"Angel, kok berhenti? Kenapa?" tanya Tsabi saat mobil Angel tiba-tiba menepi. Gadis itu menatap wajah gusar Angel yang entah memikirkan apa. "Mm ... maaf Tsabi, sepertinya paman tidak bisa bertemu sekarang. Aku juga nggak bisa nganter kamu pulang. Nggak apa kan kalau besok saja," kata perempuan itu dadakan. "Owh gitu, ya udah nggak apa. Mumpung masih sore juga. Aku langsung pulang saja," kata Tsabi tak ada rasa curiga. Dia sebenarnya agak kurang nyaman diturunkan di pinggir jalan begini, tetapi ya sudahlah tidak mengapa. Mumpung masih sore juga, Tsabi bisa memesan taksi atau ojol untuk menjemputnya. "Sorry banget ya, hati-hati di jalan!" ucap Angel tiba-tiba berubah pikiran. Dia merasa bertentangan dengan hati nurani saat apa yang ingin dia realisasikan justru pikirannya melayang jauh tentang ibunya Tsabi yang nantinya bisa sangat terluka. Angel pulang tanpa membawa Tsabi. Hal itu tentu saja membuat paman murka. Hal yang sudah direncanakan terancam gagal total. "Maaf paman, Ange
Tsabi tak menghentikan tatapannya dari sosok tampan yang tengah fokus di jok kemudi. Walaupun wajahnya tertutup masker, dengan penutup kepala, tetapi dari suaranya saja Tsabi sudah bisa menebak pria di sampingnya. "Kencangkan sabuk pengamannya, Tsabi, aku akan menambah kecepatannya," titah Shaka begitu melihat mobil Saga mendekat. Pria itu memang sepertinya bosan hidup karena berani mengusik istrinya. Tsabi berpegangan erat sembari menahan napas. Merasakan jantungnya berpacu cepat. Batinnya tak berhenti mengucap kalimah istighfar agar selamat dari kejaran pria tak bertanggung jawab di belakangnya. Perempuan itu menoleh ke belakang dengan raut cemas. Kenapa sekarang bukan hanya satu mobil yang mengejarnya, nampak beberapa mobil berpacu di jalanan dengan kecepatan penuh. "Mas, kenapa mobil-mobil di belakang sana mengejar kita? Apa yang mereka inginkan?" tanya Tsabi gusar. Shaka menoleh, menatap beberapa detik wajah cemas istrinya. Ada banyak rindu yang belum sempat terucap, wanita d
"Bertahan, aku akan mencari bantuan," ujar Shaka kebingungan. Tidak tahu harus melakukan apa saat Tsabi mengeluh mual. Shaka bingung sendiri, ia hanya bisa menatap dengan iba saat istrinya benar-benar muntah-muntah. "Sudah?" tanya pria itu sembari memijit tengkuknya. Berusaha memberikan perhatian lebih. Tsabi terdiam dengan tubuh lemas, kepalanya kliyengan. Membuatnya seperti ingin tumbang. Shaka langsung menggendongnya, berjalan sesuai insting hatinya. Melangkah menyusuri jalanan setapak yang tidak dihinggapi rerumputan. Pria itu melihat ada sebuah gubuk dari jarak beberapa meter tempatnya berpijak. Shaka menghampiri dan langsung mendudukkan Tsabi di sana. "Mas," panggil Tsabi lemah. Merasa tubuhnya tak bertenaga. "Ya, kita akan secepatnya keluar dari sini," ujar Shaka dengan wajah gusar. Pria itu kembali menggendong Tsabi hendak melanjutkan perjalanan ketika suasana malam semakin pekat dengan rintik hujan yang tiba-tiba turun. Shaka mengurungkan niatnya, kembali merebahkan Tsab
Malam kian larut, suasana dingin makin menyeruak menusuk kulit. Ditambah suasana hujan yang makin membuat sejuk sekitar. Terasa begitu dingin menerpa pakaian panjang Tsabi. Perempuan itu mengusap kedua lengannya, lalu memeluk tubuhnya sendiri. Shaka yang melihat itu, ingin sekali membawa istrinya ke dalam pelukan. Namun, takut perempuan yang masih sangat memenuhi hatinya itu menolak. Jujur, Shaka tidak sepercaya diri dulu. Dia benar-benar takut membuat Tsabi merasa tidak nyaman. Pria itu langsung melepas jaketnya, menyisakan kaus pendek yang jelas akan membuat tubuhnya merasa lebih dingin dari semula. Namun, Shaka lebih tidak memikirkan tentang dirinya. Yang penting Tsabi merasakan lebih hangat di saat tangan itu tak bisa menggenggamnya. "Pakai ini, kamu kedinginan," kata Shaka menyampirkan jaketnya ke pundak. Tsabi yang sedari tadi duduk memunggungi menoleh. Merasakan lebih hangat dari semula. Lalu mengamati tubuh Shaka yang hanya berbalut kaus pendek, membuatnya merasa kasihan.
"Mas, aku bisa jalan sendiri, tolong pegangin tanganku saja," pinta Tsabi agar diturunkan. "Tapi kaki kamu sakit, nanti tambah parah gimana?" kata pria itu terlihat khawatir. "Sedikit Mas, tak apa. Kamu bisa kelelahan kalau gendong aku terus," katanya tak nyaman. Shaka akhirnya menurunkan Tsabi, lalu memapahnya. Berjalan pelan mencari jalan keluar. "Kenapa kemarin mau ke rumah paman? Untuk apa?" tanya Shaka pada akhirnya. "Angel menemuiku, katanya paman ingin bertemu denganku. Angel juga mampir ke pesantren bertemu dengan ummi," jelas Tsabi jujur. "Terus kamu percaya kalau paman mau bertemu denganmu?" tanya Shaka menggeleng kecil. "Ya, aku nggak ada rasa curiga. Walau agak ragu, kupikir mungkin memang ingin bertemu," jawab Tsabi apa adanya. "Jangan terlalu polos Tsabi, lingkungan itu terlalu berbahaya. Sekarang aku sudah tidak tinggal di sana, jadi tolong jangan pernah datang.""Mas tinggal di mana? Kok bisa tahu kalau aku ke sana?" tanya Tsabi dibuat penasaran. "Ada, Angel y
Tsabi langsung mendapatkan pertolongan medis sementara. Perempuan itu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. "Aww ... sakit, Om, ini nyeri," kelih Tsabi mengaduh saat Dokter Zayyan memeriksanya. "Sebentar, ini harus dibersihkan dan dikompres. Tahan sakit sebentar, kalau dibiarkan bisa bengkak," jelas Dokter Zayyan memberikan penanganan lanjutan setelah sampai di rumah sakit. Tsabi memejam, dalam pemeriksaannya otaknya terus mengingat Shaka. Bagaimana pria itu pulang, di mana tempat tinggalnya sekarang. Apakah dia masih suka pergi malam dan pulang pagi. Sesungguhnya Tsabi ingin sekali menanyakan dan sepeduli dulu, tetapi sekarang merasa tidak perlu. Mungkin juga Shaka akan merasa bebas saat ini dan lebih nyaman karena tak lagi mendengar bawelnya. "Tsabi, tidak begitu sakit kan? Sedikit ditinggikan kakinya," ujar Dokter Zayyan menginterupsi. Setelah memberikan perban elastis untuk menekan terjadinya pembengkakan. Tsabi merasa lebih baik walau masih harus h
Tsabi langsung turun dari ranjang dengan bantuan kruk, perutnya bergejolak hebat seakan memuntahkan isinya. Dia menunju kamar mandi agak tergesa. Rasanya sangat tidak nyaman. Agak pusing, lemas, dan seperti kurang tenaga. "Tsabi, kamu mual Nak?" tanya Ummi Shali menyusulnya. "Iya, Ummi, sepertinya Tsabi masuk angin," jawab Tsabi walau ada praduga lain. Dia belum berani jujur dengan ibunya. Ada kecemasan yang sulit diartikan. Bagaimana kalau dia benar-benar hamil. "Minum obat ya," ujar Ummi Shali memberi saran. Perempuan itu membantu putrinya kembali ke ranjang. "Boleh minta tolong nggak, Mi, kerokin aja. Biasanya sembuh kalau udah kerokan," ujar Tsabi mempunyai kebiasaan saat masuk angin. "Iya, Ummi bantu, Nak. Bentar ambil minyak angin dulu," ujar ibu dari anak tiga tersebut berlalu. Mendadak Tsabi mengingat Ameena adiknya yang saat ini hidup ikut suaminya. Sudah lama Tsabi tidak bertemu. Dulu sewaktu masuk angin begini, kakak beradik itu suka saling tolong. Sekarang hanya menj
"Ada apa, Nak? Bapak lihat kamu tidak beranjak sedari tadi?" tanya seorang penjaga masjid yang mengamati Shaka sedari tadi. Beliau hendak memadamkan lampu masjid yang sudah cukup malam menyala. "Maaf Pak, boleh tidak kalau saya bermalam di sini. Mau menunggu subuh," jawab Shaka yang sebenarnya tengah dalam kebimbangan. Bapak penjaga itu nampak bingung. Dia tidak bisa mengiyakan mengingat prosedur malam masjid akan dikunci agar aman. Namun, melihat pria itu yang sepertinya dalam kegalauan, Bapak tersebut menawarkan sebuah tumpangan. "Mas mau ke mana? Apakah dalam perjalanan?" tanya beliau mengingat Shaka membawa tas ranselnya. "Saya hanya ingin mencari tempat tinggal dan pekerjaan," jawab Shaka hanya itu yang ada dalam pikirannya. Ternyata begini susahnya hidup di jalanan, lontang-lantung tanpa kejelasan. Apakah keputusannya menentang Paman salah? Kenapa justru cobaan silih berganti setelah Shaka memutuskan hijrah. "Ya Allah ... mudahkan langkah hamba, ke mana aku harus mengawalin