Pada sore harinya, Riti pulang ke rumah Tama sesuai janji. Jasin yang menjemput dan pria itu memberinya banyak nasihat.“Sebaiknya Nona tidak membuat banyak masalah, Tuan Tama sudah memiliki persoalan di perusahaan, pasti akan repot kalau Nona menambahnya ...!” kata Jasin, ia menyampaikan arahan dengan lembut dan sopan, saat Riti berada di kendaraan. Riti pun mengangguk.Meskipun ia heran kenapa Jasin tiba-tiba memberinya nasihat demikian, tapi ia tetap mendengar dan memakluminya. Sebab seperti itulah kasih sayang seorang ayah pada anaknya. Ia tidak ingin anaknya mengalami sesuatu yang buruk.Sesampainya di rumah, Riti menunggu Tama di kamarnya, tapi ia heran karena laki-laki itu tidak juga pulang. Ia bertanya pada Sima dan semua orang, tetap, mereka semua kompak dengan mengatakan hal yang sama.“Saya tidak tahu, Nona!”Bahkan, sampai keesokan harinya Tama tidak menampakkan batang hidungnya. Riti sadar kalau dirinya tidak diinginkan, karena Tama memang awalnya mau menikahi Yuna
Riti tidak mau melukai hati sang ibu hingga ia tidak mengatakan kalau dirinya sudah menikah. Hati Tina pasti akan sangat terluka karena Riti tidak memberitahukan pernikahannya. Coba bayangkan apa yang akan terjadi jika ibunya tahu atas dasar apa pernikahannya itu. “Karena aku akan berhenti bekerja di toserba, aku sekarang sudah punya ijazah dan beberapa sertifikat, aku yakin akan banyak kantor yang mau menerimaku! Aku tidak mungkin menenggelamkan perasaanku terus menerus pada pria yang sama. Aku ingin merubah masa depanku, Bu! Aku juga ingin membawa ibu ke rumah sakit yang jauh lebih bagus di luar negeri!” “Tidak perlu! Aku mungkin tidak lama hidup lagi!” “Ibu jangan bilang seperti itu, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu!” Riti berkata sambil memeluk ibunya dan air mata mulai mengalir di pipinya.Tina seraya mengusap tangan Riti dengan lembut, dalam hatinya terus menerus berdoa agar anaknya menikah dengan seorang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, memiliki ana
“Huuu ... cinta satu malam! Cinta satu malam! Cinta satu malam” teriak orang-orang. “Apa kamu bercanda? Kamu tidak sopan, Leri! Padahal kamu memiliki Sarah di sini!” seru Riti kesal. “Jadi, kalau Sarah tidak ada maka kamu mau?” rayu Leri seraya maju satu langkah. “Tidak!” tegas Riti seraya menggoyangkan tangannya dan mundur. “Huuu ....!” “Sok suci! Seperti inilah Riti, teman-teman! Dia merasa yang paling suci!” pekik Leri pada semua orang.“Huuu ...!” Sebagian orang merekam dan berteriak. Setelah itu, biasanya mereka akan menayangkannya di sosial media, hingga menyebar. Lalu, akan membicarakan kejadian yang seru itu selama satu pekan penuh atau sampai mereka bosan. “Leri! Omong kosong apa yang kamu katakan, Leri? Hah!” pekik Riti. Ia kecewa setelah berusaha mempercantik diri dan menghabiskan sisa uangnya di salon, tapi justru direndahkan oleh Leri. Riti ingin sekali menangis, tapi ia bertahan sekuat hati dan mengharapkan Jojo. Pria itu sering membelanya, tapi ia tidak
Riti tercengang saat melihat siapa yang memukul Leri kali ini. Itu adalah Tama yang datang dengan gagahnya. Ia tidak menyadari sejak kapan pria itu di sana untuk membelanya. Padahal pria itu menghilang cukup lama.Tama muncul dengan penampilan segar yang memesona mata wanita. Meskipun Tama bukan tipe laki-laki idaman Riti karena tapi ia sangat terkesan, karena Tama terlihat begitu tampan. Ia mencukur habis semua kumis, cambang dan jenggotnya. Rambutnya juga bergaya ala anak muda. Ia tidak terlihat seperti pria yang hampir berusia 40 tahun. Dahulu, Leri begitu memikat karena tubuh yang atletis, berkulit coklat kemerahan dan tampan. Pria itu sangat menawan. Namun, kini setelah melihat penampakan Tama, seketika bayangan Leri lenyap begitu saja dari hatinya. “Ayo pulang!” kata Tama sambil meraih tangan istrinya yang masih tercengang dan menatap Tama penuh kekaguman. “Jadi, dia simpananmu? Hah?” kata Leri sambil berdiri sempoyongan dan mengusap darah di pipinya. Tangan Tama yang p
Riti terbangun saat mobil berhenti, dan langsung melepaskan bantal kecil di lehernya. Ia menebak kalau Tama yang melakukan hal manis itu kepadanya.“Tidur saja kalau masih mengantuk!” kata Tama sambil melepaskan sabuk pengaman. Riti menggelengkan kepalanya dan melepaskan sabuk pengaman juga, dan melihat sekelilingnya.“Siapa yang sakit?” katanya peduli, sambil mengerutkan keningnya, rumah sakit itu pernah ia lihat di internet. “Tidak ada!” jawab Tama sambil melangkahkan kakinya keluar mobil. Riti mengikutinya dengan isi kepala penuh tanya.Mereka memasuki sebuah ruangan yang dijaga oleh dua orang pria, ukurannya juga terbesar di antara ruang lain di lantai paling atas. Ada lift dan lorong khusus untuk keadaan darurat bagi para pasien VIP di lantai itu. Riti tercengang, melihat perlengkapan di dalam kamar perawatan rumah sakit itu, yang mirip hotel bintang lima. Bahkan, ada taman kecil dekat jendela. Ada seorang wanita tua duduk di kursi roda, tengah melihat pemandangan malam
Setelah Tama pergi, Riti merebahkan diri di tempat yang sama yaitu tadi digunakan oleh Tama. Ada aroma pria itu tertinggal di sana, sambil meraba bibir yang tadi diciumnya.Namun, ia menyangsikan cinta yang terucap dari mulut Tama. Mungkin itu hanya untuk menyenangkan ibunya saja. Meskipun begitu, ia berharap bisa tinggal di sana walau sementara agar tidak bertemu lagi dengan Leri. Akan tetapi, itu sebuah dilema, karena ia masih memikirkan ibunya.Riti tertidur dengan cepat karena mengantuk dan perjalanan yang melelahkan. Ditambah dengan kejadian yang ingin segera ia lupakan.Sementara di balik tirai, Tama mengambil selimut di lemari dan tidur di sofa bed yang dekat dengan tempat tidur ibunya. Beberapa saat setelah Tama memejamkan matanya, seorang perawat masuk dan mendekati wanita tua di kursi roda depan langkah sopan dan perlahan. “Ibu Delizah, apa Anda mau tidur sekarang, aku akan membantu Anda!” kata perawat.“Aku belum mau tidur, tunggu dua jam lagi, aku akan memanggilmu
Mereka turun ke lantai dasar dengan menggunakan lift seperti kemarin. Tidak ada orang lain yang melewati tempat itu, selain keluarga dari pasien VIP. Sementara sopir sudah siap menunggu dan membukakan pintu mobil untuk mereka. Tama duduk dengan melihat ke jendela. Sementara Riti duduk di sampingnya dengan gelisah, ia tidak percaya diri karena penampilannya. “Apa kita akan pulang? Aku lapar!” kata Riti dengan wajah memelas pada Tama. “Iya! Aku tahu!” kata Tama dengan wajah datarnya. Sebenarnya ia juga lapar, tapi rumah sakit tidak menyediakan makanan untuk dirinya dan tidak ingin makan pula di sana. Ia tidak nyaman sebab aroma rumah sakit itu tidak membuatnya berselera. Melihat sikap Tama, Riti semakin yakin, kalau pria itu hanya bicara cinta di depan ibunya. Tidak mungkin ia bersikap begitu datar pada wanita yang dicintainya. Ia tidak memiliki gairah, setiap kali Riti mengajaknya bercinta. Dalam cinta itu ada hasrat untuk saling memiliki, memuaskan dan membahagiakan, tapi sikap
“Bagaimana makanannya, apa ini enak?” Tama bertanya lagi. Riti tersenyum dan berkata, “Enak! Apa kamu yang memasak sendiri, karena hotel ini milikmu?” Riti hanya menebak.“Ya!”“Oh! Sepertinya aku kalah denganmu!” Tama kecewa dengan jawaban Riti padahal, ia berharap wanita itu memuji usahanya. Namun, ia bisa bersabar dan ahli dalam menguasai ilmu sabarnya. Jadi, ia hanya perlu waktu sedikit lagi. Saat Riti mandi, ia memasuki dapur hotel dan mulai membuat roti panggang dengan isian daging dan sayuran. Semua koki dan chef tidak berani mengusik, mereka tahu jika Tama memasak, itu tandanya ia sedang mengalihkan perasaannya.“Kamu mau tahu kenapa aku memasak untukmu?” Tama bertanya lagi.“Bukan untukku, tapi untuk kita, Iya, kan?” Riti balik bertanya dan Tama mengangguk membenarkannya. “Tapi kamu bisa mengatakan alasannya, eum .... misalnya karena di hotel ini kekurangan pelayan!” Riti berkata lagi, sambil tertawa. Tama diam dan menyandarkan badannya. Ia senang melihat istrin