Share

Bab 7-On The Way Jadi Babu

Bunga memarkirkan motornya di depan rumah sewa Danik. Rumah sewa sepupunya itu berada di lantai atas, jadi motor di halaman pemilik kost harus digembok, takut hilang meskipun hanya jalan setapak sempit berhampiran sungai. 

"Makin kurus aja, Na. Orang tuh rebahan di rumah makin nambah berat badan, lho."

Kalau bukan Danik satu-satunya makhluk yang dia kenal di kota metropolitan yang mengatakan ini, pasti Bunga akan marah karena telah mengalami body shaming tetapi dia tahu arti ucapan sepupunya itu karena memang seperti itulah yang terjadi. Bobot tubuhnya makin menyusut karena stres. "Ya gitu lah. Udah pendek, kurus. Astaga nggak ada bagus-bagusnya, ya, aku ini," keluh Bunga.

"163 sentimeter pendek? Apa kabar aku yang 160 nggak nyampe. Shampo sasetan kali?"

Bunga hanya meringis. 

Sebenarnya Bunga itu cantik, saat tubuhnya berisi, rambutnya hitam bergelombang. Pipinya chubby, hidungnya mancung, tapi mungil, bentuk bibirnya tipis, mirip-mirip Yoon Eun Hye. Bunga saja tidak tahu siapa artis Korea yang dimaksudkan Danik. Katanya pernah menjadi lawan main Gong Yo. Berarti sudah tua. Apakah mungkin muka Bunga boros? Masa bodoh!

"Okelah, kita mau bahas kerjaan, kan? Bukan bentuk badanku yang setipis triplek ini. Jadi di mana lowongan kerjanya?" tanya Bunga yang sudah begitu penasaran. Walaupun dia harus ke Tangerang dari Bekasi pun akan dijalaninya, asal dia bisa bekerja kembali. Konon, gaji pabrik di Bekasi lumayan. 

"Hmmm ... gini, Na." Danik terlihat ragu, dia menggigit bibir bawahnya, seolah memilih kata yang tepat untuk disampaikan pada Bunga. "Kerjaannya bukan di cafe, maksud aku nggak ada hubungannya dengan makanan."

"Terus?"

Lagi-lagi Danik diam, sepertinya benar-benar berat untuk mengeluarkan kalimat itu. "Aku bukannya mau merendahkan kamu, Dek. Tapi ...."

Seperti ada lampu yang menyala di kepala Bunga. Dari Na, jadi Dek. Pekerjaan apa gerangan?

"Mbak Dan, aku nggak se-desperate itu, ya. Aku tetep cari kerjaan yang halal," seru Bunga. "Apa sajalah."

"Ih, dengar dulu, kerjaan ini halal. Ehm... jadi begini …."

"Mbak Danik! Woi, aku sampai ngantuk ini."

"Woi! Raihana Bunga!" Giliran Danik tertawa keki sambil menautkan jemarinya. 

"Apa, Mbak Danik?" Bunga naik bosan menunggu apa yang dikatakan Danik. Gadis itu pura-pura menguap. 

"Ada lowongan, tuh."

"Iya, lowongan apa? Aku kalau jadi calo lagi ogah." Setelah berhenti kerja di sebuah kafe, memang dia pernah terjerumus menjadi seorang calo. 

Bunga pernah ikut jadi calo. Calo pembagian sembako murah dan daging murah. Satu karcis 5 ribu perak. Itu sangat menjungkalkan nalarnya sebagai peraih medali emas olimpiade Biologi tingkat provinsi. Lima ribu perak di Jakarta bahkan tidak cukup untuk beli makan. Hanya es teh yang rasanya tawar karena kurang gula. 

Angan-angan untuk kuliah, menjadi wanita karir, membeli rumah di usia muda sirna sudah. Tabungannya sudah habis hingga menyisakan saldo seratus delapan puluh ribu rupiah saja. Kalau sebulan lagi dia tidak mendapat pekerjaan, Bunga akan jadi gelandangan.

Tidak mungkin terus menerus merepotkan  Danik. 

"Kerja apaan, Mbak. Janji halal dan bisa nyambung hidup, aku, sih, yes."

"Ehmmm, gini …." Danik menyeret kursi di ruang makan. Kursi dari bahan plastik itu berderit ketika menggaruk lantai keramik. "Bosnya Mas Faizal punya teman, nah temannya ini lagi nyari, ART." Danik menggigit bibirnya sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Dia mau yang bisa dipercaya, karena nanti kunci rumah bakalan dikasih sama yang bersih-bersih. Dia jarang ada di rumah soalnya."

"Kerjaannya jadi ART?"

Danik mengangguk, "Tapi kalau kamu nggak mau nggak papa. Aku nawarin ke kamu karena gaji yang ditawarkan lumayan. Dan kamu cuma perlu bersih-bersih rumahnya dua hari sekali. Tapi, kalau kamu nggak mau juga nggak pa—”

"Tukang bersih-bersih. Maksudnya ART? Asisten Rumah Tangga?" Meskipun terkejut, Bunga harus memberikan perhatian lebih terhadap penawaran dari sepupunya itu. Siapa tahu bosnya nanti selebriti. Lumayan, kan? "Rumah tangga siapa yang harus aku bereskan? Artis?"

"Bukan rumah tangga artis. Ah, kamu ngaco. Temannya bos-nya, Mas Faizal. Orang biasa, tapi orang kaya gitu."

"Orang biasa tapi kaya?" Bunga sedikit kesal. Danik tidak memberikan penjelasan yang cukup. "Kira-kira bisa mengaji sesuai UMR, nggak?"

"Jadi kerja kamu nggak full, Raihana Bunga. Kamu kerja paling berapa jam dalam seminggu. Soal gaji, aku bilang lumayan. Kamu bisa nego sama yang punya rumah itu kalau merasa kurang."

"Jadi belum jelas gajinya berapa?" Bunga berdecak. Namun, tidak mungkin dia menolak penawaran itu dan berlaga sok keras.

Meskipun terbiasa mandiri di rumah, tetapi tidak terbayang menyapu, mengepel rumah orang lain. Dia bahkan pernah melihat seorang majikan yang mengecek meja dan perabotan dengan cara mencolek dengan jari. Jika berbunyi "pret" bermakna semua perabotan bersih. Akan tetapi, jika jari tergelincir saat mencolek perabotan itu siap-siap saja si ART dibentak-bentak oleh sang majikan. 

Seperti apa kira-kira majikannya nanti. Jika, dia benar melamar kerja di sana.

"Gimana, Na?" tanya Danik, lagi-lagi membangunkan Bunga dari lamunan.

"Ya?"

"Kamu mau nggak mencoba interview untuk menjadi tukang bersih-bersih di rumah temannya bos-nya, Mas Faizal?"

Ngomong-ngomong Mas Faizal adalah pacarnya Danik. Danik dahulu alim saat masih di kampung. Pacaran adalah hal terlarang. Namun, sejak kerja di Jakarta, gadis itu menjadi sedikit bebas. Tidak sampai liar, sih. 

"Woi!"

"Maulah. Aku perlu uang. Aku hanya takut kurus, ntar dikira cacingan." Tiba-tiba terdengar suara gaduh berasal dari perut Bunga.

"Serius?" ulang Danik. 

"Lha, iya. Aku bilang janji halal." Lagi-lagi terdengar suara gaduh berasal dari lambung Bunga. Cacing dalam perutnya melakukan kudeta. 

"Laper itu. Makan sana, beli di warung lauknya." Danik menyodorkan uang berwarna biru. Biru asli bergambar pahlawan penggagas deklarasi Djuanda. 

"Nggak! Eh, iya. Maksudnya nggak usah kasih duit terus. Aku malu, Mbak. Aku bisa goreng telur. Mbak punya telur, kan?" 

Bunga langsung beranjak dari kursinya dan berjalan menuju dapur milik Danik yang sudah dihafalnya. Dia membuka kulkas hanya ada air mineral dan beberapa telur di dalamnya. Bunga menghembuskan napas dan memilih membuatkan telur dadar untuk dirinya sendiri. Dia yakin Danik akan menolak telur buatannya. Dari Senin hingga ke Sabtu bau telur dengan berbagai versi sudah memenuhi cuping hidungnya. Setelah matang dia mengambilkan nasi putih dan memberi sedikit kecap asin.

"Kapan aku bisa makan, makanan enak buatan kamu, Na."

"Ntar, kalau aku dapat majikan sultan."

Danik sedang menyindirnya. Gadis yang tujuh tahun lebih tua dari Bunga itu selalu membawa makanan ke kosan. Meskipun tidak mewah, setidaknya mengandung protein hime yang bagus untuk mendongkrak imunitas tubuh. Namun, karena malu, Bunga lebih sering menolaknya. Termasuk keinginan orang tuanya untuk mengirimkannya uang. Karena itu, dia justru menonaktifkan nomor ponselnya, dan mengganti dengan nomor baru. 

"Aamiin."

Bunga menyenggol siku tangan Danik pelan. "Doain, ya, Mbak."

"Iya. Apa perlu aku antar besok? Aku bisa ambil cuti."

"Nggak usah. Kan, ada map."

"Kamu lucu makan sambil senyum-senyum."

"Gini-gini aku on the way jadi bubu, ya. Harus dirayakan dengan tertawa sampai deal." Bunga tergelak besar.

Sebentar lagi dia akan mengakhiri masa-masa berat dalam hidupnya. Setelah dua bulan menganggur, Bunga akan kembali bekerja. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mengecek saldo saat akhir bulan, Bunga rindu gajian! Salah satu hikmah minggat adalah, dia menjadi menghargai uang. Meskipun nantinya uang itu dihasilkan dari menjadi, babu!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
sabar bunga... perjalanan hidupmu pasti berat tapi disukuri aja daripada nikah dgn pria beristri yg suka selingkuh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status