Sepanjang jalan, terasa aneh kalau Arsene tidak mengubah kecepatan jalannya. Aku heran seberapa kuat pria ini mengendongku di punggung.
Lagi-lagi, aku yang memulai percakapan. "Ezilis Utara itu jauh, ya?" tanyaku.
"Dari mana?" Arsene balik bertanya. "Kamu sendiri lupa dari mana asalmu."
"Kalau tidak salah, aku seperti ... Berasal dari daerah yang berpasir." Aku memutar otak, mencari bongkahan memori yang barangkali tersimpan di suatu tempat. "Ada gadis berambut hitam di sampingku."
Yang kuingat, hawanya juga panas serta hidung terasa terbakar setiap kali menghirup napas. Aku seolah berada di tempat terpencil waktu itu, tapi juga ragu bagaimana bisa ke sana sementara ciri-ciriku berbeda. Orang-orang di sana memiliki kulit kuning langsat sementara aku sedikit lebih putih. Dari reaksiku juga, aku seperti pengunjung di sana.
"Daerah berpasir." Arsene tertegun. "Barangkali dari Shyr. Daerah itu memang kering dan panas. Pendudukny
"Kumohon, jangan sakiti kami!"Mereka saling tatap. Pria tambun itu–yang tadi memegang kapak–mendekat. Ia mengerutkan kening melihat kondisi kami, apalagi hutan yang sebagian kini menjadi abu dan menyatu dengan angin.Arsene terbaring di tanah, tidak sadarkan diri.Aku berlutut dan mengelus dahinya, panas sekali. Karena cemas, aku lantas berdiri dan menatap pria tambun tadi.Pria itu tampak mengenal Arsene, dia langsung berpaling dan menyuruh pria lain untuk melanjutkan jalan. Sementara di mendekat lalu membopong Arsene.Aku berjalan di samping kiri sementara pria itu menyusul kawanannya. Sesekali kulirik ke belakang, berharap rubah itu tidak kembali."Siapa kamu, Nak?" tanyanya. "Aku baru tahu jika Monsieur Perrier punya putra."Terpaksa, aku berbohong. Namun, entah kenapa, seakan mengucapkan yang sebenarnya. "Aku Remi, putra Monsieur Perrier.""Kamu tahu kondisi ayah
Aku menatapnya dalam diam. Namun, dia membalas dengan senyuman yang terkesan ramah hingga aku jadi merasa aman."Pangeran," ucapnya lagi. "Kukira kita bakal ketemu lebih lama lagi."Dia seperti bicara seakan kedatanganku direncanakan. Baru saja hendak bertanya, suara Arsene terdengar dari belakang. Dia rupanya bangkit karena menunggu terlalu lama."Remi, siapa-Ah, kamu." Arsene terdengar tidak senang maupun keberatan akan kedatangan tamu ini.Arsene keluar sambil membalut tubuh dengan selimut, tanda bahwa dia lekas-lekas keluar begitu mendengar suara.Pemuda tadi menautkan alis, jelas tersinggung. "Aku hanya ingin berkunjung, Arsy. Apa salahnya?"Fakta kalau dia memanggil Arsene dengan nama kecil sudah menggambarkan sedekat apa hubungan mereka. Jika kalungku bercahaya, itu seakan menjadi nilai plus. Berarti, ada dua orang yang bisa kupercaya. Setidaknya, itu kata kalungku.Arsene memutar bola mata. "Silakan masuk. Remi, ini Tom, Thoma
Syaat!Terdengar suara sabetan hingga benda jatuh. Suasana seketika hening. Telinga berdenging sementara jantung seakan berhenti berdetak. Aku menghela napas, berharap nyawaku masih melekat di raga.Kukerjapkan mata. Hanya ada kepala pucat menggelinding. Menatap kosong. Sementara darah membasahi tanah, serta bau anyir yang nyaris membuatku mual.Makhluk itu sudah mati.Aku terduduk dan berusaha mundur. Bibirku bergetar pelan kala mata merah itu menatap ke relung jiwa. Meski telah mati, tetap saja membuatku gemetar. Apa jadinya jika itu hanya tipu daya?"Remi?"Arsene berdiri di belakang, untuk kali pertama kulihat dia cemas. Keningnya berkerut menatapku yang masih terduduk. Dia ulurkan tangan, mencoba membantu berdiri.Aku berdiri lalu memeluknya. Tanganku dingin, bergetar. Kucengkeram erat jubah hitamnya sambil membenamkan wajah, takut melirik kepala yang nyaris membunuhku.Lidahku kelu, aku berjuang menjelaskan apa yang terja
Ketika membuka mata kembali, hari sudah malam dan aku mendengar bunyi ketukan pintu. Bayangan hitam tadi langsung kulupakan. Aku justru fokus membuka pintu untuk tamu baru kali ini."Pangeran!" sambut Gill. "Aku datang membawa dokter Youngfeather."Pria di sisinya kemudian melanjutkan. "Kudengar kemarin Monsieur Perrier sakit kembali. Aku Henry Youfeather, dokter pribadinya."Dokter Youngfeather adalah pria berambut putih dan hitam berkacamata. Ia sedikit lebih tinggi dibandingkan Arsene dan kulitnya malah tidak sepucat rakyat Ezilis lain. Meski bilang kalau ia dokter, pakaiannya terlalu santai sehingga membuatku skeptis. Pria itu datang bersama Gill.Dari tatapan Gill, aku malah semakin bingung. Ia menunjuk-nunjuk dokter tadi dengan mata. Mulut Gill juga membentuk isyarat, seakan berkata "masuk." Kurasa orang ini bisa diizinkan masuk.Aku mundur dan memberikan ruang masuk untuk mereka."Pangeran sudah makan?" tanya Gill.&n
Terlambat.Hanya jasad pria terkapar tepat di bawah sinar lampu. Dadanya terbuka lebar hingga menampilkan rongga kosong kecuali daging dan tulang rusuk. Tanpa diberitahu, aku tahu ini salah satu cara membunuh vampir. Ia tampak baru saja mati, terlihat dari darah segar membanjiri. Kulirik ketiga pria itu, diam seribu bahasa sementara sang dokter terus mengamati jasadnya dengan saksama."Sudah jelas," ujar dokter. "Ia hampir berubah menjadi vampir dan seseorang sudah membunuhnya.""Baguslah," komentar Arsene. "Kita tinggal cari kerabat korban untuk menguburnya.""Kalian tidak mencari pelaku?" Dokter memicingkan mata. "Atau setidaknya melapor ke pihak berwajib?"Arsene melirik Gill. "Kamu atau kami yang melapor? Harus ada yang menjaga jasadnya."Dokter Youngfeather kemudian menyahut. "Biar aku saja, barangkali salah satu dari kalian bisa menemaniku."Arsene l
"Lihat mataku!" Dia dekatkan wajahnya padaku. "Apa yang kaulihat, Pangeran? Hijau, bukan? Warna kehidupan. Ya, akulah sang Kehidupan itu sendiri.""Kamu kenapa?" Gill menarikku ke sisinya. "Kenapa kalung Pangeran bercahaya?"Aku melirik Gill. Aku saja belum tahu pasti cara kerja kalung ini. Tapi, kenapa Gill meragukan sesamanya?Evergreen tersenyum. "Kalung itu memilihku, siapa yang bisa protes?""Kamu bukan Guardian!" geram Gill. "Arsy akan mencincangmu jika tahu.""Wah, kenapa tidak serang aku saja?" tantang Evergreen. "Kamu tampak kuat, seranganku tiada gunanya bagimu."Ternyata, dialah yang tadi memotong tangan kiri Gill. Meski jelas hasilnya sia-sia."Pe-pergi! Kamu ... tidak dibutuhkan!" seru Gill, meski bibirnya bergetar.Aku teringat dengan obrolan vampir itu pada Arsene. Apa benar dia bisa mengatur vampir? Bagaimana bisa? Kutatap wajahnya, dia malah membalas dengan senyuman.
Dahan-dahan menusuknya tepat sebelum rubah itu menerjang rumah Gill. Aku refleks mundur ketika ia memberontak, menatapku tajam dengan mata birunya.Tubuhku disambut Arsene. Ia pegang bahuku sambil menatap rubah yang berjuang membebaskan diri. Sudah jelas ia bingung, bagaimana bisa musuhnya dikalahkan dengan dahan seperti itu? Padahal Arsene pernah mencoba menjerat rubah itu dengan sihirnya.Kami mendekat ke jendela. Rubah itu terus memberontak dan meraung. Saat dahan lain patah, dahan lain menggantikan. Makhluk itu kewalahan, terus berjuang membebaskan diri. Kulirik sosok yang sedang mengamatinya di bawah.Evergreen.Kami bergegas turun disusul Gill dan Dokter Youfeather. Dengan takjub menyaksikannya terjerat hingga nyaris tenggelam dalam pelukan dahan dan sulur tadi.Evergreen menyeringai. Ia dengan santai membiarkan musuhnya perlahan terkurung dalam penjara ciptaannya.
Dia cekik leher vampir itu. Diangkatnya hingga wajah mereka bertatapan.Dia benamkan kukunya yang tajam ke dada wanita itu, darah dan jantung muncrat mengotori tangannya. Dia empaskan ke tanah. Membiarkan darah membanjiri jasadnya. Setelah beberapa saat, barulah aku ingat namanya. Sosok yang selama ini kami tunggu."Nemesis!" Gadis berambut hitam berlari menghampiri. Rambut hitamnya berkibar hingga ke punggung, meski sedang diikat. Dia melirik jasad tadi.Wanita yang baru saja digigit gemetar sambil memegang lehernya. Darah mengotori leher dan pakaian, wajahnya memucat.Pria pucat itu meliriknya.Wanita itu terkesiap. "Kamu ... "Dia pegang kepala wanita tadi. Mata merahnya menatap lurus ke jiwa malang korbannya. Aku tidak bisa mendengar bisikan pria pucat itu. Setelah berbisik, dia biarkan wanita itu berlari."Tangkap dia!"Seruan itu lan