Seperti orang yang tengah di landa asmara, keduanya mendekat dan bersentuhan. Mata mereka saling menatap penuh dengan kerinduan seperti berbulan-bulan tidak bertemu. Aneh sekali sikap Adrian, bukan seperti yang dikenal oleh Wandi sebelum kenal dengan Hesta. Pikiran hanya tertuju pada gadis cantik penghuni pohon beringin. Tidak memerdulikan jika mereka saat ini dalam kondisi bahaya dan tentangan dari dunia mereka.“Hesta, ini lu? Ya ampun, apa kabar? Gue cariin elu dari kemaren.” Adrian tergesa memeluk Hesta yang sudah berdiri di depannya. Pelukkan erat seperti lama tidak bertemu.“Iya, ini gue. Gue kangen ama lu. Kakek sih, larang gue ketemu. Yuk, main ke taman sebentar!” Ajak Hesta sambil menarik tangan Adrian dibawa ke belakang pohon beringin.Pohon Beringin mulai terlihat bergerak ranting-rantingnya. Daun-daun bergoyang beberapa lembar terjatuh ke tanah. Wandi yang masih duduk di atas sepeda motor, mulai ketakutan. Dia berteriak memanggil nama kawannya. Akan tetapi suaranya seperti
Dua orang beda jenis dan juga beda alam. Percaya atau tidak, Adrian tidak mempunyai mempunyai sifat indigo sama sekali. Tetapi memang selama ini perangainya sering marah dan emosi yang tidak terkendali. Orang bilang, aura yang seperti inilah yang di sukai para makhluk halus. Aura merah yang menurut orang mempunyai kepercayaan yang tinggi dan mudah marah. Daerah Tawangmangu yang kon penuh dengan cerita misteri. Dari pohon beringin sampai dengan manusia beristri makhluk halus.Hesta dan Adrian sudah hilang akal sehat. Mereka memadu kasih tanpa seorangpun tahu. Hasrat Adrian yang masih dibawah umur sedang bergejolak. Sedangkan Hesta, mempunyai maksud tersembunyi dibalik semuanya. Gadis cantik yang menggemaskan di mata Adrian yang masih polos belum mengenal wanita. Kini dia sudah tenoda dengan tubuh seksinya.Mereka sudah benar-benar lupa dengan jati dirinya. Belum lagi hujan gerimis menambah dingin suasana hutan. Gelora hasrat yang panas membakar, menghangatkan masing-masing insan yang
Adrian dan Wandi pulang dengan pikiran masih tertinggal di tempat itu. Kepingan memori hari ini cukup membuat Adrian dan Wandi diam membisu sepanjang jalan. Pakaian yang tadinya basah, sudah mengering tertiup angin sepanjang perjalanan. Perjalanan yang memakan waktu satu jam cukup membuat mereka kelelahan, ditambah lagi belum makan siang.Hari sudah beranjak petang saat mereka tiba di rumah Wandi. Adrian mengantarkan Wandi, yang jarak rumahnya hanya beberapa ratus meter saja. Selalu sendiri saat mereka tiba di rumah masing-masing. Rutinitas yang dianggap membosankan, tanpa teman saat tiba di rumah.“Males kalo sepi kayak gini. Kenapa tadi nggak ngajak Wandi tidur sini aja ya? Pasti emak sama bapak pulang malam lagi nih. Toko lagi ramenya,” gumam Adrian sambil nonton televisi di ruang tengah.Sesaat hening, terdengar suara ketukan pintu. Tok ... tok ... tok ....“Siapa malam-malam gini bertamu. Jangan bilang Hesta ngikutin gue sampai kemari. Bisa berabe kalo Emak sama Bapak tahu nih,
Mereka bertiga bingung mendengar pernyataan Tina lewat telpon. Bagaimana juga ini sesuatu hal yang sangat aneh. Baru saja bertamu ke rumah, tiba-tiba menghilang dan sekarang menerima kenyataan berbeda.“Ini bagaimana Bang? Jangan sampai peristiwa kemarin terulang lagi pada anak kita.” Ucap Jamilah lirih supaya Adrian tidak mendengar.“Abang juga gak tahu nih. Bener kagak yang dibilang bocah itu.”Lirih Jumari sambil melirik ke arah anaknya yang masih bengong duduk di kursi. Suasana mendadak hening, tidak ada yang bicara. Hingga Adrian berdiri dan masuk ke adalm kamarnya untuk tidur. Demikian juga dengan kedua orang tuanya. Dari balik pintu dapur, terlihat sosok bayangan kucing hitang yang menyorot ke arah mereka. Perlahan kucing itu menghilang seiring dengan tertutupnya pintu kamar pemilik rumah.Keesokan harinya, Adrian terbangun dari tidur. Merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tangannya. Wandi sudah berdiri dengan berkacak pinggang di depan ranjang kebesarannya. Aneh, tidak biasan
Perjalanan pulang dari sekolah terasa sangat lama bagi Wandi. Sepanjang perjalanan Adrian hanya diam, pikirannya hanya terbayang wajah Hesta yang cantik yang sudah mengaduk-aduk perasaannya. Baru kali ini Wandi meresahkan hal yang aneh, dengan sikap temannya yang selalu jahil ini.“Lu kenapa sih? Nggak kayak biasanya. Jangan mikirin Hesta lagi, ingat dia bukan sebangsa kita,” ucap Wandi lirih agar tidak membuat temannya marah.Seketika Adrian berbalik menatap Wandi. Sorot mata kebencian nampak di matanya. Selama ini temannya tidak pernah ikut campur urusan pribadinya. Aneh jika tiba-tiba memperingatkannya hanya urusan cewek. Pikirannya sudah berburuk sangka tidak mungkin Wandi sampai berani melarang niatmya.“Lu tahu apa? Memang kenapa kalau gue suka ama dia. Lu syirik ya? Jangan bilang elu juga naksir ama dia! Gue ceburin empang baru tahu rasa.”“Ya elahh ... gue mana mau ama makhluk gitu-an. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada sama makhluk astral. Ingat Yan! Dia beda ama kite
Rasa malas Wandi melihat temannya sudah tidak mengindahkan perkataannya. Semua demi kebaikan Adrian, karena rasa balas budi Wandi sering ditolong olehnya. Tetapi dia tak berdaya melihat Adrian dengan amarah yang sudah memuncak terhadap dirinya. Langkah kaki Adrian terhenti saat akan mendekat ke pohon beringin. Suara serak yang pernah ia kenali beberapa kali. “Kakek?”“Heh, anak muda! Ngapain lu ke sini lagi? Udah bosan hidup lu rupanya?” Teriak sang kakek Hesta yang melangkah mendekati Adrian. Pemuda yang ada di depannya sontak sedikit mundur ke belakang, melihat tatapan kakek yang tidak ramah. “Lu dengar ya, jangan ganggu cucu gue lagi! Pergi lu dari sini!!” Tiba-tiba angin kencang datang dan merontokkan daun pohon beringin. Adrian terkejut, dan mengeratkan kedua tangannya. Bibirnya bergetar, suasana sekitar pohon beringin mulai terlihat mencekam. Sunyi ... padahal hari masih siang matahari nampak menghilang dari perduannya. Suasanya mendadak gelap sunyi. Adrian ketakutan, namun k
Dua anak berdebat mengenai Hesta dan kakek misterius, tiba-tiba suasana mendadak jadi mendung. Dan pohon beringin bergerak ranting dan daunnya perlahan. Dua anak tidak menyadari ada bahaya yang datang. Bayangan itu kemudian bergerak mendekati Adrian dan Wandi yang masih berdebat . Gerimis mulai datang, tidak mereka rasakan. Bahkan awan hitam sudah berkumpul di atas langit. Suasana mencekam di sekitar pohon beringin.“Sejak kapan seorang Adrian jatuh cinta? Waduhh ... bukan lu banget kayaknya. Gimana- gimana rasanya Brow? Wwwkkk ... gue ngakak seru nih.”“Lu ngledek gue? Awas saja! Gue sumpahin jadi bucin lu nanti.” Bentak Adrian dengan tangan mengepal.“Hahaha ... pengen ngrasain bucin. Makasih Brow, lu udah doain gue hahaha ....”“Kurang asem lu.”“Eh ... eh ... i-itu ada apa? Yan ... Yan ... tuh! A-ada di belakang lu!”“Apa an sih? Lu mulai lagi nih, gue sumpahin beneran lu jadi Kodok!”Wajah Wandi mendadak pucat, melihat sosok makhluk hitam berdiri tepat di belakang Adrian. Sedangk
Bulu kuduknya berdiri tetapi tidak bercerita kepada istrinya, karena takut istrinya pasti marah jika berkata bohong. Jumari yang penakut, tidak bercerita kepada Jamilah. Dilema, antara cerita dan tidak. Sebagai laki-laki egonya pasti yang di dahulukan. Gengsi jika dibilang pengecut, namun kenyataan memang seperti itu.“Abang kenapa cengar-cengir kayak gitu? Ada yang di sembunyikan dari istrimu?” Ucap Jamilah menatap tajam ke arah Jumari yang yang terlihat gugup.“Nggak pa-pa, udah yuk masuk kamar. Gue udah kangen nih, satu minggu nggak nengok.”“Ish ... apa-an sih Bang? Kayak pengantin baru aja. Memang masih palang merah kog, kayak gak pernah aja,” ucap Jamilah tersipu malu.“Tapi sekarang dah bisa dipakai kan?” Tangkis Jumari menggoda istrinya yang nampak masih segar dan muda. Meskipun tunggal di desa, Jamilah selalu rutin minum jamu dan perawatan alami.“Ih ... Abang suka gitu, jadi malu nih.” Jamilah menutup mukanya.Mereka akhirnya masuk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kam