Share

Bab 4-Touring

Sejak tadi ponsel di kantong roknya bergetar. Bunga tidak tahu siapa saja yang menghubunginya. Mungkin Bapak, Ibuk, Mbak Hanik, atau bisa juga Ismail. Namun, karena perjalanan baru sekitar sepuluh menit, Bunga tetap melanjutkan laju motornya. Dia memecut motor matic-nya dengan kecepatan tinggi menuju ke arah barat. Jalanan berkelok-kelok dan beberapa kali dia berusaha menyalip bus besar jurusan Jakarta maupun minibus untuk memberi jarak dari kampung halamannya. Dia tidak yakin kalau bisa lolos begitu saja dari suaminya. Mungkin saja, Mas Hamzah mengirim seseorang untuk mengikutinya.

Drat! Drat! Drat!

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini getaran bertubi-tubi seperti gempa tektonik menginvasi ponselnya yang akhirnya membuat Bunga menepikan motornya. Ternyata dia sudah sampai di daerah Karang Gede. Tidak terasa satu jam berlalu dan di hadapannya kini sebuah patung kudu yang sedikit usang menjadi penanda sudah memasuki wilayah perbatasan Salatiga, Boyolali dan Kabupaten Semarang.

Bunga memandangi patung kuda yang berada di bundaran itu sekilas. Dahulu, saat pertama kali lewat, dia menduga itu adalah patung Pangeran Diponegoro. Ternyata, itu adalah patung Pangeran Prawirodigdaya atau Raden Tumenggung Prawiradigdaya yang membantu perjuangan Pangeran Diponegoro. Seorang bupati Gagatan. Dulu, Karanggede adalah karesidenan. Itu menurut cerita dari almarhum eyang.

Bunga telah melakukan perjalanan selama hampir satu jam. Nantinya, dia berniat beristirahat dan melaksanakan sholat di sekitar stasiun pengisian bahan bakar. SPBU Cengkek. Di sana luas area parkirnya, ada juga tempat makan. Namun, tangannya gatal ingin membuka ponsel.

Ya, karena ponselnya masih saja bergetar. Bunga akhirnya menyeluk kantong roknya untuk mengambil ponsel.

Pesan yang jumlahnya sangat banyak sekali. Panggilan telepon dari banyak nomor. Semua itu membuat Bunga meringis. Gadis itu membuka semua pesan satu persatu.

Istrinya Pak Khosim: Nduk, di manapun kamu berada? hati-hati. Ibuk njuk ngapuro. Minta maaf salah bapak sama ibuk.

Tanpa dikomando, ada rintik air yang berbaris di pipi ranum milik Bunga. Gadis itu terisak-isak. Cepat-cepat dia menghapus air matanya dengan ujung kerudung ketika aksi sesenggukan itu membuat seorang pengendara motor sampai menoleh.

Mbak Hanik: Hati-hati di jalan. Tetap eling marang Gusti Allah. Mbak senantiasa mendoakan kamu, Na.

Mail: Nyoh, vidio dari Mas Mantan. Nikmati hidupmu, Na. Ojo lali komisinya, ya. Satu lagi, Na. Opo kamu maling perhiasannya, Umik?

Maling?

"Eh, si Mail-Ismail minta disunat ini," getus Bunga begitu membuka pesan dari sahabatnya. Gadis itu langsung membuat panggilan, tetapi hanya kehampaan yang dia dapatkan.

Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Bunga mulai khawatir karena ada seseorang yang mengawasinya terus menerus. Dia bergegas menyalakan motornya dan melaju ke arah Salatiga.

Saat sampai di sebuah simpang menuju stasiun pengisian bahan bakar, motornya bersenggolan dengan rombongan touring sehingga terjadilah sebuah kecelakaan kecil. Motor milik Bunga tiba-tiba mogok dengan bagian depan penyok.

Keributan kecil itu akhirnya membesar secara perlahan-lahan karena sosok yang bersenggolan dengan motor Bunga merasa tidak bersalah.

"Mas, sampeyan iku salah. Nabrak, kok, nggak mau tanggung jawab."

"Kamu yang kasih sein tiba-tiba. Gue udah usaha nggak ingin nabrak."

"Lho, kok, ngeles. Udahlah nabrak. Resiko orang touring itu capek. Mas e ngantuk kali. Hayo, ganti rugi."

Lelaki itu, Alfian mendengkus kesal. Dia berjalan menghampiri rombongannya yang mulai mencari tempat parkir di sekitar stasiun pengisian bahan bakar di daerah Salatiga itu. Dia bahkan pura-pura memejamkan matanya karena mendengar omelan cewek dengan lipstik norak yang mengaku motor buruknya tertabrak Vespa miliknya. Sungguh modus murahan untuk mengajaknya berkenalan.

Licik! Licin! Lucu! Modus tiga L.

"Woi, Mas, ini nggak bisa ditinggal gitu aja!" teriak Bunga nyaring seperti peluit.

"Ya sudah, maunya lo apa? Ayo ke bengkel biar kita tahu motor lo kenapa bisa berhenti mendadak."

"Udah jelas mbok tabrak, Mas e!" kesal Bunga. "Nggak usah pake lo gue. Sok nasionalis. Eh, sok dari Jakardah padahal orang mana, sih?" Bunga lupa plat depannya A belakang setelah angka O itu dari mana asalnya. Au, ah, pusing.

"Mendingan bawa ke bengkel. Ayok saya antar," ujar seseorang yang tiba-tiba ikut masuk ke dalam pertikaian itu. Seorang mas-mas yang 'wow' mirip artis Turki. Tinggi, putih, brewokan. Duh, lemah. Bunga silau melihat mas-mas itu. Mas yang menyenggol motornya juga ganteng tapi senewen persis emak-emak lupa bayar cicilan panci.

"Halah, Ru. Ini cewek ABG tengil lagi caper. Males. Dari tadi diajak ke bengkel malah asyik minta ganti rugi nggak masuk akal."

"Lha, Mas e tadi nabrak. Motor saya, penyok. Terus saya deg-degan. Traumatis gitu. Itu mahal, dong, ongkosnya ke dokter. Psikolog."

Lelaki yang baru saja menghampiri mereka tampak menahan tawa. Dia sampai memalingkan wajahnya. Mimpi apa Alfian berurusan dengan bocah Gen Z yang pasti sedikit-sedikit masalah mental yang diagung-agungkan.

Masalah mental health, konon.

"Alfian, mendingan kamu turuti. Kita nunggu di sini." Lelaki itu menyodorkan hasil pencariannya untuk bengkel yang menyediakan montir online.

"Ribet banget. Mimpi apa gue." Sambil ngedumel, lelaki bernama Alfian menyambar ponsel yang disodorkan sahabatnya. Lelaki itu tampak mengajak bicara si milenial sableng. Gadis ingusan yang bibirnya bekas lipstik seperti habis kena gampar.

Setelah menunggu lima belas menit, dua orang dengan seragam khas bengkel datang menepi. Mereka segera memeriksakan motor matic milik Bunga.

"Ini harus dibawa ke bengkel," ujar montir.

"Tuh, aku bilang juga apa. Parah!"

"Nggak parah juga. Tapi ada yang harus diganti. Ada di bengkel," ujar si montir tersenyum.

"Tuh, aku bilang juga apa, Mas e." Bunga masih saja ngeyel.

"Itu nggak perlu nginap, kan? Ada sparepartnya di bengkel?" Sosok sahabat Alfian ikut mendekati motor milik Bunga.

"Ada, Mas. Tenang saja. Satu jam bisa siap."

Alfian mendelik pada gadis sableng yang lebih mirip oknum pencari kerja itu. Kemeja putih, rok hitam. Dia langsung menyalakan vespa matic keluaran terbaru yang dia digunakan untuk touring.

"Ayo, naik! Pakai bengong lagi."

"Sabar. Aku pakai rok." Rok hitam berbentuk A line itu memaksa Bunga duduk menyamping.

"Bisa nggak lo duduknya nggak gitu. Itu bahaya. Nggak seimbang."

"Aku malu. Dalamnya cuma sampai lutut. Kakiku kemana-mana. Aurat, Mas e! Ngaji fikih, nggak? Darurat ilmu!"

"Cerewet!"

Alfian cepat menambah gas secara mendadak, membuat Bunga menjerit karena bokongnya hampir merosot ke belakang. Dia cepat-cepat mencengkeram bahu Alfian. Ketika sampai di sebuah jalan yang lumayan menanjak Vespa itu menjadi pelan kembali.

"Mas, motornya ini baru, ya? Eh, tapi vespa itu spec-nya memang nggak bisa buat touring, lho. A itu plat mana, Mas? Banten, 'kan?"

"Siapa bilang vespa nggak bisa buat touring. Lo, bilang gitu berarti lo payah. Cupet ilmunya."

Bunga cepat menabok bahu Alfian dari belakang. Lelaki itu mengadu meskipun sebenarnya pukulan dari Bunga tidak terlampau keras. Gadis itu sebenarnya tidak bersentuhan langsung dengan tubuh Alfian. Tangan Bunga kembali mencengkeram jok belakang setelah motor melaju santai.

"Mahal, ya, Mas, harga motormu itu?"

"Buat beli motor buluk, lo, pas masih baru dapat tiga. Motor gua udah modif soalnya. Ibaratnya itu motor adalah bini gua. Harga ...."

"Eis! Nggak usah banyak omong, Mas." Manusia jenis kelamin apa banyak banget bacotnya. Imbuh Bunga dalam hati.

"Lo tanya, gua jawab. Dasar sableng!"

"Woi, ini salah jalan, Mas. Udah lewat dari bengkel! Dasar! Sengaja, ya, mau boncengan sama cewek cakep."

"Cakep? Halah!" Cakep dari Monas lihatnya pakai pipet, dengkus Alfian.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
bunga bunga....mau kabur malah kena tabrak motor lain...
goodnovel comment avatar
tingdipida
duh nasibmu, Bung. minggat kok malah ketemu lawan padu wekkk semoga beruntung dengan lawan padu wekkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status