Share

Bab 3-Talak Tiga

Setelah berhasil membuang perhiasan milik Umik dan istrinya ke selokan yang masih di kawasan dalam pondok, Hamzah bergegas ke luar kamar. Di sana beberapa perewang—orang-orang yang membantu prosesi resepsi tampak berkerumun. 

"Tadi aku lihat. Ada bocah perempuan bawa seragam hitam putih. Bawa tas-tas para tamu. Tak pikir bocah sinoman," ujar Mbokde penjaga tas. 

"Bocah sinoman seragamnya biru telur bebek, Mbokde!" ujar satu suara sambil berdecak.

"Mbokde nggak ingat wajahnya?" tanya yang lain. Sepertinya ketua pemuda karena membawa walkie talkie.

"Bocah e ayu. Pakai lipen merah ungu. Namanya Menuk."

"Menuk?"

"Iya. Ngakunya Menuk gitu."

"Menuk itu, ya, Raihana Bunga.  Menuk itu julukannya waktu kecil. Soalnya dia gemuk ginuk-ginuk." Satu suara menyahut. 

"Sekarang cantik. Langsing. Apa, ya, singset lencir kuning. Tinggi semampai."

"Hust! Sudah-sudah! Bubar!" teriak Hamzah.

Ilham datang dengan tergopoh-gopoh. Suara lagu qasidah yang sejak tadi mengiringi suasana pagi menuju siang kini berganti dengungan suara para rewang yang saling bertukar cerita. Mereka saling bisik. Ada yang mengatakan bahwa itu karma karena menyakitkan istri tua. Karma? Orang Islam, kok, percaya karma. 

Ada juga yang mengatakan semua itu rekayasa lawan politiknya Hamzah. 

Maklum, Hamzah berhasil masuk Gedung Kuning karena kesalahan cetak surat suara sehingga terjadi pemilihan ulang. Saat itulah dari dewan pusat—seorang bekas reporter televisi konon memberikan transfer uang senilai satu milyar untuk mendulang suara dari pemilihan susulan. Dan, tara, Hamzah menjadi anggota dewan. 

Setelah menjadi anggota dewan, gaya hidupnya berubah. Hamzah tidak lagi cawe-cawe urusan pondok. Pak Kyai jadi kelimpungan. Istrinya Hamzah terlalu tradisional untuk tampil ke hadapan publik. Itulah kenapa dia memerlukan pendamping yang mumpuni. Bagi Hamzah, Bunga adalah sosok itu. 

Dia tidak melarang, jika suatu saat Bunga menyambung kuliahnya. 

Bunga meskipun bukan jebolan pondok, tetapi lumayan lanyah membaca Al Qur'an. Dia telah hafal tiga juz juga. Prestasi akademiknya moncer. Beberapa kali menjuarai olimpiade di bidang IPA dan IPS. Kenapa Hamzah tahu? Karena salah satu guru pembimbing Bunga di ekskul—ekstra kulikuler 'Bina Prestasi' adalah sahabatnya. Guru muda itu tidak henti memuji murid kesayangannya. Jangan lupakan juga soal paras rupa Bunga yang membuat hati para Adam berdegup tak karuan. Sejak saat itu, Hamzah mengincar Raihana Bunga Yasmin untuk dijadikan 'bunga' di hatinya. 

"Le, sini!" panggil Kyai Anwar. 

"Abah jangan membela perempuan yang sudah ingkar itu."

"Ayo, kita rembukan. Musyawarah. Ada apa sebenarnya."

Satu tangan Hamzah ada di pinggang. Satunya menuding pada sang mertua. "Saya pegat kamu, Raihana Bunga Yasmin dengan talak tiga. Detik ini, kita nggak ada hubungan lagi sebagai suami istri."

"Le! Sabar, ojo kesusu. Jangan tergesa-gesa dan gelap mata. Ayo diomong baik-baik." Kyai Anwar maju menenangkan anak bungsunya. Namun, Hamzah tidak bisa mundur lagi. Dia dipermalukan di hadapan para tamu. Jamaah pondok. Tamu kehormatan, terutama  teman-temannya dari Gedung Kuning. 

"Saya do'akan kamu nggak laku, Raihana! Jadi perawan tua seumur hidup!" Muntahan laknat keluar juga dari mulut Hamzah tanpa perasaan. 

"Astaghfirullah hal adzim," ucap Pak Kyai. Juga beberapa tamu berhampiran pelaminan. 

"Saya, terima. Sebagai orang tuanya, kami minta maaf," ujar Khosim. 

"Tentu saja. Selain mempermalukan saya, Ana juga mencuri," tuduh Hamzah. 

Pak Kyai dan kakak ipar Hamzah merangkul pria itu agar masuk ke dalam rumah utama. Di sana, tidak banyak orang-orang akan mendengar segala kemarahan Hamzah yang sudah diluar nalar. Meskipun marah, tidak seharusnya Hamzah melaknat istrinya. Mantan istrinya. 

"Mencuri? Mencuri apa? Anak saya jujur. Dia gadis baik-baik." 

Khosim gemetar. Matanya merah. Ada kilau yang hampir terpelanting dari kedua pasang mata yang kuyup kurang tidur itu. Dia telah salah untuk semua hal. Khosim teringat apa yang diucapkan putrinya seminggu yang lalu.

"Semua perempuan ingin seperti kamu, Ana. Punya suami yang memiliki tubuh tinggi tegap. Kulit bersih, jambang rapi, hidung bangir. Punya darah biru keturunan kyai. Trah pesantren."

"Semua perempuan? Darah biru? Apa jaminannya, Pak. Nuwun sewu, bagi Ana apa yang penting itu seorang yang hanif. Tidak meninggalkan sholat. Rasanya itu lebih dari cukup."

"Kamu itu bicara apa. Bapak hanya menujukkan kelebihan Mas Hamzah."

"Ana berhak menyelidiki kepribadian calon suamiku. Bagi, Ana dia itu ...."

"Apa, Nduk?"

"Pak, beliau itu anggota dewan. Duduk di komisi VIII, yang katanya membawahi masalah sosial, kebencanaan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Lha, Ana saja mau dinikahi siri. Apa, nggak salah," bantah Ana penuh amarah.

"Kalau dinikahi di KUA, awakmu mau?"

Bunga menggeleng. Dia tidak sampai hati. Dengan aib yang ingin dia beberkan. Kenyataan siapa Hamzah sebenarnya. Gedung Kuning itu mengubah sosoknya. 

 

 "Nduk. Bapak terpaksa ngomong. Minta tolong," ujar Khosim menggenggam tangan Bunga. "Masmu itu harus berurusan dengan polisi. Narkoba. Mas Hamzah sudah keluar uang banyak. Mengusahakan agar masmu direhabilitasi."

Bunga tunduk. Tangannya terkulai ke samping tubuh. Air mata pelan, tapi pasti berebutan turun di pipinya yang ranum. "Oh, ternyata itu."

"Mau, ya, Nduk, tolong Bapak sama Ibuk."

Bunga terisak lirih. Bahunya terguncang hebat. Inikah suratannya? "Ya."

"Kamu nggak akan menyesal. Bapak janji."

"Njih, Pak."

"Saya berdosa sama Abah. Sama Umik. Saya pikir, Ana itu benar-benar gadis baik. Sosok yang bisa membesarkan pesantren ini seperti harapan Abah sama Umik," rengek Hamzah.

"Sa—saya akan berusaha menasihati Ana." Pak Khosim bicara meskipun tersendat. 

"Saya sudah menjatuhkan talak. Dia lari sama pacarnya. Dia mencuri perhiasan milik Umik. Memang perhiasan itu tadinya akan saya berikan padanya. Tapi ...." Napas Hamzah naik turun. Dia terduduk lemas di kursi pengantin yang sedianya akan menjadi singgasananya, menjadi raja sehari. 

"Kasih minum," ujar satu suara. 

"Apa benar, Ana membawa kabur perhiasan, Bu Nyai?" tanya ibunya Bunga tidak percaya. 

"Ibuk nuduh saya memfitnah?" jawab Hamzah tak terima. 

"Bukan seperti itu. Tapi, Ana nggak punya pacar. Dia itu hanya fokus dengan sekolah."

"Pacaran tidak harus ketemuan. Bisa lewat ponsel, Buk. Hallo! Bisa saja, yang diajak bicara ada di Mesir, Korea, atau Jepang. Anak sekarang seperti itu." Hamzah masih saja mengarang cerita. 

Pertengkaran itu sudah reda. Namun,  Hamzah masih saja menumpahkan kekesalannya dengan memarahi pasangan Khosim. Tanpa mereka sadari ada beberapa pemuda pemudi sinoman yang menguping kegaduhan itu. Di antaranya adalah Ismail. Pemuda tanggung itu sempat merekam semuanya. Saat Hamzah mengucapkan talak dan laknat kepada Bunga. 

"Mosok, Ana nyuri, ya?" ujar teman satu kampung yang ikut menjadi tukang sinoman seperti Ismail. 

"Nggak mungkin. Aku tahu itu fitnah," bisik Ismail. 

Ismail lantas keluar lewat serambi bagian barat kemudian berbelok ke belakang. Di bagian belakang pondok memang ada gerbang kecil yang pintunya sedikit rusak. Terkadang Ismail disuruh ibunya mengantar galon air mineral atau gas dari sana. Usaha keluarganya memang toko runcit. 

"Angkat, dong," ucapnya sambil mendekap ponsel. Ismail berusaha menghubungi Bunga. Namun, panggilannya diabaikan begitu saja. Pemuda tanggung itu lantas mengirimkan rekaman berisi sumpah serapah dan talak untuk Bunga. 

Mail: Nyoh, vidio dari Mas Mantan. Nikmati hidupmu, Na. Ojo lali komisinya. Satu lagi, Na. Opo kamu maling perhiasannya, Umik?

TTD, Mail si pemimpin Punk-Saleh. Konspirasi tiada henti. 

Ismail mengakhiri pesan suara dan vidio pada sahabatnya. Ketika kakinya berhasil melangkahi selokan,  ada benda berkilau di antara air yang  tidak begitu jernih, tetapi tidak terlalu keruh itu. Air bercampur sabun. Benda berkilau itu seperti—perhiasan dari emas. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
jahatnya hamzah..ditinggal kabur istri malah nuduh nyuri.padahal dia sendiri yg buang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status