Hari itu Adit terbangun di pagi hari, ia melihat ke arah jam dinding, pukul tujuh pagi, "sial, hari ini ikut papa ke kantor," batin Adit merasa kesal, mau tidak mau Adit harus mengikuti perintah Dimas jika masih ingin menikmati fasilitas milik Ayahnya itu, setidaknya sampai ia sukses di musik dan bisa menghasilkan uang sendiri. Adit merasa, sebentar lagi band Adam akan melejit mengalahkan band-band tenar lainnya, khayalannya sudah setinggi langit, ia bahkan sangat percaya diri akan berhasil.
Adit segera bersiap untuk berangkat ke kantor, ia tidak ingin berlama lama disana, seribu alasan akan ia cari untuk segera pergi dari perusahaan Dimas. Setelah selesai mandi, telepon genggam Adit berbunyi, ia meraih benda pipih yang berada di dekatnya, dan melihat siapa yang menghubunginya, ternyata Dimas.
"Halo," sapa Adit yang masih mengenakan handuknya.
"Adit, sudah siap? Papa tunggu di kantor, ya," ucap Dimas memastikan anaknya datang.
"Ok, Pa." Adit menutup telepon genggamnya.
"Males banget, sumpah." Adit melempar benda pipih itu ke ranjang, ia berjalan ke arah lemari, memilih pakaian untuk di kenakan hari ini ke kantor, tentu saja Adit tidak memiliki pakaian rapih layaknya pebisnis atau pekerja kantoran. Adit memilih kaos hitam, celana jeans dan jaket kulit, seperti akan manggung dengan bandnya.
Sesampainya di kantor, Adit langsung menuju ke ruangan CEO dimana sang Ayah berada. Adit berdiri di depan pintu ruangan itu, ia ragu untuk masuk, ia menghela napasnya. (Tok tok tok) Adit perlahan mengetuk pintu, "masuk," terdengar suara Dimas dari dalam, ia tidak sendiri, sepertinya sedang membicarakan hal penting bersama seorang pria muda.
"Ah, kamu Dit. Perkenalkan, ini Christian, dia salah satu konsultan keuangan di perusahaan ini," ucap Dimas seraya menutup pintu ruangan tersebut.
"Halo, saya Tian," ucap pria muda tampan itu mengulurkan tangannya untuk berjabat.
"Adit," jawab Adit singkat.
"Adit ini anak semata wayang saya, yang segera menggantikan posisi saya sebagai CEO di perusahaan kita," ucap Dimas seraya kembali duduk di kursinya.
"Baik, Pak. Senang berkenalan dengan anda, pak Adit." Tian tersenyum ramah.
"Sama-sama," jawab Adit yang sedikit malas mendengar perkataan Dimas.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Masih banyak yang harus saya kerjakan." Tian berangsur pergi meninggalkan ruangan.
Adit melihat-lihat ke sekeliling ruangan besar itu, kaca besar yang menembus pemandangan kemacetan kota Jakarta, membuat Adit berpikir, kalau malam pasti bagus viewnya. Adit berjalan mendekati meja Dimas, ia mengambil sebuah bingkai foto yang terpajang, sebuah foto keluarga menghiasi meja CEO. Adit tersenyum tipis saat melihat dirinya masih berusia 10 tahun di foto itu.
"Tian itu orangnya ulet dalam bekerja, kamu nanti akan sering bertemu dia dalam persoalan finansial perusahaan," ucap Dimas seraya merapihkan beberapa dokumen yang berserakan di meja.
Adit terdiam, masih memandangi foto yang ia pegang.
"Rencana papa, beberapa bulan lagi akan pensiun, kamu harus secepatnya belajar mengenal seluk beluk perusahaan ini ya, Dit." Dimas sangat serius dengan ucapannya.
"Tapi, Pa..." belum selesai Adit menjawab.
"Tidak ada tapi-tapi, kamu harus menjadi CEO di perusahaan ini, papa tidak ingin mendengar alasan apapun." Dimas memotong kalimat Adit dengan tegas.
"Aku sudah besar, Pa. Punya kebebasan untuk memilih jalan hidupku sendiri." Adit menaruh bingkai foto yang di pegangnya.
Dimas berdiri dari kursinya, wajahnya berubah penuh kekecewaan terhadap anak semata wayangnya itu, ia melangkah mendekat ke arah Adit, menatapnya sangat tajam. Adit tertunduk melihat sikap Dimas, ia takut Dimas akan menamparnya jika sudah marah.
"Papa cuma ingin, kamu mencoba dulu untuk terjun ke dunia bisnis seperti Papa, ini untuk kebaikan masa depan kamu, Dit." Dimas memegang pundak Adit.
Dimas memang punya rencana menyibukan Adit dengan dunia perkantoran, agar ia perlahan bisa melepaskan kegiatannya dari bermusik. Namun, tidak akan mudah melakukan itu semua, karena Adit punya pendirian yang keras seperti sang Ayah.
"Perusahaan kita sangat besar dan sukses, hampir semua proyek industri bekerja sama dengan perusahaan kita." Dimas memandang ke arah kota.
"Kasih aku waktu untuk mengejar impianku dulu, Pa. Kalau gagal, aku janji akan menuruti permintaan Papa," tegas Adit berusaha meyakinkan Dimas.
"Berapa lama kamu bisa pastikan?" Dimas menatap Adit sangat tajam.
"Satu tahun," jawab Adit.
"Enam bulan cukup, Papa akan memberi kamu kesempatan selama enam bulan, begitu kamu gagal, Papa tidak ingin mendengar alasan lain lagi, kalau kamu masih terus begini, semua fasilitas akan Papa cabut." Dimas berkata seolah mengancam.
Adit tertekan dengan perkataan Dimas, ia benar-benar harus berusaha untuk meraih mimpinya, ia harus membuktikan kepada Dimas bahwa ia akan berhasil di musik. "Enam bulan?" Batin Adit tidak kuasa mempertanyakan waktu yang di ultimatum oleh Dimas, enam bulan adalah waktu yang singkat, band lain saja butuh waktu bertahun-tahun agar bisa sukses, apa yang harus di lakukan dalam waktu enam bulan, batin Adit berkecamuk di buatnya.
"Ok, Pa. Aku akan buktiin ke Papa, enam bulan lagi, aku akan sukses." Adit pergi meninggalkan Dimas di dalam ruangan.
Adit berlari ke arah toilet untuk sekedar menenangkan diri, ia berdiri menghadap kaca, napasnya terengah-engah menahan kekesalan. Adit menyalakan keran air dan membasuh wajahnya, sangat sulit untuk Adit menahan amarahnya. "Sial," batin Adit teriak, ia mengusap wajahnya yang basah. Seseorang keluar dari bilik toilet, ternyata Tian sedang berada disana. Tian mencuci kedua tangannya dan mengambil tisyu yang berada di dekat Adit.
"Sorry," ucap Tian seraya menggapai kotak tisyu itu
Adit memundurkan tubuhnya agar pria muda itu bisa meraih kotak tersebut.
"Loh, Pak Adit." Tian menyadari orang yang bersamanya.
"Adit aja, gue masih muda," jawab Adit seraya merapihkan rambutnya
"He he, sorry, saya sudah dua tahun bekerja disini, tapi baru lihat anaknya Pak Dimas," kekeh Tian yang terlihat ingin mengenal Adit lebih jauh.
"Gue juga gak tahu sebenarnya gue ini anak siapa? Lo punya Bapak?" Tanya Adit seraya membuang tisyu ke tempat sampah.
"He he he, bisa aja mas Adit, saya? Punya sih, tapi Papa saya gak kenal saya dari kecil," wajah Tian mendadak berubah jadi murung.
"Masih mending, gue punya bokap, tapi kayak gak punya dari kecil, gimana tuh? Mau tukeran nasib gak? He he he," Kekeh Adit.
"Waduh mas, tapi apapun yang terjadi, semoga mas Adit dan Pak Dimas, bisa mengatasi permasalahannya, ya. Saya doakan," Tian tersenyum dan melangkah keluar toilet.
Adit terdiam mendengar doa pria muda baik hati itu, harapannya juga sama, ingin semuanya baik-baik saja. Namun, banyak sekali perbedaan pendapat di antara mereka, seandainya keduanya bisa saling mengalah, atau saling mengerti, semua pasti akan sejalan.
___to be continue
Sore itu Adit sedang asik menikmati kopi hangat. Lagu dari Pearl Jam yang berjudul "Last Kiss" terdengar kencang diputar dari laptopnya. Sambil duduk di balkon apartment mewah milik ayahnya, Ia memandang ke langit sore yang agak mendung, namun matahari belum mau menghilang dari balik awan kelabu itu. Adit menengok ke arah jam dinding, dilihatnya waktu sudah menunjukkan pukul 16.35 sore. (Suaramusik) "Oh where oh where can my baby be ... the Lord took her away from me" Adit meneguk kopi hangatnya, "ah, mantap," gumam Adit sambil terpejam sesaat menikmati aliran pahitnya kopi melalui tenggorokannya. Tidak lama kemudian, terdengar suara gawai berdering. Sudut mata lelaki itu melirik ke arah benda pipih yang berada di sebelah cangkir kopinya, lalu ia meraihnya dan melihat sebuah nama tertera pada layar, Krisna "Halo," sapa Adit. "Dit, di mana, Lo?" tanya Krisna dengan nada mendesak. "Di ap
ADAM, adalah nama group band yang baru mereka bentuk, tapi talenta para personilnya sangat solid. ADAM dikenal orang berisi para pria penggoda kaum hawa. Mereka selalu tebar pesona saat beraksi di atas panggung. Personil ADAM terdiri dari Adit sebagai vokalis. Suaranya berat dan boleh disandingkan dengan penyanyi legendaris seperti Kurt Cobain atau Sting! Setiap manggung, semua penonton terbius oleh suaranya. Krisna tentu saja menjadi gitaris band. Kemahiran jemarinya memetik senar, memang luar biasa. Bayu, dia adalah drumer. Mempelajari keahliannya dengan otodidak, namanya cukup berkibar dan diperebutkan oleh band-band lain. Andra dan Danu, Keyboardis dan bassis, keduanya juga bukan asal bisa bermain, tapi sungguh mempunyai bakat dalam memainkan masing-masing alat musiknya. Kelima personil ADAM, orang-orang mengatakan mereka semua good looking, sangat mempesona ketika mentas. Namun, yang paling ganteng di antara personil lainnya adalah
"Dit, kalau udah gak betah ngeband sama kita, bilang aja. Gak usah kaya ngerendahin kita juga, kali," tegur Danu dengan nada gusar kepada Adit."Yang bilang udah gak betah siapa?Gue bilang kalau vocalisnya bukan gue, belum tentu keren. Kenyataannya gitu kok," sergah Adit sambil mengganti kaosnya yang basah oleh keringat."Udah ... udah, kita ditungguin pak Hendra dari label nih, yuk kita ke sana." Krisna mencairkan suasana yang agak panas.Mereka bergegas menemui Hendra yang datang memenuhi undangan Krisna. Dia membawa rekan kerjanya, seorang produser ternama, Guntur.Personil ADAM menyapa tamu undangan mereka sebelum ikut duduk bergabung di meja Hendra.."Halo, Pak. Terima kasih sudah menyempatkan diri datang ke sini." Krisna tersenyum ramah dan hormat.."Ah ya, terima kasih juga sudah berkenan mengundang. Oya, kenalkan ... ini Pak Guntur, yang akan menjadi produser ADAM kalau kerjasama kita bisa terj
Lelaki tampan itu dengan percaya diri meninggalkan teman-teman dan tamunya, kembali menghampiri gadis cantik yang menggoda hatinya. Jelas terlihat bahwa ia tidak ingin kehilangan kesempatan dari Tiara. "Sorry lama. Biasalah anak-anak itu gak bisa diandalkan kalau urusan meeting, gue harus terus turun tangan," ujar Adit dengan nada sombong. "gak apa-apa, Dit ...," jawab Tiara sambil tersenyum. Adit memesan kopi gula aren dan snack french fries setelah bertanya kepada Tiara untuk menambah pesanan, tapi gadis itu menolaknya. Tidak lama kemudian, waiter mengantarkan kopi gula aren dan kentang goreng pesanannya. Sambil menikmati minuman dan makanan ringan, mereka lanjut mengobrol dengan santai. "Daily life kamu ngapain aja, Dit?" tanya Tiara sungguh-sungguh ingin tahu. "Gue? Hm ... main musik, latihan, bikin lagu ... gak jauh dari musik sih," jawab Adit terlihat menerawang. "Seriously? Total banget kamu di mu
(9 tahun yang lalu) (Kriiing) Suara dering bel begitu nyaring terdengar ke seluruh sudut sekolah. Ditimpali suara kaki berlarian dari pintu masuk sekolah menuju kelas masing-masing. Adit sedang berjalan dengan santai dan tiba-tiba, Reina menabraknya tanpa sengaja dari belakang. Bruk! Reina terjatuh, beberapa buku yang ia pegang berhamburan jatuh ke lantai. "Gimana sih? Kalo jalan yang bener dong!" Adit menahan kekesalan karna gadis itu membuatnya terkejut. "Orang gue lari, lo ngalangin jalan!" Reina emosi sambil membereskan buku-bukunya yang terjatuh tanpa mempedulikan lelaki itu, ia masuk ke dalam kelas dan duduk di mejanya. Adit bingung, "kenapa perempuan itu yang lebih galak secara dia yang nabrak gue," batin Adit seraya ikut masuk ke dalam kelas lalu duduk tepat di belakang Reina. Suasana kelas tidak jauh dari kebiasaan murid-murid pada umumnya. Ricuh dengan suara riuh rendah. Saling melempar kertas sementara ada yang t
Adit merasa tertekan mendengar kalimat ayahnya. Memang sampai detik ini, ia masih menikmati uang dan segala fasilitas dari lelaki itu, termasuk apartmen yang ditempatinya saat ini. Namun, sebagai anak, ia tidak menyangka jika Dimas akan berlaku kasar, sampai melayangkan tamparan untuk menyakitinya. Pemuda itu meyakini bahwa ancaman orang tuanya untuk menghentikan seluruh fasilitas hidup padanya, hanya sebuah gertakan semata. Karena tidak ada orang tua yang tega menelantarkan anaknya demgan alasan apapun. Saat terbangun pagi harinya dengan semua masalah yang bergelayut di pundak pemuda itu, setelah melewati tidur dalam kegelisahan, tangannya terulur meraih laptop. Ia membuka email dan mendapat beberapa pesan baru. Salah satu pesan yang menarik perhatiannya adalah pesan yang dikirim oleh label. "Wah, kontrak rekaman!" Adit cukup terhibur melihat pesan itu. Dibacanya dengan teliti satu per satu pasal-pasal perjanjian antara band dengan label tersebut, tida
Melihat tubuh molek yang terbuka dan terpampang di hadapannya, membuat lelaki itu tidak berkedip. Ia menengadah menatap wajah cantik Alika dengan napas memburu dan penuh nafsu. Tangan wanita itu membelai lembut kepala kekasihnya, membawanya perlahan agar bersandar pada bantalan atas sofa. Adit mendongak ke atas, mengarah langit-langit apartemen yang senantiasa menjadi saksi kisah kemesraan mereka selama tiga tahun ini. Jemari lentik itu bermain-main dengan kelembutan yang memabukkan. Perlahan-lahan, ujung jari menelusuri setiap inci kulit dari dahi, hidung, bibir, dagu lalu merambah area leher lelaki itu sebelum melumat bibir kekasihnya dengan lembut tapi penuh tekanan. Keduanya sudah tidak bisa menahan diri untuk berlanjut, rasa menginginkan lebih dan lebih membuai perasaan mereka. Wanita itu mengambil inisiatif untuk memulai.Sambil tetap memagut bibir, tangannya sibuk membuka pakaian bagian bawah kekasihnya, ia mengelusnya sa
Dalam suasana kehangatan dari dekorasi ruangan, membuat perasaan lelaki itu gelisah. Pikirannya menerawang ke masa lalu ....Hari itu jam sekolah sudah selesai, Adit tidak langsung pulang, 'untuk apa pulang cepat?' pikir adit, di rumah pun sepi seperti kuburan karna orang tuanya sangat sibuk bekerja. Ia mampir ke kantin tapi hanya satu warung saja yang buka. Lelaki itu memesan es teh manis, menyendiri sambil membaca novel kesukaannya. "Pak, es jeruk satu, ya." Reina tiba-tiba muncul di warung tersebut. Adit menoleh ke arah Reina. 'Aduh, dia lagi' batinnya. Ia berharap Reina tak melihatnya di sana, tapi itu tidak mungkin. "Loh, Dit, kamu gak pulang?" Akhirnya Reina sadar juga, ada Adit di sana. "Belum," jawab Adit singkat, tanpa menoleh. Berharap Reina malas dan langsung pergi dari sana. Tapi Reina malah ikut duduk dengannya. "Eh Dit, kamu tahu gak, ternyata manusia itu setiap harinya cuma membutuhkan satu pelukan bua