Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum
Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian
Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir
Kriet!Suara pintu berderit nyaring saat Bunga mencoba membuka pintu kamarnya. Dia sengaja lewat pintu belakang karena di rumahnya sedang ada tamu. Beruntung juga dia tidak naik motor, karena ban motornya kempes. Bunga menumpang temannya, anak tetangga sebelah rumah. "Siapa tamunya?" tanyanya pada sang kakak. "Au!" "Eh, kok, ngambek?" Bunga melirik ke arah kakaknya yang menampilkan wajah bermuram durja bagaikan langit hendak turun hujan. "Sakalepmu!""Sakarepmu itu apa, ya?" tanya Bunga. "Mbuh a!""Ya, wis. Ana mau bobok."Bunga lantas mencampakkan tas ranselnya ke atas meja belajar. Bunga penat luar biasa karena beberapa pelajaran tambahan. Yah, dia kelas dua belas yang sebentar lagi melaksanakan Ujian Nasional. Bunga langsung merebahkan diri di atas kasur empuk yang setiap hari dia kongsi bersama sang kakak tanpa perlu melepas seragamnya. Sejak kakaknya yang memiliki keterbatasan itu menjadi janda mereka kembali tidur satu ranjang. "Awakmu dila-mal!"Kelopak mata Bunga yang h
Duhai, senangnya pengantin baruDuduk bersanding, bersenda gurauAduhai, senangnya pengantin baruDuduk bersanding, bersenda gurau .…Itu hanya penggalangan lagu qasidah yang sepertinya mengejek kisah hidup Bunga yang penuh duka nestapa. Bagaimana tidak, seminggu yang lalu dia selamat diijab qobulkan dengan Mas Hamzah. Ijab qabul secara siri karena usianya belum delapan belas tahun. Kurang sedikit lagi. Ya Allah, geram sekali Bunga. Dia tidak ridho, hak dan martabatnya sebagai perempuan merasa diinjak-injak. Meskipun sah di mata Allah, tapi pernikahan siri itu membuat nilai tawar perempuan dan anak yang akan dilahirkan nanti berada pada titik terendah. Bukan, Bunga sok feminis. Ini demi masa depan generasi penerus bangsa agar tetap waras, tegas Bunga sangat patriotik. Pusing!Tepatnya, dua hari setelah Ujian Nasional pernikahan sakral itu dilaksanakan. Bunga meraung-raung sambil menjambak rambutnya yang sudah rontok segenggam akibat Ujian Nasional, ditambah segenggam lagi karena saa
Setelah berhasil membuang perhiasan milik Umik dan istrinya ke selokan yang masih di kawasan dalam pondok, Hamzah bergegas ke luar kamar. Di sana beberapa perewang—orang-orang yang membantu prosesi resepsi tampak berkerumun. "Tadi aku lihat. Ada bocah perempuan bawa seragam hitam putih. Bawa tas-tas para tamu. Tak pikir bocah sinoman," ujar Mbokde penjaga tas. "Bocah sinoman seragamnya biru telur bebek, Mbokde!" ujar satu suara sambil berdecak."Mbokde nggak ingat wajahnya?" tanya yang lain. Sepertinya ketua pemuda karena membawa walkie talkie."Bocah e ayu. Pakai lipen merah ungu. Namanya Menuk.""Menuk?""Iya. Ngakunya Menuk gitu.""Menuk itu, ya, Raihana Bunga. Menuk itu julukannya waktu kecil. Soalnya dia gemuk ginuk-ginuk." Satu suara menyahut. "Sekarang cantik. Langsing. Apa, ya, singset lencir kuning. Tinggi semampai.""Hust! Sudah-sudah! Bubar!" teriak Hamzah.Ilham datang dengan tergopoh-gopoh. Suara lagu qasidah yang sejak tadi mengiringi suasana pagi menuju siang kini b
Sejak tadi ponsel di kantong roknya bergetar. Bunga tidak tahu siapa saja yang menghubunginya. Mungkin Bapak, Ibuk, Mbak Hanik, atau bisa juga Ismail. Namun, karena perjalanan baru sekitar sepuluh menit, Bunga tetap melanjutkan laju motornya. Dia memecut motor matic-nya dengan kecepatan tinggi menuju ke arah barat. Jalanan berkelok-kelok dan beberapa kali dia berusaha menyalip bus besar jurusan Jakarta maupun minibus untuk memberi jarak dari kampung halamannya. Dia tidak yakin kalau bisa lolos begitu saja dari suaminya. Mungkin saja, Mas Hamzah mengirim seseorang untuk mengikutinya. Drat! Drat! Drat! Ponselnya kembali bergetar. Kali ini getaran bertubi-tubi seperti gempa tektonik menginvasi ponselnya yang akhirnya membuat Bunga menepikan motornya. Ternyata dia sudah sampai di daerah Karang Gede. Tidak terasa satu jam berlalu dan di hadapannya kini sebuah patung kudu yang sedikit usang menjadi penanda sudah memasuki wilayah perbatasan Salatiga, Boyolali dan Kabupaten Semarang. Bun
Bunga mengetuk-ngetuk kursi kayu yang sudah satu jam lebih dia duduki. Beberapa kali gadis itu menguap karena tadi malam tidak tidur. Suasana pondok sudah ramai karena ada beberapa kyai datang untuk mendoakan pernikahannya. Pernikahannya dengan Mas Hamzah. Bukankah tadi, Ismail mengirim video. Namun, karena jaringan yang terkendala vidio hanya muter-muter. Cepat-cepat, Bunga kembali membuka pesan dari sahabatnya itu. Vidio dari Mas Mantan. Mas Mantan? Eh, biar betul. Video itu akhirnya muncul. Wajah merah pada Hamzah sedang menuding-nuding ke arah Pak Khosim. Mas Hamzah mengucapkan talak tiga dengan sekali tarikan napas. Luar biasa. Dan yang lebih dahsyat suaranya ketika melaknat Bunga. "Saya do'akan kamu nggak laku, Raihana! Jadi perawan tua seumur hidup!"Saya do'akan kamu nggak laku, Raihana. Jadi perawan tua seumur hidup, ujar Bunga mencoba mengulang apa yang dikatakan mantan suaminya. "Nonton drama azab, ya? Kok, ada maki-maki gitu." Alfian ikut duduk di samping Bunga. Tubuh