✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Aku didudukkan pada sebuah kursi empuk dekat singgasana kosong. Entah siapa yang menyuruh, aku disuruh duduk dan diam menunggu.
Meski keadaan luar tampak genting, entah kenapa suasana di dalam istana tampak begitu tenang dan keributan hanya terjadi di luar. Seakan ancaman tersebut bukan apa-apanya.
Aku tatap sekeliling. Istana ini didominasi warna keemasan, lengkap dengan ratna mutu manikam menghias lantai dan perabotan. Tidak tanggung, beberapa pedang yang tersusun di belakang singgasana sebelah kiriku tertata rapi dan bersinar berkat sejumlah batu mulia itu.
Di antara pedang yang dijaja, ada di antaranya cukup menarik perhatianku. Sebuah pedang patah yang di bawahnya tertulis, "Hadiah dari Satria Sanjaya Purnama Tirta kepada Raja Safar al-Khidir" yang diukir dari lapisan emas pula.
Kenapa pedang ini patah? Apa ini melambangkan hubungan raja itu kepada si pemberi?
Di sebelah kanan singgasana raja itu, ada singg
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Zahra ~ Zabuz »Beberapa hari berlalu dengan sama, seorang abdi menceritakan tentang kedatangan pria itu lagi. Sosok yang senantiasa datang ke negeriku tanpa diundang maupun diizinkan. Alasannya selalu sama, menjemput rakyatnya yang tersesat di negeri Jin ini. Namun, ada pula karena alasan lain, yang menurut kami tidak masuk akal."Bagaimana bisa?" heran Umi. "Bukannya seluruh gerbang tertutup?"Abdi itu terdiam sejenak, suaranya memelan sekaligus gemetar. "Ia masuk lewat ... Celah di jendela rakyat.""Apa?!" Umi lantas menegakkan posisi duduk. "Di mana dia sekarang?""Kami mengejarnya," jawab abdi itu. "Ia ke sini untuk jemput rakyat Aibarab."Sebenarnya, kalau bukan rakyat Aibarab yang tersesat di sini, beberapa jin iseng kadang "mengajak" masuk lalu mengurung mereka. Biasanya untuk bersenang-senang atau tumbal, korban dari serangan jarak jauh–permainan klasik di Zabuz, berburu mangsa tanpa
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Selama Putri Zahra bertutur, aku habiskan malam dengan makanan beserta penutupnya. Belum pernah aku nikmati makan sebanyak ini.Zahra kembali bercerita.***Pada suatu malam, Khidir menjenguk ke kamar Zahra. Ia mengajak gadis itu mengobrol sebentar. Tepat di paviliun ini.Mereka menatap bulan purnama yang bersinar terang di tanah Aibarab. Baru kali ini Zahra melihat langit malam jernih bertabur bintang."Indah, bukan?" tanya Khidir.Zahra menatapnya lalu mengiakan. Indah nian baginya.Khidir menarik napas. "Kamu kesepian?"Zahra paham kalau pria ini merasa terlalu jauh darinya, padahal mereka bisa bertemu setiap malam sementara pagi hingga petang Khidir akan berdiam diri di tempatnya. Meski ia sesekali minta kedatangan Zahra untuk menambah aura, entah apa itu."Tidak." Zahra menjawab dengan sangat pelan, masih ada jarak antara mereka.Khidir lalu duduk dan minum. Sesekali
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Idris menepuk bahuku. "Ayo, kita pulang."Khidir menatap kami. "Ini giliranku, kalian istirahatlah."Apa maksudnya?Mariam lekas-lekas mengenggam tanganku. "Aku pengasuhnya sekarang. Tugas kalian sudah selesai, terima kasih."Dia lalu menarikku menjauh. Membiarkan Idris menatap kami dengan heran.Padahal dulu Mariam yang tampak keberatan dan bicara seakan tidak sabar menyerahkanku pada para pria ini.Idris tampak menyusul. Masih dengan wibawa para bangsawan demi menjaga martabat, meski Mariam jelas tengah menusuknya di depan seorang raja."Mariam," ucap Idris. "Kamu tidak ingin beristirahat di rumahku barang sebentar?""Kamu punya?" balas Mariam."Rumahku di Aibarab ada tiga," ujar Idris. "Silakan mau pilih yang mana."Mariam hanya menjawab. "Carikan yang paling jauh darimu.""Kalian ini." Kini Khidir yang mendekat sambil berkacak pinggang. "Tidak perlu repot-repot, aku
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵"Berdua?" Aku berbisik ketika mengekori Mariam keluar."Apa yang kaupikirkan?" balas Mariam. Dia entah kenapa tampak bingung ditanya. "Tidak aneh kalau mereka ingin berduaan untuk sementara."Aku paham kalau Idris dan Khidir lebih lama berteman sementara Mariam ibarat pendatang. Tapi, kenapa harus rahasia? Apa yang dibahas?"Kamu mau berkeliling?" tanya Mariam.Aku mengiakan."Terserah mau menjelajah sampai manapun," ujar Mariam sebelum pamit. "Tidak ada yang disembunyikan darimu.""Kamu mau ke mana?" tanyaku.Mariam berjalan, tanpa menoleh. "Makan."Kami pun berpisah.Saat itulah, pikiran malas melintas. Aku berniat ke kamar inap kami untuk berbaring.Kamar kami dipadu dengan warna biru pucat. Kasurnya luas dan empuk, bahkan ada nama Aibarab-nya di sana, Mariam. Mungkin aku akan punya kamar tersendiri nanti.Di dinding ada beberapa foto dipajang berupa gambar Mari
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵"Begitu, ya."Zahra memandang rangkaian bunga yang menghias taman istana. Aku bertemu dengannya beberapa saat setelah ucapan Khidir tadi.Sebelumnya, aku tidak bisa mengomentari keputusan Khidir.Wajar saja kalau ia menolak, aku saja sudah dianggapnya sebagai sosok penting. Terasa aneh jika seorang raja yang tunduk pada "Putri" sepertiku. Tapi, aku pun tidak bisa menyela lagi.Mariam pun hanya diam, berbeda dari biasanya. Barangkali juga tidak punya ide sanggahan.Maka, ketiganya pun berpisah dan tersisa aku yang menatap mereka dengan melonggo.Demi mengusir rasa bosan, aku pergi mencari tempat bermain. Perpustakaan bukan tempatku karena aku sendiri tidak terbiasa membaca meski ingin sekali melahap satu buku yang lebih tebal dari sebuah kitab.Langkahku kian memelan akibat kaki yang mulai sakit. Rencanaku ingin duduk sejenak di lantai dan meluruskan kaki agar tidak kesemutan.Saat itul
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Begitulah yang kulakukan seharian ini, mengikuti langkah Zahra demi mengusir rasa bosan. Meski masih penasaran dengan apa yang Mariam dan kedua temannya lakukan di sana.Sepertinya mereka terlalu sibuk sampai tidak mencari lagi. Atau tahu dan menyuruh Zahra menemaniku.Yang pasti, aku di sini sedang mengusir rasa bosan dengan bertingkah seperti anak kecil menunggu kepulangan orangtuanya."Zahra." Aku memanggilnya begitu karena dia memintanya. "Boleh bertanya soal penggalan puisi tadi?"Zahra balik bertanya. "Yang mana?"Aku pun memberitahu puisi tentang sosok yang akan bangkit tadi. Siapa tahu itu musuh yang telah lama disegel dan kemungkinan akan melawan.Entah kenapa firasatku mengatakan, ini adalah musuh akhir dari hikayat ini dan aku harus membantu mencegah setidaknya sedikit. Meski tidak tahu pasti kapan dan bagaimana.Mendengar penjelasanku, Zahra genggam tanganku. "Jangan dilepas!"Kami ber
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku terbangun di sebuah kasur sambil diselimuti.Menghela napas, aku pun duduk.Terdengar bunyi orang berdecak.Ketika menoleh, aku sudah menebak."Mariam?"Dia mengurai rambut, sedang duduk di sisi kasur dan membelakangiku. "Bagaimana pengalamanmu di harem?""Seru!"Mariam menatapku, entah kenapa ekspresinya tampak aneh. "Kamu tahu harem itu apa?""Tempat istirahat?" tebakku.Mariam menatapku tajam, bibirnya bergetar seakan mencoba mengatakan sesuatu. Dia seolah bimbang hendak memberitahu atau tidak."Kamu kenapa?" tanyaku.Mariam mendengkus. "Sudahlah. Khidir terkejut melihatmu tertidur di sana. Kamu kira itu tempat untuk anak-anak?""Mereka tidak menegurku." Aku membela diri. "Memangnya ada apa? Kami cuma bermain dan makan.""Untung mereka tidak memberimu minuman beracun itu!" Terdengar gumaman Mariam."Racun?" Aku jelas heran. "Benarkah? Memangnya ada
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kapal yang dimaksud ternyata sudah tersedia di sisi pantai dan tampak siap berlayar. Meski tidak terlihat begitu megah, namun cukup luas di mataku."Idris, ingat dulu kita sering naik kapal ini?" tanya Khidir yang serta merta menaikinya.Idris terkekeh. "Tentu, hanya Kyara yang tampaknya tidak ingat."Aku tercengang. "Setua apa kapal ini?""Tidak terlalu tua," jawab Khidir. "Benar, 'kan, Mariam?""Kenapa menanyaiku? Kalian yang bermain," balas Mariam.Ketika masuk, tidak banyak barang yang bisa dilihat di sini. Hanya beberapa tong dan alat pembersih lantai. Tidak ada kru kapal. Tempat ini begitu kosong.Khidir melepas genggaman lalu berjalan menuju bagian depan kapal. "Ke Nedai!"Tepat ketika dia mengucapkan, kapal seketika berlayar. Terjadi guncangan kecil dan terdengar bunyi jangkar terangkat.Aku yang terkejut nyaris oleng kalau saja tidak dipegang Idris. Belum pernah aku naik kapal, tap