Marjuki berlari terbirit-birit saat Adrian menatapnya dengan tajam. Beruntung ada guru datang dan menyelamatkan dirinya.“Woooiii ...!!! Kiii ... ngomong apa luu!!” teriak Adrian tanpa memperdulikan guru yang ada di dekatnya.“Heh! Adrian! Kamu denger tidak si Marjuki bilang apa tadi? Sudah keterlaluan sekali kamu ya? Mau melecehkan orang?! Hahhh ...!!” hardik gurunya dengan berkacak pinggang.Semenjak kejadian itu, pak guru Heri yang bernama Heri, tidak tidak pernah mempercayai Adrian sedikitpun. Bahkan dia menganggap pemuda itu selalu berbohong disetiap tingkah lakunya. Demikian juga pada hari ini, meskipun melihat ada yang aneh dengan pemuda itu.“Wandi, tolong kamu panggil teman-teman supaya masuk kelas, waktunya pelajaran Bapak. Atau kalian semua akan mendapatkan hukuman!” “Ta-tapi Pak! Ini ... ini Adrian ... ba-bagaimana?” sahut Tina yang bingung dengan situasi yang sudah tidak terkendali.“Anak itu, selalu membikin ulah. Biarkan saja,” sahut pap Heri tetap mengacuhkan Adrian y
Adrian terkejut tetapi sayang sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya mulutnya yang berusaha bicara dengan tersengal, tangannya mengapai meminta pertolongan. Tubuhnya berdiri sempoyongan, berusaha meraih apa saja yang ada di sana. Berjalan terhuyung tidak tentu arah mengelilingi pohon beringin yang mulai rontok daunnya. Berulangkali Adrian menabrak batang pohon beringin dan membuatnya terjatuh. Namun kembali bergerak bangkit."Gue gak boleh mati, gu masih ingin hidup bersama dengan Hesta, kurang asem ternyata tadi itu bukan kekasih gue. Dia makhluk jadian ... mengapa gue bodo banget. Bisa-bisanya nurut sama dia," ucapnya dalam hati.Sedangkan gadis yang menyerupai Hesta sudah mengilang dengan meninggalkan sisa tawanya masih menggema di sekitar pohon. Adrian tersadar jika dirinya sendirian. Makanan apa yang sudah diberikan gadis jelmaan itu? Mungkin saja racun untuk membunuhnya. Pikirannya sudah buruk berusaha mencari ponselnya di saku."SII ... ALL!! Kenapa gue nggak bawa ponsel?
Tangan Wandi meraih helm yang ada di atas setir, tidak sengaja matanya melihat kunci sepeda motor masih menancap di lobangnya. Matanya dikucek berkali-kali tidak percaya. Selama ini ia tidak pernah melihat Adrian meininggalkan kunci sembarangan saat berada di sekolah. Menyentuh kunci motor memastikan hal ini nyata. Sang pemilik motor tidak berada di tempatnya, bagaimana bisa meninggalkan kunci dengan ceroboh seperti itu. Wandi melotot ketika melihat kain yang ada bercak darah waktu itu, terselip di bawah jok motor. Dia teringat akan warna kain yang pernah membuat mereka terjaga hingga tengah malam.Perlahan, ia buka jok motor Adrian dengan jantung dag dig dug derr ... ingin loncat saat melihat dengan mata kepala kain itu bertengger di sana.“ASTAGA!!!” teriaknya membuat Tina menoleh ke arah Wandi.“Apa an sih?! Cepetan! Lelet banget!” teriak Tina melotot ke arah Wandi.“TIIINNN ...!! TINAAAA ...!!” teriak Wandi melambaikan tangan ke arah teman gadisnya itu.Dengan kesal Tina turun dar
Wandi segera melajukan sepeda Adrian menyusul Tina yang pulang terlebih dahulu. Di dalam hatinya Tina tidak tega meninggalkan temannya yang memang penakut. Tetapi karena perasaan dan kesal membuatnya dirinya kehilangan akal sehat. Dengan berat hati akhirnya ia membuat pelan laju motornya, sambil menunggu barangkali Wandi menyusulnya. Benar dugaannya, setelah beberapa menit melihat dari kaca spion Wandi mengendarai sepeda motor CB milik Adrian.Bahagianya gagi hati Wandi, melihat Tina teman cantiknya masih mau menunggu. Meskipun tanpa ucapan akhirnya mereka berdua melajukan sepeda motor pulang ke rumah. Memarkirkan motor di teras rumah dan berniat mencari kunci rumah yang ada di dalam tasnya. Baru saja tangannya masuk ke dalam tas, merasa ada yang aneh terasa di tangannya.“I-ini ... ini apa ya? Kog rasanya empuk-empuk gitu? Perasaan gue nggak naruh apa-apa tadi di tas,” batin Wandi masih meraba-raba isi tasnya.Perlahan ia mengambil barang itu dari dalam tas, dan matanya melotot seaka
Badrun berusaha menepis bau yang sudah melekat di tangannya. Namun sayang detergent tidak mampu menghilangkannya dengan cepat. Terpaksa dia muntahkan isi perut yang sudah teraduk-aduk sejak tadi. “Wuekkk ...!! Apaan ini? Ya Tuhan. Apa dosaku? Mengapa sial bener aku hari ini,” sungutnya sambil menahan napas.“Siti ... Siti ... kamu tega benar ama suami sendiri. Masak kotoran ayam ada di sabun mandi. Ya Tuhan, karma apa diriku sama kamu,” keluhnya sambil membersihkan tangan berulang kali dengan sabun detergent.“Mas ... Mas ... lama amat di dalam?! Kebelet nih aku,” terdengar teriakan Siti dari luar.Pintu kamar mandi terbuka, nampak samar wajah Badrun suaminya berkeringat. Membuat perempuan desa beranak satu itu mengurungkan niatnya untuk memarahi suami tercintanya. Meraih wajah Badrun yang terlihat ganteng di matanya. Dialah satu-satunya pria yang sudah memporak porandakan hati dan jiwanya selama ini.“Ka- kamu kenapa Mas? Sakit? Sini duduk dulu,” tanya Siti sambil memegang tangan B
Badrun akhirnya balik dan melakukan mandi besar. Sedangkan Siti kembali ke kamar untuk membereskan kamar mereka yang masih berantakan dan belum selesai aktifitas olah raga keringat bersama sang suami. Terdengar helaan napas berat saat mengingat olar raga yang belum tersesaikan tadi. Tetapi pikirannya kembali kepada Wandi anak semata wayangnya yang mulai aneh lagi. Setelah membereskan sprei yang bau keringat, Siti bergegas keluar menemui Wandi yang meringkuk di kamar seperti anak kecil.“Ini anak kenapa jadi begini? Astaga apa benar dia kerasukan setan? Gue harus cepat bicara sama bapaknya,” gumam Siti keluar dari kamar dan menemui suaminya.Sementara Badrun yang sudah selesai dengan dan berdandan rapi, keluar rumah. Mendapati sepeda motor milik Adrian yang terparkir di teras terlihat heran. Dengan cepat Badrun mengeluarka sepeda motornya keluar rumah tanpa pamit dengan istrinya. Siti yang mencarinya hanya menggelengkan kepala ketika melihat sang suami sudah berada di atas sepeda. Keb
Siti terkejut melihat sosok kakek tua yang ada di hadapannya. Bibirnya kaku tidak bisa membuka kata, hanya gerakan tangan yang menutup bibir tanpa warna itu. Sementara Wandi yang diam di dalam ruang tamu mersakan keganjilan terhadap ibunya melangkah mendekati pintu. Sosok kakek belum terlihat olehnya hanya suara saja,membuatnya sudah merinding.“Mak, siapa yang datang malam-malam?” tanyanya melihat Siti diam mematung di depan pintu.Wandi terus berjalan dan mendekat,” Ka-kakek? I-ini benar kakek Hesta? A-ada apa Kek?” suaranya gagap antar takut dan bingung.Kakek yang ada di hadapan mereka mamang kakek Hesta, yang pernah Wandi lihat bersama dengan Adrian. Dia heran mengapa sampai kakek datang ke rumahnya? Padahal beliau tidak tahu alamat rumah mereka. Jangan-jangan mengikuti dirinya sampai rumah saat pulang bersama Adrian tempo hari itu. “Lu kenal ama kakek ini sayang? Kenal di mana? Horor banget kayaknya?” cecar Siti masih tak lepas tatapannya dengan kakek mirip dengan Kakeknya Hest
Sejenak Ayah Tina melihat ke arah Wandi, tidak tega membiarkan pemuda itu berdiri lama di sepan pintu. Apalagi cuaca dingin disertai dengan gerimis tipis membuat cowok kering itu telihat menyedihkan. Akhirnya Ayah Tina mengajaknya masuk dan memanggil anak perempuannya. Dirinya tidak tega membiarkan kedua anak berlama-lama bertemu.“Cepat katakan! Apa mau kamu dengan anakku?” ucapnya tegas membuat Wandi gelagapan. Pasalnya dia belum bercerita soal Adrian dan kakek Hesta yang datang ke rumahnya.“Begini Tin, tadi kita kan pulang tanpa melihat Adrian ada di mana? Nah, baru saja kakeknya Hesta datang ke rumah ngasih tahu kalo Adrian masih ada di ....” ucapnya tidak diteruskan melirik ke arah ayahnya Tina takut kena marah.“Lu kalo ngomong cepetan napa? Gue juga udah ngantuk banget ‘Ndi. Di mana? Temen lu yang resek itu? Wooaahh ... hemm,” tanya Tina sambil berkali- kali menguap.Wandi melihat ke Ayah Tina memastikan jika beliau tidak mendengarkan percakapan mereka karena jaraknya jauh. Na