lakukan kepada kedua istrinya. Dia hanya mampu berusaha adil, meski dia paham benar tidak mungkin berbuat demikian. Edzard menarik pelan Rere yang tengah bangkit dari dud
Langit mulai cerah kembali, sinar mentari mulai memancar. Seorang gadis cantik berjalan dengan sedikit berlari ke arah gerbang. Mobil yang mengantarnya telah berlalu pergi beberapa menit lalu. Rere melenggang, berjalan santai. Dia mendelik melihat siapa yang menarik tangannya. Lelaki yang tidak asing bagi dirinya, terkejut sudah pasti. "Kau?" Rere menatap pria itu dengan kening mengernyit. "Maaf Re," ucapnya melepas cekalan. "Bang Akbar," kata Rere kemudian. "Iya, boleh kita bicara sebentar?" tanya Akbar penuh harap. Rere mengangguk, "Silahkan ikut saya ke kantin saja, di sana banyak orang. Semisal Nayla melihat nanti dia tidak akan berpikir aneh-aneh," terang Rere. Akbar mengangguk, dia mengikuti langkah Rere menuju jendela sebuah kantin. Keduanya duduk di samping jendela. Mereka saling pandang diam se
Langit begitu gelap, rintik hujan yang turun sejak tadi cukup membasahi kota A. Edzard baru saja pulang dari luar kota. Dia sendirian, yah sendiri, untuk pertemuan di luar kota ini Edzard berangkat dengan Kenzo sore tadi. Jalan masih ramai, lalu lalang kendaraan umum masih terlihat di bawah guyuran gerimis. Matanya menyipit ke arah sebuah halte, dimana ada seorang wanita menggendong seorang anak di pangkuannya. Edzard tahu benar siapa wanita tersebut. Dia menepikan mobil di sebarang jalan. "Helene, malam-malam begini apa yang dia lakukan," bisik Edzard di dalam hati masih memperhatikan dengan seksama. Ingin berhenti, dia kebingungan, takut ada salah paham, lelaki tersebut kemudian berpikir sebentar. Mengingat halte itu dekat dengan kediaman Angel. Edzard dengan mantap menghubungi wanita itu. Keraguan yang dia rasa ditepis mengingat seperti melihat wanita yang menggendong seorang anak itu tampak menangis. D
Rere terbangun dari tidurnya, merasa tenggorokan kering, dia terbatuk. Wanita itu kemudian keluar kamar membawa gelas bening yang telah kosong. Dia hendak mengambil air minum. Langkahnya terhenti, begitu mengejutkan pemandangan yang meluapkan rasa sesak bercampur panas di dada, melihat suami dengan madunya sedang bercumbu mesra di dapur. Tanpa sengaja Rere melepas genggaman, membuat gelas yang dibawa jatuh ke lantai. Prang! pecahan gelas kaca itu menyebar di lantai. Tubuh Rere tiba-tiba lemas pikiran kacau, luruh air mata secara mendadak. Wanita muda itu segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Edzard dan Evelyn yang tengah bercumbu kasih terkejut mendengar benda terjatuh. Mereka menoleh ke arah suara. Hanya terlihat punggung Rere berlalu pergi. Evelyn menatap Edzard dengan ekspresi terkejut. "Pergilah Bang, susul Rere, jangan sampai dia merasa sakit hati karena perbuatan kita," ucap Evelyn merasa bersalah.
Udara dingin malam masuk lewat ventilasi. Rere setulus hati meminta maaf kepada sang suami atas tindakan kekanak-kanakan yang tidak memikirkan posisi sang madu. Dua wanita yang sebenarnya sama-sama merasa sakit hati. "Tidak bukan kau yang bersalah tapi aku," kata Edzard. "Abang yang kurang bisa menjaga diri dan bertindak adil," sela Edzard menghentikan ucapan Rere. "Tidak Rere yang bertindak kekanak-kanakan, tidak berpikir secara dewasa." Gadis tersebut mendongak. Netra sepasang suami istri itu saling bertemu. "Kau baik-baik saja?" tanya Edzard. Rere tersenyum, "Ya, saya sekarang baik-baik saja. Pergilah temui Mbak Eve, Bang. harusnya malam ini adalah malam kalian berdua bukan," ucap Rere dengan linangan air menggenang di pelupuk mata. Edzard membimbing sang istri berbaring di tempat tidur. "Tidurlah!" perintah Edzard. &nb
Saat jam makan siang, Edzard mengajak Eve dan Rere makan siang di sebuah resto, salah satu cabang milik perusahaan Edzard. Ketiganya makan dengan tenang. Edzard bangkit dari duduk membuat kursi yang diduduki berderit. Kedua istrinya memandang ke arah Edzard. Lelaki itu tersenyum, menoleh ke arah Rere juga Evelyn secara bersamaan. "Abang ke dalam dulu melihat pembukuan resto," ujar Edzard. "Iya, Bang," jawab Rere,sedangkan Evelyn hanya mengangguk dan tersenyum. Edzard melenggang pergi berjalan masuk ke dalam meninggalkan kedua istrinya. Hiruk-pikuk orang berlalu lalang membuat suasana semakin ramai. Rere menatap Evelyn dengan canggung, dia hendak mengutarakan isi hati namun kebingungan. Evelyn tidak se
Suasana terlihat sedikit memanas antara para wanita yang bercengkrama. Edzard meminit pelipis dengan kedua ujung jari. Rasanya sangat penat, lelah, mendengar ocehan ke empat wanita di sampingnya. Seperti tidak ada lelahnya jika mereka membahas sesuatu yang Edzard anggap tidak terlalu penting. Lelaki itu melirik ke arah jam di tangan, hampir menunjukkan pukul satu siang. Saat Edzard hampir berpamitan. Terdengar suara khas anak kecil. "Mama." Sekali lagi panggilan tersebut terdengar. Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Helen bangkir dari duduk dan berjalan mendekat. "Iya Sayang, Mama ada disini," ucap Helene. Edzard menatap ke arah kedua istrinya, dia mengangkat tangan kanan lalu mengarahkan jari telunjuk ke arah jam tangan yang dia pakai. Rere beserta Evelyn yang duduk berdampingan saling pandang, lalu mengangguk. Mereka bangkit secara bersamaan. "Ka