Share

Bab 6-Tawaran Menjadi ART

Enam bulan kemudian ….

Alfian menghela napas berat kemudian membanting tubuh di atas sofa rumahnya. Dia baru saja membukakan pintu untuk Brian. Wajahnya terlihat begitu lelah. Bukan hanya Alfian, Brian dan juga semua pekerja sektor industri sepertinya pasti merasakan hal yang sama. Semenjak krisis menghantam Indonesia, mereka semua harus bekerja lebih keras karena rupiah terus melemah. Menyebabkan belanja perusahaan membengkak di tahun ini. Semua itu berkerumun mengepung Indonesia.

Akhir pekan ini, Alfian pulang ke Jakarta. Bahkan, meskipun bukan jadwal libur Alfian menyempatkan diri pulang karena neneknya semakin rewel dan menuntutnya untuk sering-sering berada di Jakarta. Bahkan menganjurkan untuk tinggal di Jakarta saja. Dia bisa saja pulang pergi Jakarta-Cilegon, tetapi bukan itu keinginan neneknya. Apa yang diinginkan perempuan tua itu adalah Alfian melepaskan pekerjaannya di BUMN. Hanya saja, Alfian belum bisa melepas apa yang menjadi minatnya.

"Mau minum apa, lo? Biar gue ambilkan," tawar Alfian. "Tumben kelayapan sampai sini?"

"Ada, deh. Bukanya lo suka kalau gue tengok," sahut Brian. "Si Mbok mana?" tanya Brian, saat dia melihat asisten rumah tangga Alfian yang biasanya selalu menyapanya dan membawakan makanan atau minuman.

"Mbok berhenti kerja, anaknya bilang bahaya kerja sama gue."

"Huh, bahaya?" Brian justru tertawa terbahak-bahak. ART yang kadang Nyambi jadi baby sitter memang berbahaya

"Ya, gue maklum, sih, ketakutan mereka. Tempat paling banyak polutan di Indonesia adalah Jakarta dan Cilegon. Si Mbok bolak balik gue bawa ke sana sini. Mereka takut, si Mbok kena pneumonia akut. Duh, gedeg gue. Emang si Mbok, gue suruh ngekepin ceroboh asap! Nggak, kan?" jelas Alfian kesal.

"Jadi lo nggak ada yang bantuin di rumah?" tanya Brian.

Alfian menggeleng. "Gue bingung siapa yang mau bantuin beresin rumah. Siapa orang yang mau gue bawa ke Cilegon kadang ke Jakarta juga. Cucian kolor gue udah numpuk."

"Cuci sendiri nggak bisa? Bagi laundry."

Alfian memandang Brian. "Gue udah capek banget di mikir air. Kalau libur gini pengennya istirahat total bukan ngurusin cucian kolor. Nggak ada laundry yang terima cuci sempak!"

"Cuci sambil mandi." Brian masih mencoba memberi usulan.

Alfian mendesak sebal. "Lo kenal orang yang bisa bantu gue nggak?"

Sejak lama Alfian sudah mempercayakan semuanya pada Mbok Sarni, asisten rumah tangga yang dulu dicarikan oleh neneknya. Mbok Sarni sudah ikut dengan Alfian selama tujuh tahun. Pekerjaannya rapi dan terpercaya. Ada rasa sedih saat Mbok Sarni mengikuti keinginan anaknya untuk berhenti kerja dari rumah Alfian, tetapi dia juga tidak bisa melarang.

"Yahhh, nanya sama gue, coba tanya nenek lo. Atau, Gina," jawab Brian.

"Udah, dia juga nggak punya kenalan, yang bantuin di rumahnya juga cuma satu, nggak mungkin bantuin rumah gue juga. Lagian lo tahu sendiri suaminya nggak suka sama gue."

Brian mencibir. "Lagian si Gina genit-genit sama lo. Dulu bilangnya nggak suka sama lo. Saat tahu lo dapat jatah lumayan dari nenek, dia baper. Sekarang sudah nikah, eh, malah kayak ngedeketin lo mulu. Ada untungnya lo kerja di Cilegon."

Alfian meminta Brian untuk tidak membahas masalah itu. Dia sudah cukup pusing dengan situasinya sekarang. "Coba tanyain istri, lo. Siapa tahu dia ada kenalan yang bisa bantu gue. Yang kerjanya rapi, orangnya sehat, bisa dipercaya juga. Kalau bisa yang udah berumur."

"Kenapa kalau yang mudaan?"

"Biasanya sibuk main hape mulu. Kerajaan juga ngasal. Duh, males gue."

"Banyak banget kriteria, lo. Udah kayak nyari istri aja," sindir Brian.

"Berisik, lo!"

"Beneran? Gue cariin daun muda, nih, biar kapok!"

"Terserah! Gue bukan stay di Jakarta tiap hari."

"Gue minta tolong sama Faizal. Lo ingat dia, anak finance di perusahaan kita? Waktu itu dia tanya kalau ada lowongan apa di perusahaan. Katanya saudara dari pacarnya dari kampung ada yang butuh kerja. Office girl juga mau."

"Terserah! Meskipun gue nggak yakin. Bocah kampung jaman sekarang gayanya sadis minta ampun. Asli …." Alfian geleng kepala.

***

Di awal-awal keinginan untuk minggat muncul, Bunga sudah memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dia hadapi. Apa yang paling membuat hatinya miris adalah kelaparan. Uang yang ia punya sudah habis sama sekali. Kota metropolitan itu seperti mulut penyedot sampah raksasa mengambil alih duitnya.

Bunga mulai mencongak. Hanya untuk makan saja, dia bisa habis 30 ribu. Dia merindukan nasi kucing tiga ribu rupiah di kantin dekat sekolah. Soto bebek tiga ribu. Gorengan dua ribu dapat tiga biji. Es teh jumbo dua ribu.

Namun, Bunga melarang dirinya untuk mengeluh, karena lebih banyak yang merasa lebih sulit daripada dirinya. Setidaknya, ada keluarga sepupu jauhnya yang siap menampungnya jika dia benar-benar terusir dari kos sempit miliknya. Meskipun harus tidur di depan televisi. Akan tetapi, lama kelamaan, rasanya dia sudah tidak lagi punya kekuatan untuk dirinya sendiri. Dia capek di rumah saja, uang tabungannya sudah banyak terkikis. Tidak mungkin menjual motornya. Surat-suratnya tertinggal di rumah. Hendak melamar kerja ke pabrik, ijazah SMP-nya tidak laku. Ijazah SMA belum keluar. Cap tiga jari saja belum. Huaaaa ….

Bunga mengendarai motornya, sebuah motor matic karbu keluaran tahun 2010. Hadiah dari bapaknya saat Bunga masuk sekolah menengah atas. Motor itu menemaninya menembus derasnya hujan. Pukul empat sore tadi, ibu kos menelepon, meminta Bunga menjemput putrinya dari tempat les. Ibu kos takut putrinya terjebak hujan hingga membuat mogok les esoknya.

Saat setengah perjalanan menuju tempat les, ponsel Bunga berdering, panggilan masuk dari Danik sepupunya. "Ya, Mbak?"

"Kamu di mana? Masih hidup?"

"Jemput anaknya Bu Kost di tempat les," jawabnya. Otak Bunga sedikit lambat loading. Sambil menjawab telepon sembari berpikir jalan mana yang lebih cepat untuk sampai ke sana.

"Aku ada lowongan kerja, nih. Kamu mau nggak?"

Mendengar ucapan Danik itu, Bunga langsung menanggapi dengan heboh. "Mau, Mbak Dan. Di cafe mana?"

Tidak terdengar suara Danik di seberang sana, membuat Bunga ciut nyali. Dia buru-buru menepikan motornya mengecek ponselnya, memastikan apa panggilannya itu masih tersambung. "Mbak Dan? Kamu masih di sana kan?"

"Kamu lagi jemput anaknya ibu kost, ya. Aku lupa. Kita omong, ntar, aja. Ntar, kamu ke rumahku. Hati-hati di jalan, habis hujan ini."

"Ini aku lagi menepi. Buruan, lowongan apa, Mbak?"

"Eh, iya. Bukan di cafe, sih."

"Di rumah makan? Warteg?" Bukan Bunga rewel. Meskipun kerja di rumah makan itu penat luar biasa, tetapi ada skill yang didapatkan secara cuma-cuma. Pengetahuan memasaknya bertambah. Selain itu, gizi untuk perutnya terjamin.

"Bukan juga."

"Terus?"

"Kita ketemuan aja deh, biar enak ceritanya."

Bunga langsung mengiyakan ajakan Danik. Dia menutup telepon itu dengan suasana hati bahagia. Hatinya membuncah penuh harap kalau dia akan segera mengakhiri masa-masa menjadi pengangguran. Dulu rebahan terasa nikmatnya, tetapi tidak untuk hari ini dan hari-hari mendatang. Bunga tak ingin menjadi generasi yang menjadi beban negara.

Dia harus segera kerja, kerja, kerja!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
akhirnya dpt kerjaan .tapi PRT...........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status