Share

Bab 5-Kutukan Sang Mantan

Bunga mengetuk-ngetuk kursi kayu yang sudah satu jam lebih dia duduki. Beberapa kali gadis itu menguap karena tadi malam tidak tidur. Suasana pondok sudah ramai karena ada beberapa kyai datang untuk mendoakan pernikahannya. Pernikahannya dengan Mas Hamzah.

Bukankah tadi, Ismail mengirim video. Namun, karena jaringan yang terkendala vidio hanya muter-muter. Cepat-cepat, Bunga kembali membuka pesan dari sahabatnya itu.

Vidio dari Mas Mantan. Mas Mantan? Eh, biar betul.

Video itu akhirnya muncul. Wajah merah pada Hamzah sedang menuding-nuding ke arah Pak Khosim.

Mas Hamzah mengucapkan talak tiga dengan sekali tarikan napas. Luar biasa. Dan yang lebih dahsyat suaranya ketika melaknat Bunga.

"Saya do'akan kamu nggak laku, Raihana! Jadi perawan tua seumur hidup!"

Saya do'akan kamu nggak laku, Raihana. Jadi perawan tua seumur hidup, ujar Bunga mencoba mengulang apa yang dikatakan mantan suaminya.

"Nonton drama azab, ya? Kok, ada maki-maki gitu." Alfian ikut duduk di samping Bunga. Tubuhnya sedikit condong untuk mencuri lihat tontonan Bunga.

"Kepo!" herdik Bunga.

"Nenek gua juga suka nonton drama azab di televisi."

"Nggak tanya." Bunga mendesis kesal.

Dia sedang sedih. Potek. Broken heart. Bukan karena jadi janda kembang yang ditalak ketika baru satu minggu menikah, tetapi karena laknat itu.

Apakah benar aku sudah melakukan dosa tak terampuni? Misalnya durhaka pada suami. Tapi, kan ... Mas Hamzah juga nakal.

Saat itu, dua Minggu menjelang Ujian Nasional, atau empat belas hari sebelum akad nikah, Bunga berniat membayar pajak motor. Karena harus ganti plat nomor, dia harus ke kota kabupaten tidak bisa lewat samsat di kecamatan. Kebetulan kantor Samsat—Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap. Kantor itu berhampiran dengan Gedung Kuning. Parkir bisa luber sampai jalan. Membuat jalanan macet. Di sana, Bunga melihat Hamzah bersama seorang perempuan. Bukan istrinya, karena dia tahu seperti apa wajah bakal madunya.

Keduanya berada di dalam mobil. Kaca lumayan gelap tetapi Bunga melihatnya. Mereka bercakap-cakap tetapi dalam posisi yang tidak lazim. Hampir seperti orang berciuman.

Ah, serakah sekali Hamzah, pikir Bunga saat itu. Namun, demi melihat orang tuanya memohon dia luluh juga.

Pencerahan itu berasal dari kakaknya. Mbak Hanik, mengirim foto-foto Hamzah di sebuah tempat peranginan di kawasan puncak, Cemoro Sewu.

Apakah Pak Kyai tidak tahu sepak terjang putranya? Hamzah seorang yang liar. Lelaki yang sudah terlanjur mabuk oleh nikmatnya dunia tidak akan berhenti jika bukan karena maut.

Apa yang ditakutkan Bunga adalah dia terkena azab karena tutup mulut pada sebuah kemungkaran. Penyakit kelamin, juga rasa malu di masa depan. Bunga tidak sanggup membayangkannya.

Itulah keputusan final. Dia pergi dari kampung halamannya. Pergi dari kehidupan putra sang kyai. Meskipun namanya akan dikenang sebagai perempuan tidak baik.

"Masih lama, ya?" tanyanya pada montir. "Katanya sejam. Lapar tau! Belum sholat juga."

"Repairnya satu jam. Belum antriannya." Montir dengan baju belepotan gemuk nyengir. "Jangan cemberut, cakepnya ilang, lho."

"Duh, Agus tebar benih."

"Hah, tebar benih? Benih apaan? Lele?" Bunga marah karena merasa dilecehkan.

"Benih cinta!" Para pekerja bengkel tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjai Bunga.

Bunga berdecak kesal. Nasib cewek berada di bengkel. Sebelas dua belas dengan berada di sarang penyamun.

Bunga akhirnya kembali menekuni ponselnya. Kali ini dia mencari siaran televisi digital. Dia ingin menonton siaran olahraga.

Bunyi berdebuk, terbanting, teriakan menyemangati, jeritan dan teriakan-teriakan bersahut memenuhi langit-langit ruangan yang penuh lampu itu. Satu-dua seruan dalam bahasa yang tidak jelas mampir di telinga Bunga.

Wajah-wajah penonton terlihat antusias bercampur tegang. Meskipun hanya menonton, tetapi Bunga ikut merasakan atmosfer pertarungan itu. Udara terasa pengap meski kota Salatiga lumayan dingin. Mereka juga berada di ruangan yang dibekali air conditioner yang bekerja maksimal.

Dua petarung sedang saling memukul. Saling rangkul tak lupa sambil mengayunkan pukulan di tengah ruangan. Bertinju. Ini jenis pertunjukan yang mengesankan. Satu pukulan lagi menghantam cepat rahang salah seorang petarung, membuat penonton memekik. Namun, sebagian besar berseru, "Yes! Yes ...!"

Sebagian lagi mengeluh, "Oh ... Oh!"

Saling tinju susul menyusul. Kali ini tinjauan lainnya mengenai dagu, lebih telak. Tubuh keduanya terbanting dan saling tindih. Sepersekian detik berlalu, penantang yang beberapa menit lalu masih terlihat segar bugar kini telah tumbang ke lantai. Knockout alias KO.

Bunga yang hanya menonton dari layar ikut berteriak kegirangan. "Yeah!"

Sebuah tangan menyikut sikunya. "Nonton apaan?"

"MMA—Mixed Martial Arts."

"Wah, keren. Siapa yang main?" tanya Alfian ingin tahu.

"Tau. Nonton aja. Dari pada bengong. Mau baca Yasin, dikira ada yang mati. Mati hati nuraninya."

"Ck! Nih, makan dulu. Lihat badan lo yang kurus, gua prihatin. Nggak cacingan, 'kan?"

"Lambemu, Mas. Kalau sampeyan lihat aku sebulan lalu, pasti langsung naksir."

"Huh? Memang lo Bunga Citra Lestari," cibir Alfian jijik dengan tingkat percaya diri si gadis sableng.

"Yes, I am."

"Halah, sok English lo."

Sebulan lalu, Bunga tidaklah sekurus sekarang. Tingginya 163. Beratnya 53 kilogram. Lumayan ideal. Hanya saja, Bunga sengaja diet ketat agar terlihat kurus dan Hamzah tidak bernafsu dan berujung tidak jadi menikahinya. Hamzah menyukai perempuan yang bohay. Namun ....

"Menurutku, seorang perempuan yang berhasil membuat pria beristri berpaling itu hebat, nggak?"

"Huh? Lo ngomong apa barusan? Gua malas ngomongin topik per-pelakoran. Drama."

Bunga menelan makanannya pelan setelah mengunyahnya sebanyak tiga puluh tiga kali. Dia mencari es teh yang merupakan satu paket dengan nasi ayam gebrek yang baru saja ditelannya.

"Mas e, tadi cabe berapa biji?" tanya Bunga menjulurkan lidahnya. "Kamu niat bunuh saya, ya?"

"Cabenya cuma tiga. Ya Tuhan!"

Melihat air mata Bunga yang bercucuran, Alfian sedikit panik. Dia cepat-cepat berdiri dan mencuci tangannya. Setelah selesai Alfian menghapus air mata Bunga yang masih bercucuran. Bahkan keringat mulai mengucur deras.

"Pedes! Tanganmu!"

Saat mencoba menghapus air mata Bunga, jari tangan Alfian justru menjolok mata Bunga. Alhasil, gadis itu menjerit kepanasan. Dia melempar kotak tempat nasi plus ayam geprek lantas mengucek kedua matanya.

"Sabar, ya. Ayo, cuci tangan dulu."

Alfian menuntun si gadis sableng menuju tempat cuci tangan. Dibukanya telapak tangan Bunga yang terlihat mungil seperti kelopak bunga wijayakusuma.

"Gosok. Aku yang putar kerannya," ujar Alfian. Kali ini suaranya berdengung lembut dan merdu. Seperti bunyi burung perkutut yang banyak berkeliaran di sekitar rumahnya.

Ah, air mata Bunga kembali merembes keluar. Tiba-tiba saja dia ingat rumahnya. Bapak. Ibuk. Mbak Zum.

Bunga mendongak tanpa menyadari betapa dekat wajahnya dengan wajah Alfian yang saat ini sedikit membungkuk. Namun, sesekali kedua kelopak mata Bunga masih terkatup rapat.

"Mas, kamu pernah berpisah sama orang tuamu?"

Mendapatkan pertanyaan aneh dengan posisi tubuh saling berdekatan tentu saja membuat Alfian tiba-tiba berdebar tak karuan. Mengigil bahkan. Bukan karena dia tidak pernah berdekatan dengan perempuan. Hanya saja, pertanyaan itu membuat lutut Alfian lemas.

"Orang tua? Seperti apa, sih, rasanya memiliki orang tua?" katanya sinis.

"Huh, kok, aneh?" desis Bunga masih kepedasan.

"Udah, nggak usah dibahas. Berhenti nangisnya. Ini susu murni, biar nggak kepedasan lagi."

"Mas e nggak tahu aku bukan terpotek ayam geprek. Aku kangen bapak sama ibukku!"

Drama ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
kasihan raihana bunga..nama yg bagus tapi nasib tdk mendukung ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status